Bersua Kembali

Ilustrasi oleh: HH

Aku berhenti, hari itu– dengan cerita kuno. Aku berduka, hubungan kami lebih lama dari waktu kami saling mencintai. Jauh melewati galaksi. Aku melintasi ingatan putih kita. Tidak apa-apa jika aku melihatmu dalam mimpiku. Jadi, mari kita bertemu lagi.

Gelombang hujan beranjak deras tanpa hitungan menit. Nampak sebuah keberkatan bagi pepohonan yang tinggi menjulang, daunnya hampir kering kala mengecup aroma tanah. Ku yakin kanvas langit detik ini hanya dapat diwarnai kelabu kepedihan. Namun, siapa yang peduli? Aku kian memperdulikan seorang pria tinggi, jangkung, dengan rambut keriting itu, tepat di seberang jalan, melambaikan tangannya ke arahku sembari memegang payung.

Aku masih terdiam di tumpuanku. Duduk di kursi mini-mart sembari memandang lurus ke arah luar jendela.

“Hai!” Sapanya.

Kali ini tatapanku berpindah kepadanya, memandang jauh ke dalam manik hitamnya. Ia rupawan, semua orang tahu itu. Aku dan dia hanya bagaikan tuan dan babunya. Berbeda jauh atau mungkin kau bisa mengibaratkan kami layaknya air dan api. Aku api dan dia airnya.

Semakin lama kupandangi, netranya semakin mendekat berbalas memandangku. Setelah tersadar, buru-buru aku alihkan pandanganku. Kembali pada jendela transparan yang mengarah pada tempat penyeberangan yang baru saja dilewati Indra.

“Hey! And” ulangnya, kedua telapak tangannya terasa dingin. Tepat berada di pipiku.

Sayup kedua netraku terbuka, memandang lurus padanya kala itu. Retinaku masih dapat bekerja dengan normal. Namun, beberapa saat– bulir-bulir hangat bening meluncur tanpa dapat ku tahan. Ia sibuk berseru sembari mengguncangkan tubuhku.

“Hey! Andra! Casandra!” Tetapi bibirku hanya bisa melengkung, membentuk seulas senyum tipis.

Casandra semakin mengembangkan lengkungan bulan sabit di bibirnya. Hanya kutatap penuh tanda tanya pada sang lawan bicara. Gadis itu hanya diam seolah membisu, seolah aku sedang bertutur dengan tembok bata yang memantulkan kembali suaraku. Alih-alih, ia malah menggamit tanganku dan menarikku pelan.

“Indra–”

Aku memperhatikannya secara seksama, berusaha menguak penjelasan demi penjelasan yang akan terlontar dari kedua bibir gadis ini. Namun, dia hanya menyunggingkan senyuman sendunya dan menggelengkan kepala.

“Maaf” lanjutnya, segera menyeka bulir bening di kedua matanya. Aku yakin gadis ini sudah lama menahan tangisnya.

“Terlalu egois bagiku jika aku tidak mengijinkanmu mengejar impianmu Ndra, hidupmu hanya milikmu. Buatlah bermakna, dan kejar keinginanmu.” Jelasku pada Indra, tanpa bisa menahan– tangisku pecah, terisak di hadapannya.

Kembali terulur kedua tangannya di pipiku. Namun, kali ini terasa hangat. Menenangkan. Nyaman. Rasanya– aku tidak ingin melepaskan telapak tangan ini. Tidak, bahkan kini, aku tidak ingin berpisah denganmu, Indra.

“Hey– Casandra Kau tahu tidak? Kau bagaikan bulan, dan aku bagaikan bintang. Kita tinggal di langit yang sama, kita menyinari bumi yang sama, namun kita jauh berbeda.

Siapa yang membutuhkan bintang jika kau punya bulan? Siapa yang memperdulikan bintang jika kau punya bulan? Tidak ada.

Karena pada dasarnya, aku adalah bintang, yang mendapatkan cahaya darimu. Lalu, kau adalah bulan, yang selalu memberi cahaya padaku. Kau seolah bergantung padaku, tetapi seharusnya kau bisa memberi cahaya pada bintang-bintang lain.

