Akankah Peraturan Lalu Lintas Hanya Pajangan?

Sungguh ironis memang, aturan yang diciptakan sering kali terabaikan. Yang ada tak dianggap ada. Akankah peraturan lalu lintas yang diciptakan dan dipasang hanya sebagai penghias jalan semata?

Meninjau Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Undang- undang ini merupakan hasil revisi dari undang-undang yang telah dibuat tahun 1992, telah undang-undang disebutkan secara rinci mengenai aturan seluruh aktivitas berlalu lintas di jalan. konsekuensi pelanggaran pun diberlakukan guna menghindari tindak ketidakdisiplinan berlalu lintas salah satunya membayar sejumlah denda atas kesalahan yang dilakukan. Adapun denda yang diatur  dalam  UU No 22 Tahun 2009 adalah tidak mengenakan helm standar yang akan dikenakan denda  maksimal 250 ribu atau kurungan penjara paling lama satu bulan. Sedangkan untuk pengendara mobil yang tidak mengenakan sabuk pengaman ketika mengemudi diancam denda maksimal 500 ribu rupiah.

Selain itu, pengguna sepeda motor yang tidak berkendara pada tempatnya serta melakukan  pelanggaran ringan seperti  menerobos lampu traffic light, mengabaikan larangan stop, larangan parkir atau sebagainya seharusnya didenda sebesar 250 ribu rupiah. Dan perusakan terhadap sarana lalu lintas didenda sebesar 10 juta rupiah.

Ketentuan-ketentuan itu yang dimuat dalam UU No 22 Tahun 2009. Fakta yang terjadi  sesungguhnya, masih banyaknya dijumpai pelanggaran- pelanggran ringan dalam berlalu lintas. Hal tersebut dilakukan baik secara sengaja maupun tidak sengaja olah pengendara.

“Saya pernah melanggar aturan lalu lintas, terutama traffic light. Tapi kalau melanggar, saya harus berhati-hati juga apalagi jalanan di kota Denpasar cukup padat. Kalau jalanan lennggang sih saya melanggar, apalagi tidak ada polisinya. Siapa juga yang betah harus nunggu lebih lama dan kepanasan pula. Lebih baik saya tambah laju motor dan  menerobos traffic light. Namun sebelumnya saya memastikan kalau situasi memang benar-benar lenggang ” ungkap  Arisawan mahasiswa Politeknik Negeri Bali.

Fakta yang mencengangkan terjadi di perempatan Gerokgak Gede, Baypass Denpasar –Gilimanuk. Dalam waktu yang tidak lebih dari satu jam sudah cuklup banyak pelanggran yang terjadi di kawasan tersebut. Seorang bapak bersama anaknya serta beberapa pemuda mengendarai motor dibelakangnya tampak melanggar traffic light. Sementara mobil di depannya telah berhenti.

“Pelanggaran terhadap traffic light disini memang sering terjadi, terutama pada siang hari. Kalau pagi hari keadaan memang sangat ketat, karena kami berjaga langsung di jalan raya. Sementara siang hari kami cenderung lebih banyak mengawasi arus lalu lintas” tutur I Dewa Made Juliada, polisi yang berjaga di pos tersebut.

Polisi berkumis lebat ini menyebutkan kalau tindakan yang selama inii diberikan kepada pelanggar lalu lintas hanyalah sebatas teguran kepada pengendara yang melanggar lalu lintas, kecuali yang telah berpotensi menyebabkan kecelakaan lalu lintas barulah kami tindak lanjuti sesuai aturan yang berlaku.

Sementara itu, di daerah Sesetan seorang siswa berpakaian putih biru yang tampak tidak mengenakan helm tersebut terlihat berbelok begitu saja tanpa memperdulikan rambu laliu lintas maupun pengendara lain dibelakangnya. “Saya buru-buru kak” jawab lelaki itu ketika dikonfirmasi mengenai pelanggaran yang ia lakukan.

Seperti itulah pencerminan dari sistem aturan berlalu lintas di jalan raya. Salah seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, I Wayan Kesieg menyebutkan pelanggaran itu terjadi karena ikut-ikutan semata. “Kalau saja tidak ada yang melanggar. Orang lain di belakangnya  pun tidak akan melakukan pelanggaran yang sama. Coba saja semua mau teratur, kan enak”, tuturnya.

Selain banyaknya penyimpangan serta pelanggaran dari aturan yang semestinya ditaati. Ketidak konsekuenan dalam pemberlakuan aturan yang seharusnya pun ditemukan di kejadian di lapangan. Tindakan polisi yang hanya berdiam menonton televise  di pos jaga sambil menunggu waktu kerja  berakhir, atau ngerumpi dengan teman sekerja. Merupakan cermin perilaku cuek dari oknum penegak hukum. Tidak jarang pula pos-pos penjagaan hanya ditemukan topi polisi tanpa ada aparat yang berjaga. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika semakin banyaknya masyarakat yang semakin tidak peduli terhadap aturan yang berlaku selama ada kesempatan untuk melanggarnya.

Selain itu proses “penggampangan” terhadap aturan yang berlakupun terjadi di lapangan. Hal tersebut tidak lain ialah aksi sogok yang dilakukan oleh pelanggar terhadap polisi. Keadaan  demikian bukanlah hal yang baru lagi di masyarakat. Dengan dalih berdamai segala perkara pelanggaran pun dapat diatasi.

Ida Bagus Surya Antara, yang merupakan seorang karyawan swasta di Denpasar menceritakan ketika ia ditilang di wilayah Gatot Subroto Denpasar karena sepeda motor yang ia kendarai tidak memakai spion. Dengan selembar 50 ribu rupiah sebagai uang rokok akhirnya bapak satu anak ini pun dibebaskan. Kemudian ia hanya diperingatkan untuk memasang spion pada kendaraannya.

Melihat keadaan yang demikian. Patutlah kita bertanya siapa yang harusnya dsalahkan terhadap pelanggaran yang kerap terjadi di masyarakat? Penegakan sistem hukum yang berlaku tidak bisa hanya ditegakkan sepihak. Antara penegak hokum maupun masyarakat haruslah terjadi keseimbangan sehingga hokum di Indonesia pun dapat ditegakkan.

(Tika).

You May Also Like