Mahasiswa Bukan Tukang Kuliah

Oleh: Resi Randhi M

Banyak para mahasiswa berbondong-bondong ke kampus untuk mengikuti kuliah, bertemu dosen, diskusi kelompok, atau hanya sekedar ingin membaca-baca buku di perpustakaan ataupun berselancar di dunia maya dengan laptopnya. Sebuah rutinitas yang umum terjadi di kampus manapun di negeri ini. Seperti analogi pasang surut air laut, terkadang kampus nampak seperti lautan mahasiswa yang sedang pasang pada saat menjelang atau saat UAS sedang berlangsung, namun sebaliknya ada pula fase dimana lautan mahasiswa di kampus sedang mengalami masa surut alias sepi dari penghuninya. Ironisnya fase surut itu tidak hanya terjadi pada masa libur semester saja, tetapi fase itu justru juga terjadi pada setiap pertengahan masa perkuliahan sedang berlangsung.

Menurut saya ada berbagai macam faktor yang menyebabkan fenomena diatas itu terjadi, salah satunya adalah bergesernya nilai atau makna dari istilah “mahasiswa” menjadi “tukang kuliah”. Dalam pendefinisiannya, “mahasiswa” adalah sebuah istilah yang terdiri dari dua suku kata yaitu “maha” yang berarti besar atau yang dihormati, dan “siswa” yang berarti pelajar atau seorang yang melakukan kegiatan belajar. Jadi, mahasiswa adalah seorang pelajar dalam tingkat yang paling besar/tinggi atau seorang intelektual yang selalu berpikir jernih berdasarkan ilmu pengetahuan, yang tentu saja tugasnya adalah berpikir dan belajar dalam arti yang luas serta terus memahami persoalan-persoalan yang sedang terjadi. Sedangkan “tukang kuliah” yang terdiri dari kata “tukang” yang berarti pandai atau ahli, dan “kuliah” yang berarti pelajaran yang diberikan oleh perguruan tinggi. Jadi “tukang kuliah” dapat diartikan sebagai seorang yang ahli atau mampu belajar menerima pelajaran yang diberikan oleh perguruan tinggi.

Sepintas memang tidak ada perbedaan yang mencolok dari kedua istilah tersebut, karena keduanya sama-sama menggunakan istilah belajar dalam pengertiannya, tapi jika kita coba cermati kembali, nampak suatu perbedaan yang signifikan antara kedua istilah itu. Dikatakan bahwa fungsi berdasarkan arti dari istilah “mahasiswa” adalah terus berfikir dan memahami persoalan-persoalan yang ada, sedangkan fungsi dari istilah “tukang kuliah” adalah dituntut untuk terus mampu menerima pelajaran yang diberikan oleh perguruan tinggi. Jadi makna belajar dalam konteks mahasiswa memiliki arti yang lebih luas daripada makna belajar dalam konteks tukang kuliah. Karena seorang mahasiswa seharusnya tidak hanya mampu menerima pelajaran-pelajaran yang diberikan perguruan tinggi di bangku kuliah saja, namun dituntut untuk mampu memahami persoalan-persoalan yang ada dan sekaligus mencoba mencari solusinya.

