Nasionalisme yang Dipropaganda

I Wayan Widyartha Suryawan*


Ironis bila di Negara heterogen nan multikultur sekaliber Indonesia kita temukan cara penyeragaman kepentingan yang propagandis. Terlebih dengan terombang-ambingnya jargon sakti Bhineka Tunggal Ika. Konflik berbau ras lebih-lebih agama sering kita saksikan di depan layar kaca, menunjukkan jargon sakti itu mulai kehilangan makna.

Tidak ada yang salah, pun tidak ada yang benar. Semua lapisan masyarakat boleh-boleh saja bicara nasionalis dan nggak nasionalis. Pemerintah terus berwacana menyerukan untuk memupuk rasa nasionalisme bangsa. Di sisi lain, kasus juga tak pernah habis menggerogoti mereka. Munafik bila bicara nasionalis tapi penyelewengan anggaran negara dan korupsi tidak pernah surut dari arus demokrasi. Reflek saja dengan frontal masyarakat langsung menanggapi permasalahan yang terjadi di pemerintahan itu. Caranya beragam, bahkan ada yang diakhiri secara anarkis.

Demonstrasi massa besar-besaran yang menuntut kebijakan pemerintah rasanya bukan solusi yang relevan lagi melihat kondisi yang carut-marut. Apa lagi harus dibumbui tindakan anarkis tadi. Mahasiswa yang anarkis seperti itu juga sering menjadi warta di media masa. Mulai dari merusak sarana kampus, tawuran dengan hujan lemparan, memblokir jalan, hingga harus memakan korban jiwa. Tindakan-tindakan seperti itu selain mencoreng citra mahasiswa tentu juga mencoreng nama baik dunia pendidikan Indonesia. Yang muncul bukannya generasi tulang punggung bangsa, justru peremuk tulang punggung bangsa. Entah itu akibat mencerna aliran Marxisme yang overdosis, tindakan demikian membuat rasa persatuan menjadi hilang. Jadi, sayang bila dikatakan berjiwa nasionalis itu dengan mengkritik kebijakan pemerintah melalui sikap-sikap seperti itu.

Hal yang lebih konyol lagi dapat kita rasakan dalam sepekan belakangan ini tentang Pulau Komodo yang masuk nominasi New 7 Wonders. Tak sedikit masyarakat Indonesia yang menjadi tergiur untuk berpartisipasi mengirimkan dukungan melalui voting Short Message Service (SMS). Di lingkungan kampus perihal vote Komodo itu juga menjadi perbincangan hangat bagi kalangan mahasiswa. Lagi-lagi ada celetukan ikut nge-vote adalah cara menunjukkan rasa nasionalisme. Etiskah nasionalisme dipropaganda sedemikian rupa? Orang berlomba-lomba mengirimkan SMS vote Komodo sebanyak-banyaknya, tapi di sisi lain di antara mereka bila ada yang masih bersifat anarkis, berusaha menyeragamkan Indonesia, maka  nasionalisme itu hanyalah utopis alias semu. Tidak cukup nasionalisme diukur dari kiriman SMS sementara di samping mengirim SMS masih banyak kepentingan-kepentingan negara yang diabaikan.

Berkaca dari fenomena-fenomena itu, tercermin bahwa mencari rasa nasionalis adalah masalah yang pelik. Namun bila dipikir-pikir secara mendalam (berfilsafat?) rasa nasionalis itu tidak sulit juga untuk ditumbuhkan. Justru yang perlu ditumbuhkan adalah kesadaran dari masing-masing individu. Sebelum menyebut diri nasionalis, hal yang perlu ditanamkan tiada lain adalah rasionalisme kita dalam bertindak. Tentu maksudnya bertindak yang masuk akal. Sah-sah saja setiap orang meneriakkan dirinya nasionalis, tapi tindakan rasionalislah yang jauh lebih penting dari pada sekadar basa-basi nasionalis seperti itu.

Tindakan yang rada-rada gampang tapi juga rada-rada sulit yang perlu diwujudkan untuk menunjukkan rasa nasionalisme adalah mengerjakan sesuatu yang merupakan tugas kita sesungguhnya. Tapi sebenarnya tidak sulit juga bila yang dikerjakan itu merupakan swadharma yang sesungguhnya. Siswa atau mahasiswa tugasnya adalah belajar. Guru atau dosen tugasnya adalah mengajar. Petani tiada lain adalah bertani. Peternak tiada bukan adalah untuk beternak. Pemerintah ada untuk mengatur kehidupan rakyat menuju kesejahteraan. Masalah sentral berikutnya adalah pengangguran mestinya bagaimana? Tentu harus mendorong dan memotivasi dirinya agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya selama masih dalam garis halal. Dengan begitu, tugas-tugas yang telah dikerjakan segenap bangsa berarti telah sesuai dengan swadharmanya masing-masing.

Berangkat dari itulah, dalam upaya menjalankan tugas yang sesuai swadharma itu penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar Negara dirasa sangat perlu. Sebagai sebuah ideologi yang menjadi cara pandang warga Negara Indonesia, penanaman nilai-nilai Pancasila merupakan tonggak awal menunjukkan rasa nasionalisme. Bila melihat dalam catatan sejarah, program P-4 (pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila) yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru seharusnya dibangkitkan lagi dengan pengkajian dan adaptasi sesuai keadaan Indonesia sekarang ini tentunya. Sehingga, dengan kesadaran berdasarkan swadharma dan berpegang teguh pada Pancasila itulah  rasa nasionalisme  tidak terpaku dengan cara-cara yang bersifat propagandis. Sebaliknya bila kesadaran itu sirna dan penerapan Pancasila diabaikan, hilang pula makna sesungguhnya dari rasa nasionalisme. Justru nasionalisme itu menjadi semu, utopis sefperti disebutkan tadi.

*Penulis adalah mahasiswa FISIP jurusan Hubungan Internasional 2011

You May Also Like