Pariwisata Berkelanjutan, Idealnya Seperti Apa?

I Nyoman Sudiarta SE, M. Par selaku pakar pariwisata memaparkan permasalahan terkait pariwisata berkelanjutan saat diskusi. (Foto: Arimbawa/Akademika)

Berpegang pada sektor pariwisata, itulah Bali yang dikenal dunia. Sudahkan ideal? Berikut garis besar hasil diskusi eksternal yang diselenggarakan Pers Mahasiswa Akademika pada Bulan Maret lalu.

Sektor pariwisata selama ini telah menjadi mata pencaharian sebagian besar masyarakat Bali. Pengertian pariwisata pun diungkapkan oleh I Nyoman Sudiarta SE, M. Par selaku pakar pariwisata dalam diskusi. “Pengertian pariwisata bisa dikupas dari berbagai aspek. Pariwisata merupakan suatu industri yang tidak nyata dan sifatnya menjual produk secara nyata tapi berdasarkan image atau citra. Misalnya, budaya adalah image yang dimiliki Bali,jelas Sudiarta.

Lebih lanjut Sudiarta juga menjelaskan maksud pariwisata berkelanjutan sesuai yang tertuang dalam Undang-undang. “Isi Undang-undang sebenarnya masih sama dengan yang sebelumnya. Dikatakan berkelajutan apabila bisa mencakup dari sisi manfaat diantaranya manfaat ekonomi, manfaat sosial, serta manfaat lingkungan. Sehingga makna berkelanjutan dalam hal pariwisata ini adalah pariwisata yang harus mampu memberi manfaat,” beber Sudiarta.

Manfaat-manfaat tersebut tentu akan sulit tercapai jika melihat realita berbagai masalah yang tengah mengintai Bali.Satu diantara yang paling mencuri perhatian adalah maraknya alih fungsi lahan. Hal ini diungkapkan oleh pakar ekonomi, Dr. I Gusti Wayan Murjana Yasa, SE.,M.Si yang saat ini menjabat sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi Udayana. “Di Bali sendiri kontribusi sektor pariwisata dalam pembangunan adalah sekitar 30%. Dalam 4 tahun, telah menghasilkan 16 US Dollar, tapi masuk ke dalam kas pusat. Pertanian yang dulu menjadi dasar pariwisata, namun kini sudah banyak dijumpai alih fungsi lahan. Seharusnya dilakukan pembenahan terhadap sektor pertanian dahulu,hingga kemudian fokus ke sektor ekonomi,ungkap Murjana. Hal senada juga diamini oleh Prof.Dr. I Windia, MS yang merupakan pakar bidang pertanian dalam diskusi. Prof. Windia mengungkapkan pertanian semakin terpinggirkan akibat alih fungsi lahan. Hal tersebut akan menyebabkan hancurnya pemerintah secara sistematis.

Selain permasalahan alih fungsi lahan, terjadi pula ketidakmerataan kesejahteraan sosial. Pariwisata di Bali adalah salah satu pemberi modal terbesar kedua di Indonesia. Namun, hanya bisa dinikmati oleh kaum tertentu. Asana Viebeke Lengkong dari I’m an Angel (sebuah kelompok yang sering melakukan kegiatan berbagi kepedulian di Bali) pun dengan tegas membenarkan hal tersebut. “Pendapatan Travel Industry Pariwisata sekitar 4,5 juta US Dollar. Tetapi, tidak ada keseimbangan.Tidak ada Maestro Tourism Plan dan Strategy Planning di Bali,” tegas Asana. Menurutnya, hal ini dapat membawa masyarakat ke kemiskinan lebih dalam karena adanya kekontrasan antara hanya yang “mampu” – dalam hal ini kaum kapitalis – yang dapat hidup makmur. Sehingga, bisa dikatakan, pariwisata di Bali adalah penopang kesejahteraan sosial di Bali yang belum merata.

Dari sudut pandang tata ruang, pariwisata berkelanjutan memang memiliki dinamikanya sendiri. “Dari segi spasial, dalam hal ini memang pariwisata di Bali memberi sumber 30%, namun sebenarnya pertanian memiliki peran yang besar. Tata ruang di Bali memang dilematis. Analisis terhadap lahan di Bali memang telah dilakukan mediasi terhadap pembangunan yang terjadi terhadap lahan yang masih lestari. Namun,masih banyak yang menyimpang dari konsepsi sebenarnya,ungkap Ir. I Nengah Suarca dari Ikatan Ahli Pembangunan.

Sedangkan dari kacamata hukum Indonesia, Dewi Bunga, S.H.,M.H.yang merupakanpakar hukum menyatakan bahwa dalam perkembangan negara hukum, dikenal adanya negara hukum kesejahteraan. Ada tiga elemen yang memegang peranan penting, diantaranya substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Misalnya, ketikaberbicara soal pariwisata, penting untuk mengimplemantasi aturan-aturan yang ada di dalamnya. Ia juga mengatakan bahwa hukum adat memiliki peranan penting. “Di Bali sendiri yang masih menjunjung tinggi hukum adat ada yang diimplementasikan dengan baik, namun ada juga yang tidak. Perizinan di Indonesia masih rancu,tegas Dewi.

Berkaca dari berbagai masalah tersebut, maka diperlukan solusi untuk menemukan esensi dari pariwisata berkelanjutan yang ideal. “Ada hal penting yang berkaitan dengan ekonomi. Pariwisata disalahkan sebagai penyebab kemiskinan. Kita harus sadar bahwa penyebab kebocoran pariwisata ada di berbagai hal. Kalau memang ingin mensejahterakan masyarakat hal ini harus dibenahi. Ada juga good government dimana disini adalah peluang pemerintah, masyarakat, dan swasta untuk berkontribusi yang transparan dan adil. Namun, di sini juga diperlukan peran masyarakat dalam memberi partisipasi,papar Murjana.

Akan seperti apa Bali ke depannya, tentu merupakan tanggung jawab semua lapisan masyarakat Bali yang secara konsisten menerapkan undang-undang yang ada. Tentu saja dalam hal ini diperlukan juga dukungan anggaran serta evaluasi kinerja pemerintah dan masyarakat tanpa melupakan unsur harmoni dari kehidupan sebenarnya. (Indah)

 

You May Also Like