Putu Wijaya : Penemu Arak dari Salak

Tiap berganti tahun, persoalan perkebunan salak di Desa Sibetan, Bebandem, Karangasem, masih sama; kelebihan produksi. Kala membakar hasil kelebihan panen buah salak di perkebunan miliknya, Putu Wijaya menyadari sesuatu. Aroma salak yang busuk dan terbakar seolah sama dengan aroma arak. Ia kemudian bertekad menemukan terobosan minuman khas Bali berbahan dasar salak.

Semakin tua semakin berkembang. Mungkin istilah ini tepat untuk Putu Wijaya. Pria yang akrab dipanggil Putu ini merupakan sosok yang pertama kali berperan besar terhadap industri arak di Desa Sibetan, Karangasem. Inovasi yang diterapkan oleh Putu merupakan hasil pemikiran pertama dalam pengolahan salak sebagai minuman beralkohol. Dengan rasa ingin tahunya yang tinggi dan pengamatannya terhadap sebuah kebusukan salak yang tidak sengaja tampak di depan matanya muncul inovasi produk arak berkualitas ini. Tidak mudah bagi pria berusia 60 tahun itu mempelajari semua teknologi yang digunakan dalam produksi arak, apalagi dirinya terbilang bukan tamatan pendidikan tinggi.

“Kalau saya belajarnya dari 2016 untuk menemukan bagaimana kalau misalnya salak itu bisa dijadikan arak, dijadikan bahan baku, saat itu ada beberapa salak rusak dibuang dan kenak matahari ternyata keluar asap dan baunya menyengat. Akhirnya saya pelajari pelan-pelan, saya temukan salak yang busuk dan saya coba fermentasi, saya campur, saya coba dengan ragi-ragi pasar seperti ragi tape, tapi belum keluar aroma araknya, saya rebus kembali ditambah dengan lama fermentasinya dari 15-25 belum bagus, coba satu bulan keluar 0,5% belum mencapai 10% untuk berhasil fermentasinya, saya ulang lagi, saya buat tape salak pakai ragi ragi pasar , seperti bikin tape biasa, saya bikin 25 kg tape saya blender, saya suruh anak-anak blender terus saya rebus, setelah rebus 6 hari baru masak tapenya baru saya remas-remas, saya saring dan keluar lah 25%, makin pendek fermentasinya makin rendah kadarnya. Istilahnya sudah ketemu hasilnya, saya coba 1 bulan sampai 1,5 bulan, semakin lama fermentasi semakin bagus araknya. Kalau pake mesin besar, misal 5 hari harus jadi arak, 5 hari bagus, di atas 5 hari endak bagus, rasanya beda. Kalau ini (nunjuk yg lain) ini makin lama fermentasi makin bagus,” ungkap Putu saat ditanya mengenai tenggat ditemukannya terobosan arak salak dan bagaimana prosesnya. Ternyata bukan perkara yang cepat hingga bisa dihasilkan produk arak yang berkualitas. Perlu tekad dan ketekunan dari dirinya agar mendapatkan produk yang bagus pula. Bahkan, Putu sempat meneliti bahwa semakin lama salak di fermentasi maka semakin bagus alkohol yang keluar. Selain itu jika disuling beberapa kali maka alkohol yang dihasilkan memiliki kadar lebih tinggi. “Lima hari itu rasanya bagus cuma kurang mantap, kalau salak gula pasir tidak bisa karena kadar gulanya tinggi. Disamping itu, setelah di proses airnya sedikit, setelah direbus hilang rasanya gamau putih, biru warnanya,” imbuh Putu.