Jadi, berhentilah menganggapku seolah bulanmu. Berhenti mengharapkan aku memberi cahayaku, dan mulailah menganggap dirimu sebagai bulan dan sinari bintang yang lain. Kau harus sadar, bukan aku satu-satunya bintang milikmu, Casandra.” Ujar Indra sembari menyematkan anak rambut Casandra di daun telinganya dengan lembut.

Teori tentang bulan dan bintang miliknya selalu menghantui gendang telingaku. Ia kerap mengulangnya, seakan menjadi pengingat. Dan aku tak suka, terlebih dengan persamaan yang dikemukakannya. Katanya, aku bagaikan bulan, dan dia bagaikan bintang. Menurutku, itu sepenuhnya salah.

Senyuman terbentuk di bibir pucatnya. Membuat aku termangu dalam diam. Cairan beningku tanpa sadar terlepas, dari peraduannya menuju hulu sungai. Benar, aku tak ingin menutupi fakta itu lagi– bahwa akulah yang selama ini hanya mencintai Indra seorang.

 

I only woke from a dream

That sad star is so far away again

Goodbye, I bid farewell awkwardly

The way back home is too far

In the same time (Just for a minute)

In the same space (Stay for a minute)

In that short moment

Everything in the moment that stopped for you and me

         Lembaran demi lembaran terpanut pada netraku. Dalam dan lekat, aku enggan meninggalkan satu momen dari segala momen yang lancar tercetak dalam album yang seringku sentuh ini. Terlihat ada beberapa warna foto yang pudar dan beberapa foto terobek. Aku teringat pernah menangis kala itu sembari menggenggam beberapa lembar foto dalam album ini, mungkin karena itu lah album foto ini tampak sedikit rusak.

Malam seharusnya terasa sama untuk Casandra. Sunyi, sepi, sendiri, dan tentunya gelap. Pun saat hewan nocturnal mulai menampakkan diri dan sebagian dari mereka mengeluarkan suara bersama-sama layaknya simfoni hampa di tengah temaramnya cahaya rembulan, seharusnya rasa yang dinikmati Casandra terasa sama.

Namun untuk hari ini jelas berbeda.

Saat malam masih jauh dari kemunculannya, Casandra sudah merasa gelap. Tidak hanya itu, rasa yang lain pun ikut menyapa siang harinya yang memang tidak-pernah-istimewa. Pengap, sesak, menghimpit, dan mencekam. Casandra menatap keluar jendela besar yang mengarah langsung kepada tempat penyebrangan, tatkala momen perpisahannya dengan Indra dua tahun lalu menjadi terulang kembali, kemudian melambai-lambaikan tangannya. Berharap menemukan sapaan hangat yang biasa Indra berikan dari ujung tempat penyebrangan sembari menunggu traffic light berwarna hijau.

Tapi Casandra malah menemukan sosok yang tak asing lagi baginya.

“Indra?”

Pria itu tersenyum, matanya melengkung serupa kurva bulan sabit.

“Melihatmu melambaikan tangan, itu artinya kau mengharapkan kedatanganku, benar begitu?”

Casandra membuang muka. Ia benci tertangkap basah seperti itu. Ia benci privasinya terganggu. Ia benci perasaan seperti dikuntit. Ia benci semuanya. Terutama kedatangan Indra yang tak terduga setelah dua tahun lalu lamanya.

Indra terdiam. Suara dentang jam yang ada di tempat itu pun tak mampu membuyarkan selubung gelap fiktif yang mengungkung pikirannya bersama Casandra.

“Hai! Kau baik-baik saja, bukan?”

“Tidak.” Saut Casandra cepat tatkala menunggu balasan Indra dan beranjak dari tempat duduknya. Berusaha kabur dari keadaan yang menurut Casandra sangat tiba-tiba ini.

“Kenapa And?” Tanya Indra sembari menahan lengan mungil milik Casandra. Obsidian keduanya kembali terpaut setelah dua tahun lalu lamanya.

Air matanya membendung sebuah genangan berupa hulu sungai di pipinya. Semburat kemerahan tercipta di hidung mungil Casandra.

“Entahlah. Aku hanya masih tidak menyangka kamu akan datang” lirihnya

“Casandra– ”

“Apa aku sedang berhalusinasi?– Tidak ini benar kamu Ndra. Aku rindu”

 

Penulis: Unit_A

Penyunting: Teja Sena

You May Also Like