Salak Sibetan, Bangkit Setelah Nyaris Punah

Mencuatnya nama Salak Sibetan asal Desa Sibetan, Bebandem, Karangasem, tidak serta merta datang dari dalam liang dan muncul ke permukaan. Tentu, ada cerita dibaliknya. Dimulai dari nyaris punah pasca letusan Gunung Agung, kelebihan produksi, hingga bangkit dengan segala daya inovasi produksi khas Salak Sibetan.   

Bila bertanya apa salak yang paling terkenal di Karangasem, Bali? Salak Desa Sibetan jawabannya. Daerah yang letaknya berada di kabupaten timur Bali ini telah menjadikan salak sebagai sebuah citra dan karakteristik wilayahnya sendiri. Namun di balik itu semua, pasang surut kehidupan bagi Salak Sibetan ini juga turut mengikuti jejaknya. Banyaknya hamparan salak sepanjang jalan menuju Desa Sibetan, ternyata menjadi sebuah nilai budaya bagi masyarakat setempat. Tepatnya, salak menjadi sebuah penghidupan utama masyarakat Desa Sibetan.

Menanam salak telah dilakoni sejak bertahun-tahun silam lamanya di Desa Sibetan. Tiada yang tahu sejak kapan dan siapa pertama kali menanam tumbuhan ini. Hingga kini diperkirakan 95% penduduk Sibetan berprofesi sebagai petani salak. Salacca zalacca, nama ilmiah buah salak dikategorikan sebuah tanaman yang tidak memerlukan perawatan rumit, hanya mengandalkan air hujan. Namun karena desa Sibetan letaknya berada dalam lingkar bencana “Sang Agung” maka batu terjal juga menjadi ancaman bagi makhluk hidup di dalamnya, tak terkecuali tanaman salak Sibetan.

Mengobrol – Putu Wijaya menuturkan jatuh bangun produksi salak di Desa Sibetan kepada tim konvergensi media Pers Akademika.

Pertarungan Ada dan Tiada dengan “Sang Agung”

Sebelum Gunung Agung meletus pada tahun 1963, Sibetan memang sudah dibludak oleh komoditi salak dan masyarakatnya memang menggeluti bidang pertanian salak. “Kalau di sini ya dari di bawah tahun 1960an, sebelum Gunung Agung meletus di sini banyak yang punya kebun salak, di Desa Sibetan aja, kalau petani Desa Sibetan aja itu 1900 hektar dengan 19.000 petani,” Ungkap Putu Wijaya (60), akrab disapa Putu selaku pengrajin arak salak di Desa Sibetan. Selain salak, ada juga komoditi lain seperti kelapa yang digunakan sebagai bahan dasar arak (minuman beralkohol khas Bali – red). Namun ketika Gunung Agung memuntahkan isi perutnya ke luar, hal ini sangat berdampak bagi seluruh makhluk di wilayah lingkar bencana, termasuk Desa Sibetan. Tidak terprediksinya letusan dahsyat Gunung Agung yang banyak mengeluarkan material vulkan berimbas pada banyaknya tanaman salak yang mati terbakar. Dengan kata lain, zaman itu salak mengalami masa kepunahannya. Kendatipun demikian, ada juga yang masih bisa bertahan seperti tanaman pisang dan kelapa yang tetap tumbuh, namun bertahan dalam kelayuan. Sungguh kondisi mengenaskan kala itu dan sangat memprihatinkan, mengingat sebagian besar masyarakat banyak mengandalkan dari komuditi asli Sibetan ini.

Salak Sibetan – Buah salak khas Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem yang dikenal sebagai komoditas unggulan.

Namun, kepunahan kala itu bukan menjadi sebuah pertanda kehancuran dari Sibetan. Secara bertahap, sisa-sisa tanaman salak yang terbakar secara ajaib bertahan dan tumbuh kembali, hingga pada tahun 70an salak kembali muncul. Bahkan efek mematikan dari muntahan Gunung Agung, justru berdampak baik bagi tanaman salak di Sibetan, khususnya pada media tanamnya. Tephra (istilah ilmiah untuk abu vulkanis) Gunung Agung mengandung mineral primer yang mengandung banyak unsur hara dan turut membantu pengembangan media tanam salak secara alami. Seiring berjalannya waktu, akan terjadi proses pelapukan kimia dan biologi dari bekas tanaman yang terbakar dengan tanah. Akibatnya tanah tersebut menjadi lumbung pupuk berkualitas bagi tanaman Salak di Sibetan. Waktu berhembus dan penelitian lain juga telah mengembangkan pupuk buatan yang notabene mampu membuat media tanam menjadi lebih bagus, namun tidak untuk tanaman salak. Ia lebih memilih pupuk alami dari tanah vulkanik dibandingkan dengan pupuk buatan.

