Agung Alit Penyejuk Hati Pengrajin Bali

Pada akhirnya hidup bukan perihal uang dan kerja, ada sesuatu yang lebih utama yakni percaya dan beryadnya. Modal itu tidak selalu uang. Kepercayaan sangat penting, jika kita benar memang jujur” ungkap Agung Alit.

            Asam garam kehidupan sebagai wirausahawan sudah menjadi sahabat karib Agung Alit. Pria kelahiran 4 Juli 1961 ini tak pernah menyangka dapat merangkul pengrajin Bali dalam bingkai Mitra Bali melalui program fair trade. Gung Alit begitu sapaan akrabnya menjelaskan, fair trade sendiri merupakan sebuah gerakan sosial untuk memperhatikan pengrajin di Bali. “Program sosial yang mendukung pengrajin ini, seperti; perbaikan bengkel kerja, pinjaman lunak (tanpa bunga), penghijauan, dan semua itu dari dana sendiri (Mitra Bali-red),” jelas Gung Alit.

Lika-liku jalan pengabdian Gung Alit amatlah panjang. Pria tamatan Universitas Udayana yang mengambil jurusan hukum adat, Fakultas Hukum ini memulai jalan hidupnya sebagai pegiat diskusi dan aktivisme. Semasa kuliah, Gung Alit aktif dalam kegiatan dan pergerakan melalui senat mahasiswa serta Kelompok Diskusi Merah Putih yang sempat moncer diera 90-an. Adapun yang sempat tergabung dalam kelompok diskusi bersifat multidisipliner tersebut yakni Degung Santikarma, IBM Dharma Palguna (alm), I Dewa Gede Palguna, Ngurah Karyadi, Made Sujana, Gus Krobo, dan masih banyak lagi.

Pengalaman semasa kuliah dalam diskusi dan pergerakan, membuat Gung Alit bersama rekannya yang bernama Ngurah Karyadi, melabuhkan jiwa sosialnya di YLBH-LBH Bali. Pada masa itu, pergerakan LSM sangat masif sebagai respon terhadap rezim saat itu. Seperti Yayasan Wisnu (1993), yang bergerak dibidang lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. “Kalau masa itu di Bali tidak banyak, tapi di Jawa dan luar Jawa banyak. Kita membangun jaringan dengan LSM yang ada di Jawa dan di luar Jawa” kenang Gung Alit.

Selama menyelami dunia sosial, membuat jiwa kepedulian Gung Alit kian merekah. Tak hanya itu, pergaulannya yang amat luas akhirnya memberi jalan bagi Gung Alit untuk berkenalan dengan gerakan fair trade. Yayasan Pekerti, Jakarta menjadi tempat awal untuk berlabuh. Mengemban tanggung jawab sebagai petugas lapangan di wilayah Bali, Gung Alit pun mengenal dalam bahwa fair trade merupakan gerakan perdagangan adil yang mampu mensejahterakan pengrajin dan industri kecil lainnya. Tugasnya sebagai petugas lapangan yakni memberdayakan pengerajin lokal di Bali, kemudian hasil kerajinan dikirim ke Jakarta yang dipasarkan secara global oleh Yayasan Pekerti. “Ini bagus, gerakan bagus dan tepat untuk membantu pengerajin” tegasnya.

Pindah berkala Jakarta, Bogor, Bandung dan Jepara demi pendalaman ilmu fair trade adalah tanda keseriusan Gung Alit. Semasa mencari ilmu, pria yang sempat menjadi pramuwisata sejak tahun 1991 ini berpikir bahwa Bali semestinya bisa bergerak secara mandiri dalam fair trade. “Kalau lewat Jakarta terus, kerja dan ongkosnya jadi dobel, dan juga sedang membangun anti-Jakarta sentris,” jelas Gung Alit yakin. Berkat keuletan serta kepercayaan yang dibangun, Gung Alit pun kian leluasa mengepakkan sayapnya dalam dunia fair trade yang pada masa itu ia kombinasikan dengan wisata alternatif (alternative tourism) bersama Yayasan Bina Suadaya milik rekannya Jarot Sumarwoto (alm).

Mekanisme program alternative tourism yaitu memberdayakan ekonomi lokal, dari transpot lokal hingga hotel lokal. Tamu yang mengikuti programnya diajak langsung melihat pengerajin binaanya. Tamu tidak diarahkan ke art shop seperti travel lainnya. Gung Alit waktu itu melihat adanya komisi dari art shop untuk supir bus atau pramuwisata (guide). Komisi yang ditawarkan art shop hingga 40 persen. Disamping itu supir travel saat itu mendapatkan gaji kecil, mereka mencari tambahan pada komisi art shop. Gung Alit yang bekerja dengan pengerajin mengetahui permasalahan itu, “ternyata problem pengerajin tidak mendapat pembayaran tepat waktu, orang sudah bekerja keras, tidak dapat uang” paparnya.

Gung Alit sama sekali tidak menerima komisi dari pengerajin, karenanya pengerajin sangat suka dan percaya dengan Gung Alit. “Dari sana pengerajin suka dengan saya, percaya dengan saya yang suka bawa tamu, dan pengerajin tahu saya tidak suka komisi. Inilah yang menjadi modal ketika saya mendapat order dari pelanggan itu” terangnya. Saat itu (1993) Gung Alit mendapat pesanan lewat faximile. Karena tidak memiliki uang, faximilel itulah dipakai bukti adanya pemesanan yang ditunjukkan ke pengerajin. “Saat itu kita tidak punya uang, fair trade kan harus bayar 50% uang muka” tuturnya. Ketika ia sudah mendapat pembayaran dari pelanggan (buyer), ia tunjukkan ke pengerajin dan pengerajin semakin percaya.

Bak gayung bersambut, seorang pebisnis sekaligus penggerak From People to People in movement asal Negeri Sakura, Yoko Katazawa (alm) memberikan kepercayaan berupa hibah untuk mengembangkan idealisme fair trade Gung Alit. Hibah yang diberikan itu, dipakai Gung Alit untuk membayar uang muka ke pengerajin setiap ada pemesanan. Pengerajin sangat suka dengan adanya uang muka dan itu menjadi modal bagi Gung Alit untuk mengembangkan gerakan fair trade. Tahun 1997, kerja keras serta ketulusannya membuat Gung Alit berhasil mendirikan Mitra Bali yang hingga kini menjadi markas merekahnya gerakan fair trade di Bali. Kiprah Mitra Bali dalam mensejahterakan pengrajin Bali, berbuah penghargaan Ashoka Fellowship pada tahu 2001.

Hingga kini, bahtera Mitra Bali masih berlayar untuk mensejahterakan pengrajin Bali. Bagi Gung Alit kepercayaan adalah kunci dari segalanya, dengan percikan ketulusan, dan yadnya, niscaya semua akan tepat pada waktunya.

Penulis : Yogi Krisnadi

Penyunting: Yuko Utami

You May Also Like