Akibatnya terjadi perbedaan kebiasaan atau perilaku yang terjadi antara para penyandang gelar mahasiswa dengan tukang kuliah. Sebagai contoh, si A adalah seseorang yang rajin mengikuti kuliah sehingga tidak pernah absen, rajin membuat dan mengumpulkan tugas sehingga nilainya selalu bagus, selalu mengejar nilai prakteknya agar tetap tinggi. Semuanya itu ia lakukan semata-mata untuk mengumpulkan nilai tinggi untuk dirinya, karena ia menganggap nilai yang tinggi adalah jaminan kesuksesan dalam hidupnya, jadi yang selalu dilakukannya adalah kuliah pulang-kuliah pulang (kupu-kupu), seolah-olah tak ada lagi waktu baginya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan lain di kampusnya selain mengikuti kuliah dan mengerjakan tugas. Adapun contoh lain, si B adalah seorang yang selain sibuk mengikuti kuliah di kampusnya, ia pun aktif dalam kegiatan organisasi di kampusnya maupun di luar, ia selalu berbagi pengetahuan dengan rekan-rekannya dalam berbagai diskusi, melakukan aksi penghijauan di kampusnya karena kesadaran akan pentingnya lingkungan yang sehat bagi dirinya dan juga bagi orang lain, apa saja ia lakukan untuk menyampaikan pesan tentang pentingnya kesehatan lingkungan hidup kepada orang lain, sehingga dalam kesehariannya ia selalu kuliah rapat-kuliah rapat, ia tidak hanya mementingkan dirinya saja, tetapi ia selalu mencoba memahami sekaligus mencari solusi persoalan-persoalan yang ada berdasarkan pengetahuan yang ia dapat di bangku kuliah sehingga dapat bermanfaat bagi orang lain.

Dari kedua contoh di atas, nampak perbedaan antara si A dan si B, di mana kesibukan si A hanya bertujuan untuk kepentingan dirinya saja, ia selalu mampu untuk mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan di bangku kuliah sehingga akhirnya menjadi “tukang kuliah” yang ahli dalam meraih nilai-nilai tinggi di kampusnya. Sementara si B, ia memiliki kesibukkan tidak hanya untuk kepentingan dirinya, ia masih menyempatkan waktunya untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi orang lain. Segala upaya ia lakukan untuk menyampaikan pesan kebaikan dengan harapan dapat bermanfaat bagi orang lain, ia menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di lingkungannya. Jadi yang membedakan keduanya adalah bagaimana pengetahuan yang dimiliki tidak hanya menjadi modal untuk lulus ujian semester saja, melainkan modal itu dapat juga diimplementasikan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di lingkungan sekitarnya.

Kesimpulannya adalah mahasiswa yang selama ini hanya mengejar nilai tanpa menerapkan bidang keilmuannya di kehidupan yang sebenarnya, adalah sesungguhnya bukan mahasiswa, karena ia hanyalah seorang tukang yang hanya ahli mengejar nilai atau ahli mengejar absen di bangku kuliahnya. Ia adalah seorang “tukang kuliah” yang hanya bisa beronani pemikiran pada tataran teori saja. Dan mereka tidak pantas menyandang gelar mahasiswa, karena secara istilah saja mereka sudah tidak memenuhi kriteria sebagai “mahasiswa”.

Tulisan ini hanyalah sebuah opini dari pemikiran seorang manusia yang pasti memiliki kesalahan. Karena tujuan tulisan ini dibuat bukan untuk menilai mana yang benar dan yang salah, tetapi untuk sekedar menjelaskan sebuah fenomena yang sedang terjadi sehingga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kenapa sampai saat ini negeri ini belum beranjak dari keterpurukannya. Perlu diingat bahwa kaum intelektual yang beruntung mendapat kesempatan menikmati bangku kuliah di Indonesia adalah kaum minoritas, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah mereka-mereka yang belum mampu menikmati kesempatan sebagai seorang intelektual yang disebabkan oleh faktor ekonomi kita yang masih terpuruk. Sehingga alangkah sedihnya jika kaum yang secara jumlah adalah minoritas ini tidak memikirkan nasib mereka-mereka yang tidak beruntung dan hanya memikirkan diri sendiri. Padahal seorang yang bijak pernah mengatakan bahwa “sebaik-baiknya manusia, adalah manusia yang bermanfaat bagi sesamanya”. Jadi bagi para intelektual yang saat ini membaca tulisan ini, sudah saatnya kalian menentukan pilihan dan merenungi lagi tentang apa tujuan kalian selama ini menuntut ilmu?

You May Also Like