Konferensi Pers FORMALIPA Bali : Aksi Damai Berujung Respons Ekstra Yudisial

FORMALIPA melakukan aksi damai bertajuk “Tolak Otsus Jilid II dan Pemekaran serta Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis bagi bangsa West Papua” pada 8 Maret 2021. Aksi ini berujung pembubaran secara paksa oleh aparat. Di sisi lain, peserta aksi mengaku mendapat ancaman hingga bentuk kekerasan fisik lainnya.

Konferensi Pers – LBH Bali (Vany) bersama kawan – kawan FORMALIPA (Muno, Ida, dan Andre) memberikan pernyataan yang dialami selama aksi damai dilaksanakan pada senin lalu.

Ketika aksi berlangsung, tidak sedikit peserta aksi dari FORMALIPA (Front Mahasiswa Peduli Papua) yang mendapat perlakuan tidak adil hingga terror. Hal ini diungkap dalam konferensi pers yang dilakukan oleh perwakilan massa aksi di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali (10/3). Kronologi dimulai pada pukul 06.00 WITA. Saat itu, penjagaan ketat dilakukan oleh pihak keamanan di area Denpasar, Sanur, dan sekitar beberapa asrama Papua. Kemudian secara mendadak Aparatus Militer melakukan Sweeping (pengusiran-red) di sekitar areal titik kumpul aksi, berlanjut dengan pemantauan di tempat – tempat kediaman mahasiswa Papua di Bali. Sebanyak 46 orang melakukan aksi damai berpusat di titik kumpul parkiran timur Renon dan titik aksi di Bundaran Hayam Wuruk / Bundaran Renon. Aksi ini tidak berlangsung lama karena secara paksa dibubarkan oleh Aparatus Militer dari gabungan Polresta, Polda Bali, dan Polsek Denpasar Timur. Aparat yang dikerahkan untuk pembubaran tersebut melebihi massa aksi damai. Tepat pukul 09.15 – 09.50 WITA terjadi pengangkutan paksa oleh organisasi masyarakat (ormas) yang datang, beberapa memakai baju-baju preman dengan kasar menarik dan menggiring massa aksi untuk naik mobil menuju Polresta. Akibatnya, beberapa peserta aksi menerima luka lebam dan berdarah di beberapa bagian tubuh mereka.

Massa aksi damai dipisahkan ketika proses pengangkutan berlangsung, dimulai ketika mobil Dalmas pertama pukul 09.15 WITA datang mengangkut beberapa massa aksi, berselang waktu 20 menit kemudian datang mobil Dalmas kedua yang tujuannya itu ke Kapolres. Beberapa massa aksi juga dilakukan test rapid antigen. Proses interogasi dilakukan pada beberapa peserta aksi hingga pada pukul 5 sore. Sebelum dibebaskan, peserta aksi FORMALIPA sempat mendokumentasikan serangan dari aparat kemudian diminta untuk menghapus video-video tersebut. Di sisi lain, aparat melakukan penggeledahan tanpa didahului dengan surat penggeledahan. Pelanggaran ini diperkuat dengan kesaksian yang dijelaskan oleh Arya dan Feliks, perwakilan massa aksi saat konferensi pers. Arya menerangkan bahwa mereka mendapatkan intimidasi selama introgasi. Selain itu, mereka mendapatkan sentuhan fisik seperti disiksa, dipukul, dan ditendang kepalanya serta tidak jarang aparat melontarkan kata-kata yang tidak pantas diterima. Feliks menambahkan, “sebetulnya di ruang SPKT kami yang sebelumnya sempat melakukan video terhadap perlakuan aparat kepada FORMALIPA. Ponsel kami diambil secara paksa di ruang tersebut yang memang tidak ada cctv di sana dan dicek dari galeri, line, hingga WhatsApp semua dilihat. Padahal polisi tidak memberikan surat pemeriksaan dan penggeledahan, jadi tidak ada dasar, dan KTP secara paksa difoto di sana,” terangnya.

Penyampaian kronologi – Mahasiswa FORMALIPA (Muno dan Ida) menyuarakan kronologi aksi dalam konferensi pers.

Ida, salah satu peserta aksi mengaku mendapatkan kekerasan yang dilakukan aparat menuturkan keterangannya. “Kemarin tidak hanya kawan laki-laki tapi juga kawan perempuan sempat ditinju ditendang, saya sendiri ditinju di perut, ada yang dilempari batu, saya juga sempat ditarik sampai merah,” ungkapnya. Menanggapi perlakuan yang diterima oleh kawan-kawan FORMALIPA, pihak LBH Bali selaku kuasa hukum menerangkan jika tindakan polisi sudah berlebihan. Bahkan saat konferensi pers dilangsungkan, mereka mendapat intimidasi dari aparat dan warga sekitar, seperti kelian adat yang mendatangi tempat konferensi pers hingga membuat wartawan pers lainnya yang kesulitan untuk mengikuti acara tersebut.

Suasana Konferensi Pers dari luar – Penjagaan ketat oleh pecalang sekitar bersamaan dengan Kelian adat.

Lebih lanjut dalam keterangan konferensi pers, aksi damai ini bertujuan untuk menyuarakan nasib bagi rakyat Papua dan penolakan Otsus (Otonomi khusus daerah) serta pemekaran provinsi di Papua. Respons aparat yang berujung pada ancaman hingga kekerasan fisik dikategorikan pelanggaran pidana. Hal ini kemudian berujung pelaporan ke instansi yang berwenang termasuk Komnas HAM serta Ombudsman. Ketika ditanyakan sudah melaporkan kepada pihak berwajib atau belum, LBH bali menegaskan. “Akan kami transparankan itu. Kemarin kami diskusi dan hari ini Konferensi. Laporan resminya itu ke Komnas HAM bahkan ke ombudsman terkait dengan yang dilakukan Aparat terhadap kawan mahasiswa Papua,” ungkap Vany Primaliraning, selaku direktur LBH Bali. LBH bersikukuh melindungi identitas klien meskipun Aparat beralasan bahwa hal ini untuk keamanan. “Kami juga mengecam tindakan dari mereka yang meminta pada kami untuk memberitahu identitas-identitas klien kami, dimana sebenarnya hal itu melanggar kode etik sebagai tindakan yang tidak sesuai. Jadi, kami juga menyaksikan mereka tidak sesuai dengan undang-undang. Itu bisa jadi evaluasi untuk kepolisian membiarkan kekerasan terjadi,” tambahnya.

Baginya, aparat seolah memberikan legitimasi penganiayaan kekerasan secara struktural kepada mahasiswa Papua. Adapun LBH menanggapi surat pernyataan yang ditandatangani peserta aksi untuk tidak melaksanakan aksi selama PPKM. “Pertama pernyataan itu bisa ditarik secara sepihak. Lalu yang kedua adalah pernyataan yang dibuat dengan intimidasi sebenarnya sudah batal secara hukum, apalagi di sini sudah ada bukti bahwa ada pemukulan oleh polisi yang menggunakan baju-baju preman di halaman Polresta untuk melakukan intimidasi. Jadi, memang sejak awal pernyataan itu bisa dicabut.” Jelas Vany.  Tindakan yang dilakukan aparat pada massa aksi berupa pembubaran dan penangkapan paksa dengan adanya bukti kekerasan baik verbal maupun fisik tergolong tindakan ekstra yudisial, hal ini pula merupakan masalah serius tak berkesudahan terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Reporter: Bagus Perana, Vilia, Doni

Penulis: Yunita

Peyunting: Ratna Purnama

 

 

You May Also Like