Dibalik suksesnya terobosan arak salak ini, ternyata Putu melakukannya dengan sukarela dan berdikari. Bahkan ketika ditanya apakah ada bantuan dari pihak luar, Putu mengatakan belum ada dan masih ia kelola sendiri. “Belum ada, karena apa, belum ada yang bisa bikin, Unud pun nanya sama saya, maaf ya, sagi itu kan, sagi udah terkenal sekarang, itu produk saya, saya bahan bakunya, berapa kali saya ketemui di sekar tunjung, pas saya datang ke sana, Unud kesana dia, membicarakan masalah saginya ini, karna saginya ini udah membludak di Denpasar, tu pabrik, pabrik yang ngambil ke sini arak-araknya,” paparnya. Tidak hanya arak buatannya sendiri, namun komoditas desa juga sudah mulai didistribusikan keluar sebagai bahan baku minuman beralkohol lainnya seperti wine. Putu yang juga selaku petani di desanya itu kerap kali diminta untuk mengirimkan hasil panennya untuk ke industri yang terkadang mengeluarkan tenaga dalam pengupasan kulit salak jika diminta yang “bersihan”. Namun untuk penjualan arak salak ini belum berani karena pertimbangan resiko yang dihadapi nantinya cukup besar. Walaupun Putu merupakan satu-satunya pengrajin arak di desa Sibetan, ia juga turut mengajarkan masyarakat lain yang ingin belajar. “Kalo belajar ada, tapi berpikir lambat, tapi menurut saya tidak lambat karena sistemnya 1 bulan itu 30 x perputaran tetap, kalo ada yg mau belajar lebih baik bergabung dengan saya. tapi ada temen yang mau mengikuti saya, saya bilang lagi lebih bergabung dengan saya 1 kelompok gitu lah,” ucap Putu.

Ternyata bukan hanya dibuat sebagai produk arak, Putu juga kerap kali memikirkan cara agar ampas sisa fermentasi salak bisa digunakan dan tidak terbuang sia-sia. “Nah, ini hasil daripada ekstraknya itu ada sisanya, sisanya itu belum saya jadiin apa-apa, sebenarnya sudah menjadi dodol salak karena istilahnya sudah diambil aroma dan sari-sarinya, saya belum coba lagi,” Ujarnya. “Dari perindustrian, tepatnya  di denpasar disuruh bikin aja dodol, saya mau aja, tapi ya harus ada yang membina ke sini, karena kalo diatas kertas siapapun bisa bicara, saya bisa begitu, harus ada yang memandu,” tambahnya lagi.

Jika ditelisik mengenai proses pembuatan dari tanaman hingga akhirnya menjadi arak salak, ternyata Putu memerlukan tenaga dan usaha yang cukup ekstra. “Petik salak, diambil buahnya langsung dikupas dibuang bijinya itu nanti hasilnya bisa sekitar 100 liter, saya pakai 50 kilo bahan baku diblender nanti direbus baru dimasukan ke proses fermentasi dari 1 sampe tgl 1 misalnya 1 juli sampai 1 Agustus sudah kita dapatkan hasilnya, tidak dipilih salak yang bagus atau yg rusak. Dari awal pemblenderan salak sampai perebusan salak, saya ambil dari tgl 1 sampai tgl 1 depan udah disuling, 1 bulan. Untuk fermentasi cuma ditambah ragi,” paparnya.

Terjun ke industri arak membuat Putu harus menerima beberapa resiko dari regulasi yang ada. Salah satunya mengenai pendapatnya tentang Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 tahun 2020 dan produk araknya. “Karena saya bergabung dengan koperasinya  sendiri, saya bergabung kesana berarti tinggal produk kita ke koperasi lalu ke pabrik aman. Sementara penjualan belum, cuma  bahan baku saya diambil. Untuk rencana buat 1 merk saja ‘sibetan’ dan mudah-mudahan bisa terealisasi,” Imbuhnya. Selain masalah regulasi, banyak tantangan dan hambatan yang sejatinya dialami Putu dalam proses penemuan arak salak ini. “Ya kalo hambatan ada, misal pas lebaran dibatasi orang-orang minum, tapi mulai Agustus sudah ada permintaan modal, hambatan lain di modal. 1 drim modalnya 750 ribu, saya belum ada sentuhan dari bank, belum berani dan dari pihak desa juga belum ada bantuannya.” Tutupnya. Ia juga menambahkan bahwa nantinya yang akan meneruskan industrinya ini adalah anak-anaknya dan diharapkan semakin berkembang.

Reporter : Galuh, Gangga, Iyan, Tryadhi

Penulis : Gangga

Penyunting : Galuh

You May Also Like