Menyoal Peran Mahasiswa di Masa Pandemi

“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”

(Tan Malaka)

Mahasiswa sebagai satu pribadi yang dianggap memiliki “kemampuan/intelektualitas” lebih dibandingkan masyarakat pada umumnya. Kelebihan tersebut khususnya dalam hal daya pikir solutif atas suatu persoalaan. Mahasiswa memang komunitas yang unik. Mahasiswa dipandang belum memuat kepentingan-kepentingan politis tertentu sebab kedudukannya masih pelajar dengan idealisme yang tinggi. Hal ini menjadikan peran dan kehadiran mahasiswa didambakan oleh masyarakat.

Posisinya sebagai kaum intelektual menyandang peran penting di tengah masyarakat. Selain dituntut dalam dunia akademis untuk berkecimpung pada dunia pendidikan, secara bersamaan mahasiswa juga memikul peran praktis melakukan aksi nyata dalam masyarakat sebagai agen of change atau seorang pembawa perubahaan. Sekaligus menjadi iron stock pemimpin dan sumber daya harapan bangsa hingga sosial control yang mampu menjadi individu konstruktif maupun solutif atas persoalaan yang ada di sekitarnya. Dengan peran tersebut, mahasiswa diharapkan mampu melakukan sesuatu untuk membayar “hutangnya” sebagai seorang yang dianggap beruntung karena memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi di tengah keterbatasan orang-orang dalam mengakses pendidikan.

Peran mahasiswa tersebut kemudian kian genting dinantikan tatkala pandemi melanda sejak 2 Maret 2020. Selama kurang lebih satu tahun pandemi Covid-19 telah melumpuhkan lini kehidupan manusia, khususnya di Bali sektor pariwisata yang merambat ke ekonomi masyarakat Bali menimbulkan permasalahan yang menjalar bagai efek domino. Dilaksanakannya pembatasan sosial mengurung sektor pariwisata hingga mendorong pariwisata menjadi mati suri. Pemasukan masyarakat yang terhenti membuat roda ekonomi masyarakat macet, hal inilah yang kemudian menciptakan masalah baru, seperti kelaparan, pengganguran, aksi kriminalitas, bahkan fenomena anak jalanan yang dipekerjakan untuk menjual barang tertentu kini sangat marak terjadi.

Pada awal-awal terjadinya kasus covid-19 di Bali sekitar bulan Maret akhir 2020, sejumlah gerakan sosial sempat bermunculan dan di inisasi oleh sekelompok mahasiswa. Salah satunya ialah gerakan bantu jaga rakyat. Aksi yang dilakukan oleh mahasiswa ini menunjukkan perannya kala itu dalam membantu masyarakat untuk bersama-sama duduk sama rendah menghadapi bencana pandemi covid-19. Aksi (bantu jaga rakyat) dilakukan dengan pembagian pangan, sosialisasi bahaya Covid-19, serta pembagaian alat protokol kesehatan seperti masker, sabun cuci tangan yang dibagikan pada masyarakat yang membutuhkan di Bali. Gerakan ini tentunya tidak menampik bahwa posisi dan peran mahasiswa sangatlah sentral, baik dalam merancang atau menginisiasi bentuk kegiatan maupun turun langsung melaksanakan aksi nyata dengan kekuatan kebersamaanya. Meski tidak melulu mengulurkan bantuan berupa materi, hal ini tidak lantas membuat mahasiswa kehabisan langkah, masih ada tenaga yang dapat disumbangkan sebagai manifestasi peran pengabdian masyarakat.

Peran mahasiswa kian “fleksibel. Tidak melulu harus turun ke lapangan untuk turut serta menunaikan pengabdiannya pada rakyat. Sumbangsih berarti turut juga dapat dilakukan dengan penggunaan platform media sosial untuk mengkampanyekan gerakan hingga mengedukasi khalayak luas. Mengikuti lomba-lomba yang berbasis keilmuan dan membahas persoalan terkini dengan solusi yang ditawarkan juga merupakan bentuk langkah mahasiswa dalam sumbangsihnya memberikan referensi aksi.

