Bawaslu Gandeng Media dan Ormas Pantau Pemilu

Muhammad, Ketua Umum Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) menjelaskan pentingnya peran media dan ormas (Organisasi Masyarakat) dalam memantau jalannya pemilu (Pemilihan Umum) dan pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) di tengah masih apatisnya masyarakat terhadap pemilu maupun pemilukada.

“Terakhir pemilukada di Sumatera Utara jumlah masyarakat yang tidak memilih mencapai 50%, di Jawa Barat mencapai 42%, itu jelas tidak sebanding dengan dana pemilukada yang mencapai ratusan milyar rupiah, bahkan di Jawa Timur dana pemilukada mencapai satu trilyun rupiah” kata Muhammad dalam sambutan pembukaan pelatihan pengawasan pemilu bagi media massa dan ormas di Sanur Paradise Plaza Hotel and Suite, Kamis (11/4).

Berdasarkan data yang diperoleh dari bawaslu, statistik pemilih dalam pemilu 1999 sampai 2009 mengalami penurunan. Tahun 1999 jumlah pemilih mencapai 92%, sedangkan suara tidak sah kurang dari 10%. Tahun 2004 jumlah pemilih menurun menjadi 80%, sedangkan suara tidak sah meningkat menjadi 10%. Dan di tahun 2009 jumlah pemilih juga menurun menjadi 90%, sedangkan suara tidak sah justru meningkat di atas 10%.

Peran media
Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Simampou menilai media memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat. Jeirry berpendapat bahwa media jauh lebih bebas dalam memperoleh sekaligus menyampaikan informasi kepada publik tentang pemilu maupun pemilukada.

Idy Muzait dari Komisi Penyiaran Indonesia menjelaskan, media masih sangat dipercaya oleh masyarakat, data Edelmen Trust Barometer mencatat, tingkat kepercayaan publik terhadap media mencapai 77%, institusi bisnis mencapai 74%, LSM 51%, sedangkan pemerintah 47%.
“Fungsi media dalam pemilu maupun pemilukada adalah memberikan informasi kepada publik seputar pemilu. Media juga bertugas memberikan pendidikan politik kepada publik, dan media memiliki fungsi kontrol terhadap proses politik,” jelas Idy.

Media Apatis
Berhubungan dengan fungsi media, Ahmad Baras, wartawan Republika menilai bahwa bukan hanya masyarakat saja yang apatis, tetapi juga media. Ahmad berpendapat bahwa kebebasan menjalankan tugas kewartawanan hanya dirasakan pada saat pemilu tahun 1999 saja. “Dulu, menulis berita itu sebagai tanda melawan kekuasan. Sekarang, menulis untuk siapa yang bisa bayar,” singgung Ahmad.
Bahkan pada tahun 1992, Ahmad yang pernah bekerja di media nasional sebelum di Republika menjelaskan, pada saat itu di ruang redaksi Kompas, secara terang-terangan ada tulisan yang menghimbau agar wartawan tidak menulis apapun yang berhubungan dengan Pancasila, ABRI, dan Golkar.

Arnold dari Media Indonesia juga mengungkapkan kegelisahannya. “Media sekarang justru pro terhadap partai politik,” tegas Arnold. Selain itu, sebagai wartawan, ia menjelaskan tidak bisa berbuat apa-apa ketika atasan mendukung kepada parpol tertentu dan sebagai bawahan juga harus ikut kepada atasanya mendukung parpol tersebut. (Asykur Anam)

You May Also Like