Negeri Reklamasi

Suasana politik terkini semakin gaduh dengan semakin maraknya isu reklmasi yang muncul di berbagai penjuru negeri. Pusat perhatian berbagai kalangan kian terperangah dengan isu-isu yang kerap kali muncul dan dianggap sebagai ancaman kapitalisme yang semakin serius untuk dihadapi dan dilawan. Di satu sisi, barisan yang mendukung reklamasi terus bermunculan di tengah semakin meluasnya penolakan yang semakin berdatangan. Bahkan disetiap isu reklamasi yang muncul, barisan yang mendukung dan yang menolak kerap kali bergesekan walaupun kelasnya sedikit berbeda. Sangat sederhana sebenarnya, isu yang satu ini kian memanas di tengah semakin banyaknya isu-isu yang hampir sama terus bermunculan di berbagai daerah. Alasan yang menolak dan alasan yang mendukung di setiap isu reklamasi yang muncul kerap kali memberi gambaran untuk memperjuangkan aspirasi di masing-masing kubu.

Yang terbaru, isu reklamasi yang menjadi sorotan di berbagai elemen penjuru negeri adalah mengenai reklamasi Teluk Jakarta. Sebagai ibukota negara, Jakarta terus berbenah untuk menuju ibukota terbaik di dunia. Disamping persoalan kemacetan yang terus dipangkas dan diatasi, pembangunan sarana dan prasana umum terus dikembangkan guna mewujudkan pelayanan terbaik kepada masyarakat ibukota. Dan yang tak kalah penting seperti yang telah disebutkan di atas bahwa pembangunan 17 pulau baru di Teluk Jakarta kian menjadi persoalan ditengah pro dan kontra terkait hal tersebut. Gubernur DKI Jakarta yang sangat geton untuk melanjutkan reklamasi akhirnya sedikit menurunkan sikap karena sempat terjadi  moratorium reklamasi terkait pembangunan 17 pulau di Teluk Jakarta. Hal tersebut terjadi setelah menteri kelautan dan perikanan Susi Pujiatusi bersama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melaksanakan rapat dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Keputusan itu mengacu kepada Undang Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil.

Alasan lain yang melatarbelakangi moratorium reklamasi yang terjadi di Teluk Jakarta, seperti yang dijelaskan menteri kelautan dan perikanan, pihaknya tidak melarang adanya reklamasi yang bertujuan memperluas kawasan untuk kemakmuran warga. Namun dia menolak jika reklamasi dilakukan dengan cara serampangan serta tak memnuhi segala perizinan dan rekomendasi.

Di tengah moratorium reklamasi Teluk Jakarta yang berdurasi sampai enam bulan tersebut kian menuai polemik. Saat itu pula akhirnya Presiden Joko Widodo muncul. Kemunculan presiden diharapkan mampu memberikan jalan tengah yang mampu menetralisir masalah masalah terkait reklamasi. Dan jelas saja, melalui kordinator bidang perekonomian darmin nasution mengatakan bahwa presiden Joko Widodo akan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) terkait proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta. Tidak hanya itu, pembangunan tanggul raksasa dinilai akan menjadi jawaban di tengah semakin banyaknya elemen masyarakat yang khawatir ibukota akan tenggelam di tahun 2030 akibat proses reklamasi yang akan dilanjutkan setelah durasi moratorium selesai. Maka dari itu Peraturan Presiden yang akan dikeluarkan terkait mega proyek di ibukota diharapkan menjadi jawaban ditengah polemik yang terus bermunculan.

Selain reklamasi di ibukota, Reklamasi di pulau dewata juga memberikan cerita berbeda. Jika reklamasi di ibukota menghadirkan konflik dominan dikalangan elite, reklamasi teluk benoa di pulau dewata bali memberikan gambaran mengenai perjuagan kalangan menengah ke bawah memberikan penolakan serius terhadap pemangku kepentingan yang terdapat di pulau Bali. Isu reklamasi Teluk Benoa muncul saat mantan presiden SBY mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 51 tahun 2014. Diakhir jabatannya SBY mengeluarkan keputusan terkait mega proyek reklamasi senilai 30 triliyun. Dan sampai hampi 3 tahun kasus ini dibiarkan, penolakan dari berbagai desa adat di Bali terus bermunculan, terlebih bagi masyarakat Bali, lautan itu dipandag dengan kawasan suci.

Satu hal yang pasti, ketika penolokan dilakukan hampir merata dibagain Bali Selatan dan banyak menuai aspirasi aspirasi yang terus berdatangan, alasan pun muncul sebagai suatu usaha sadar yang melatarbelakangi penolakan tersebut. Reklamsi Teluk Benoa dinilai kurang tepat dilakukan di pulau Bali bagian Selatan, mengingat di tempat itu sudah banyak sekali bangunan bangunan megah berdiri. Tidak hanya itu proyek tersebut juga akan menyebabkan hilangnya kunci konservasi yang dinilai sebagai ancaman kerusakan keanekaragaman hayati di kawasan pesisir. Berikutnya alasan yang tak kalah penting kenpa reklamasi harus ditolak adalah akan menyebabkan berkurangnya fungsi Teluk Benoa sebagai resorvoir atau tampungan banjir. Berikutnya reklamasi semakin mengancam dan memperparah abrasi pantai dan akan menyebabkan bencana bencana yang tidak diinginkan.

Pola reklamasi Teluk Benoa sampai saat ini terus menjadi bahan perbincangan, terlebih barisan yang menolak reklamasi di Teluk Benoa yang semakin hari semakin berdatangan. Pertanyaan yang muncul kemudian, akankah Presiden Joko Widodo akan mencabut Perpres Nomor 51 tahun 2014? Apapun yang terjadi, presiden tidak harus mengesampingkan reklamasi di Teluk Benoa. Karena pada dasarnya setiap isu reklamasi yang muncul harus dperbincangkan secara mendalam, guna menghindari kesalahpahaman yang terjadi antar elemen masyarakat.

Akhirnya, semua sudah harus mulai membuka mata atas persoalan reklamasi yang sering muncul diberbagai penjuru negeri, bukan hanya di Teluk Jakarta dan Teluk Benoa, melainkan isu reklamasi harus sudah benar-benar menjadi perhatian serius bagi setiap pemangku kepentingan di negeri ini. Dampak dan akibat yang dihasilkan dari reklamasi harus sudah benar benar menjadi pertimbangan bersama untuk diatasi. Semua pihak harus belajar duduk bersama dan mulai membicarakan jalan terbaik yang akan menjawab persoalan persoalan yang muncul dari sebuah reklamasi.

 

ARDY.ACH*

Penulis adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Politik di Universitas Udayana Bali.

 

You May Also Like