Namun, belakangan nyala gerakan mahasiswa kian merdeup. Meningkatya kasus Covid-19 juga diiringi dengan permasalahan masyarakat yang kian kompleks. Salah satu permasalahan yang lepas dari perhatian mahasiswa adalah kondisi masyarakat yang semakin terhimpit di sektor ekonomi. Hal ini menimbulkan banyaknya oknum yang mempekerjakan anak di bawah umur. Berdasarkan pengamatan penulis, fenomena mempekerjakan anak di bawah umur banyak terlihat di Kota Denpasar. Misalnya, anak-anak yang berjualan di sudut-sudut jalanan. Fenomena mempekerjakan anak di bawah umur ini tentu telah merenggut hak anak dan melanggar Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Di sisi lain, kondisi pendidikan di tengah pandemi juga memperihatinkan. Pendidikan yang harus dilaksanakan secara daring, nyatanya masih membawa banyak kesulitan. Hal ini disebabkan oleh akses maupun fasilitas penunjang pendidikan daring yang terbatas. Utamanya keterbatasan gawai dan jaringan internet. Dikutip dari media bali.idntimes.com, sejumlah siswa mengeluhkan pembelajaran daring dikarenakan keadaan jaringan yang tidak memadai serta sulit mengerti jika sistem pembelajaran tanpa pendampingan. Proses pendampingan belajar mengajar di rumah tidak dapat dilakukan optimal oleh para orang tua sebab terbentur dengan aktivitas bekerja.

Kondisi seperti inilah yang mengharapkan kepekaan mahasiswa. Idealnya, sebagai kaum terdidik, mahasiswa dapat menunjukkan kontribusi dalam kian kompleksnya persoalan negeri. Kondisinya memang serba terbatas dan tidak memungkiri keadaan mahasiswa juga turut menerapkan pembatasan kegiatan masyarakat. Tetapi bercermin pada gerakan yang sempat dilaksanakan dan terbukti berhasil, hal ini mencirikan terdapat sisi yang dapat dilakukan mahasiswa untuk tetap berkontribusi sembari tetap taat akan peraturan prokes yang ada. Kompleksitas permasalahan masyarakat dimasa pandemi ini menanti sentuhan solusi dari mahasiswa, bagaimanapun, tiga peran utama yang disandang kaum terpelajar ini sebisa mungkin menunjukkan taringnya di tengah persoalan yang ada.

Jangan sampai, kampus justru menjadi “menara gading” yang jauh dari lingkungan masyarakat. Walaupun tidak menampik fakta bahwa mahasiswa juga bagian dari masyarakat yang masih diliputi permasalahan adaptasi, utamanya pelaksanaan proses pendidikannya yang sedang dijalankan secara daring. Hal ini mengharuskan kaum terpelajar diam di rumah dan melaksanakan semua aktivitas dari dalam kamar ternyamannya. Namun, apakah lantas kondisi tersebut menjelma pembenaran bagi mahasiswa untuk abai terhadap lingkungan sekitarnya?

Pandemi yang terjadi secara tiba-tiba dan melumpuhkan aktivitas masyarakat membawa dampak yang besar dan cenderung merugikan bagi masyarakat. Dibutuhkan adaptasi serta cara-cara baru untuk menghadapi kondisi yang ada. Di sinilah peran mahasiswa dinantikan, sebagai orang yang mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan, dapat lebih awal melakukan peroses penyesuaian dan bergegas menunjukkan perannya. Sejatinya dikondisi seperti inilah seharusnya mahasiswa membuktikan keberadaanya sebagai agen of change, iron stock serta social control dalam merumuskan serta mencarikan solusi atas permasalahan yang ada. Jangan sampai posisi mahasiswa hanya berpangku tangan dan turut tenggelam dalam keterbatasan. Sebab, mengutip Najwa Sihab, sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah anak muda.

Penulis : Doni Kurniawan

Penyunting: Galuh

You May Also Like