Dilanda Wabah, Populasi Babi di Bali Kian Merosot

 

Sejak dilanda virus ASF (African Swine Fever), populasi babi di Bali terus menurun. Hal ini menimbulkan kondisi dilematis bagi penjual daging babi mentah maupun olahan. Di satu sisi, banyak yang memertahankan pemeliharaan babi namun merugi akibat kematian massal. Di sisi lain, ada yang menjual lebih awal karena takut dilanda wabah. Akibatnya, harga daging babi pun kian melonjak.

Menu babi guling kerap menjadi salah satu bagian dari menu utama untuk dihidangkan baik di acara makan dalam kegiatan agama maupun dijual pada rumah – rumah makan di Bali. Tidak hanya untuk keperluan upacara adat saja, namun masyarakat di Bali juga gemar mengkonsumsi daging babi dalam kesehariannya. Banyak rumah makan babi guling yang tersebar di Bali, bahkan daging babi juga tersebar luas di setiap pasar. Daging babi merupakan daging pertama yang paling diminati di Bali selain daging ayam dan ikan. Hal ini tentunya menyebabkan permintaan pasar selalu dalam intensitas tinggi terhadap hewan babi. Namun memasuki tahun 2020-2021, populasi babi di Bali semakin merosot dan menyebabkan harga daging babi per kilogramnya naik drastis. Menurunnya ketersediaan babi ini menjadi permasalahan bagi pemasok babi dan daging babi. Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Anak Agung Istri Intan Wiradewi mengatakan, populasi babi pada tahun 2019 mencapai 690.378 ekor. Kemudian jumlah babi turun menjadi 398.291 ekor pada tahun berikutnya. “Populasi babi kita memang menurun dari tahun 2019 ke 2020, yaitu menurun 42      persen,” ungkapnya (24/3).

Menurut Intan Wiradewi, penurunan populasi babi pada tahun 2019-2020 disebabkan karena beredarnya virus ASF (African Swine Fever) sehingga banyak babi yang mati begitu saja dan sebagian besar banyak dijual cepat oleh peternak karena takut babinya terjangkit dan mati. “Sebagian memang mati massal karena virus, namun sebagiannya lagi dijual oleh peternaknya karena takut babinya mati, jadinya dijual”, tutur Intan Wiradewi.

Meski di tahun 2021 virus ASF sudah mulai mereda dan permintaan pasar juga sudah mulai melandai, dampak dari menurunnya populasi babi masih sangat berdampak di beberapa pasar besar di Bali, misalnya Pasar Badung, Pasar Gianyar, dan Pasar Buleleng. Sebelumnya, daging babi hanya dijual seharga Rp 75 ribu per kilogram. Meskipun pada momen-momen tertentu seperti hari raya harga daging babi bisa melonjak hingga Rp 90 ribu per kilogram. Namun, kenyataannya hingga kini harga babi per kilogramnya tetap meninggi bahkan dari hari ke hari.

Ilutrasi Pedagang daging babi di Pasar Anyar, Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali. (Tribun Bali/Ratu Ayu Astri Desiani). Dilema terhadap permintaan babi yang semakin rendah akibat dari melonjaknya harga babi.

Kepala Dinas Perdagangan Perindustian Koperasi dan UMKM Buleleng, Dewa Made Sudiarta mengatakan, naiknya harga babi terjadi karena pasokan daging babi di Buleleng sangat terbatas dan mengalami penurunan terus menerus. Selama ini pasokan daging babi biasanya berasal dari peternak-peternak lokal, namun sepanjang 2020 lalu sebagian besar peternak babi di Buleleng memilih tiarap karena penyakit virus demam babi. “Memang pasokan sekarang sangat sedikit. Dari tahun lalu sudah mulai ada tren peningkatan harga. Terutama sejak ada virus yang menyasar ke babi. Sehingga ini cukup berdampak ke pasar. Sekarang ini, daging babi terpaksa dipasok dari luar daerah. Itu pun terbatas yang datang,” ujar Sudiarta.

Demi mengatasi masalah ini, pemerintah yang bersangkutan bekerja sama dengan peternak dalam persiapan indukan baru untuk mendongkrak kembali populasi babi di Bali. Namun, hal ini juga memberikan efek samping terhadap penurunan persediaan daging babi di pasar sebab kebijakan pemerintah yang secara tidak langsung mengurangi pemotongan pada babi betina. Pedagang yang semula menjual 10 – 15 kg/harinya juga ikut menurunkan penjualannya menjadi 5 kg/hari agar usahanya tetap berjalan dan tidak terlilit dengan mahalnya harga daging babi tahun ini. Oleh karena itu, para pedagang mengharapkan agar populasi babi kedepannya dapat distabilkan lagi.

Penulis : Dwi Hartayani

Penyunting : Yhosin Leksan Pratana

You May Also Like