POLEMIK PANDEMI DAN PENDIDIKAN TATAP MUKA

Pendidikan seolah menjadi perdebatan hangat di tengah semaraknya berita pandemi. Kebijakan pembelajaran tatap muka yang ditunggu oleh sebagian besar pelajar diselimuti dinding tipis pandemi yang masih kuat menghantui dan menjerumuskan pada fleksibelitas. Namun apakah fleksibelitas akan menjadi sesuatu yang baik-baik saja?

Hampir dua tahun bersama virus covid-19 yang menghantui pelosok masyarakat. Tak hanya membawa dampak pada kesehatan, namun perekonomian serta bidang pendidikan pun terkena imbas dari virus ini. Sejak bulan Maret 2019, PTM (Pembelajaran Tatap Muka) dihentikan sementara dengan ‘iming-iming’ sampai kondisi membaik. Lama menanti, tetapi virus ini menyebar dengan sangat cepat di seluruh penjuru Indonesia dengan awal kasus terbanyak pada pusat negara. Bali yang terkenal ramai akan kunjungan turis mendadak menjadi sepi dan memberikan pukulan krisis ekonomi. Rumah sakit yang tiada henti menerima ‘tamu’ dan selalu penuh untuk menampung masyarakat yang terpapar, menunjukan pandemi bukan hal biasa. Menyikapi permasalahan tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan stay at home atau di rumah saja bagi pelaksana pendidikan. Kebijakan “bersekolah dari rumah” ini banyak menimbulkan kontraversi di kalangan siswa-mahasiswa. Bahkan setelah menjalani kurang lebih 2 tahun, sangat besar persentase dari kontra mengenai pembelajaran jarak jauh ini. Bahkan di beberapa penelitian jurnal mengenai Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sebagian besar menunjukkan tingkat stress yang lebih tinggi dibandingkan tatap muka.

Akhirnya pada bulan September 2021 provinsi Bali membuka kesempatan untuk siswa melakukan pembelajaran tatap muka di sekolah. Tentu hal ini dengan persetujuan dari orang tau dan juga keputusan dari masing-masing instansi. Hal ini didukung juga dengan penuruan angka positif covid-19 di Bali. Selain itu para siswa diijinkan untuk  melakukan pembelajaran tatap muka di sekolah apabila sudah melakukan dosis vaksin pertama dan kedua, harus dalam kondisi tubuh yang fit, menerapkan protokol kesehatan yang berlaku. Walaupun banyak persyaratan yang dikeluarkan masih banyak pro dan kontra mengenai kebijakan dimulainya pembelajaran tatap muka di sekolah ini.

Khawatir ‘Bodoh’ dan Melunjak

Berkaca dari kejadian sebelumnya, penyebab dari penyebaran virus yang cepat berawal dari mobilitas yang berjalan. Dengan adanya PTM ini sudah dipastikan bahwa mobilitas dalam dunia pendidikan akan berjalan dengan kontak dan komunikasi langsung. Dikhawatirkan klaster penyebaran baru terbentuk di tempat yang seharusnya menjadi tempat pembelajaran efektif dan diharapkan seluruh peserta didik. Apalagi peserta didik dari kalangan anak-anak dan remaja yang sayang apabila sampai terpapar virus ini. Ditambah lagi kondisi tubuh semua orang yang berbeda. Walaupun sudah memenuhi dosis vaksin bahkan memakai masker dan mengikuti protokol kesehatan, virus ini masih ada dan penyebarannya sangat cepat. Selain itu pembelajaran jarak jauh sebenarnya masih lebih efisien dibandingkan dengan pembelajaran langsung karena dapat dilakukan dengan fleksibel, selama masih terhubung dengan jaringan internet. Namun beberapa studi menunjukkan bahwa pembelajaran daring akan mengakibatkan turunnya kualitas belajar pada anak, yang disebabkan karena tidak semua anak memiliki kapasitas yang sama baik dari sarana dan prasarana. Tempat yang kondusif saat belajar, sulitnya berkonsentrasi serta banyaknya tugas yang diberikan oleh pengajar akibat fleksibelitas akan menyebabkan kebosanan dalam belajar. Sementara itu perlu juga diperhatikan kesehatan mental mereka yang setiap hari melakukan pembelajaran melalui daring di depan komputer atau gadget mereka, hal tersebut akan membuat efek stress dan bahkan dapat mengalami berbagai gangguan mental lainnya. Sebuah dilema yang besar antara mempertahankan pendidikan atau tidak membuat pandemi semakin panjang. Namun pembelajaran tatap muka di sekolah harus perlahan-lahan diwujudkan, dengan persyaratan ketat serta protokol kesehatan yang benar-benar rampung. Hal ini akan sangat membantu pelajar yang terdampak stress akibat pandemi.

Penulis : Dayu Suciani

Editor : Gangga

 

You May Also Like