“Ini kan dari asap vulkaniknya, istilanya debu vulkanik itu menjadi pupuk, itu kan ada dari dedaunan yang terbakar, jatuh ke areal perkebunan, nantinya debunya itu jadi rabuk, itu bagus dan menjadi rabuk nomor satu yang menyuburkan salaknya lagi karena rabuk-rabuk buatan tidak bisa untuk salak, lengkapnya nanti turun lapangan biar tahu,” papar Putu.

Kembali ke masa luluh lantah akibat “Sang Agung”, Desa Sibetan juga termasuk desa yang menerima pengungsi pada tahun 2017, kala beliau erupsi. Mitigasi dilakukan melalui kerja sama dengan desa adat-dinas sebelum adanya bantuan langsung dari pemerintah, di mana pengungsi dibantu oleh Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Bahkan sebelum ada bantuan dari pemerintah, maka pengungsi diback-up oleh LPD. “Kalau dari desa sendiri ada mitigasi, desa adat dan dinas bekerja sama, dan membantu, ada juga di sini mantan bupati dan membantu, sebelum ada bantuan pemerintah bantuan diback-up dari LPD. Dan pas itu juga panik. Ditampung di bale banjar, bale desa,” jelas Beru Suryawan, selaku kepala desa Sibetan saat ditanya mengenai mitigasi desa. “Kalau di Sibetan sedikit dampaknya, karena dipakai mengungsi juga dari desa sebelah. Di sini tidak kena lahar karena ada dua bukit yang menghalangi. Tapi getarannya lumayan. Kalau malam tidak bisa tidur, karena bunyi gunungnya. Kalau abunya kena, tapi 2017 itu sekali dua kali pernah sampai kesini, seringnya ke utara. Pemulihannya itu otomatis,” sambungnya.

Kebun salak – Putu dan anaknya sedang berada dalam perkebunan salak miliknya seluas dua hektar.

Kendatipun penuh dengan tekanan bencana dan hampir hilang dari peradaban, namun salak tetap eksis hingga saat ini. Benar-benar sebuah keajaiban dan kekuatan budaya yang menyelami tanaman khas Sidemen ini, bahkan saat ini tengah dikembangkan produk lain yang bisa memperkenalkan salak lebih jauh lagi.

Tiada yang Menduga: Salak Jadi Arak

Walaupun terbilang baru untuk arak berbahan dasar salak, namun produknya sungguh menakjubkan. Tak berbeda dengan arak dari nira kelapa yang terkenal luas, arak salak ini juga tak kalah menariknya. “Di sini salak itu sebagai budaya, beberapa jenis salak yang dominan dilihat oleh mancanegara, seperti ada salak gula pasir dan Bali, untuk menghindari anjloknya salak Bali, dan supaya tidak punah, saya berupaya agar bisa meningkatkan pendapatan petani. Timbul lah beberapa ide saya dan saya geluti sampe hari ini, saya belajar membuat fermentasi, dengan begitu tidak bakal anjlok di pasaran. Saya juga ada berapa partner dan ngundang dari koperasi untuk membuat pengolahan bahan baku, salak distilasi, dan menghasilkan produk  arak. Dasar ini lah kami bisa mengundang temen-temen untuk berinvestasi,” ucap Putu dengan antusias.

Fermentasi – buah salak diberikan ragi untuk kemudian difermentasi agar menciptakan rasa manis dan mengeluarkan air.

Ide arak dari salak oleh Putu ini tiba-tiba muncul tatkala melihat salak yang jatuh dan membusuk akibat terlalu matang. Jika dilihat, sangat memprihatinkan, buah enak nan berkhasiat tersebut jatuh berserakan tiada kelola. Rasa keingintahuan Putu karena aroma menyengat yang dihasilkan oleh salak “busuk” itu membuat sebuah pemikiran cemerlang untuk membuat sebuah produk fundamental berupa arak.

Fermentasi menjadi sebuah kata kunci dari penemuan arak salak ini. Perlu sebuah ketelitian dalam sebuah pencarian, apalagi memunculkan suatu produk baru. Perlu juga teknologi dan pengembangan tekun agar mencapai keberhasilan suatu produk berkualitas. “Kalau membahas mengenai fermentasi, itu berarti membuka rahasia produk, hahaha,” Ujar Prof. Dr.rer.nat.,Drs. I Made Agus Gelgel Wirasuta, Apt., M.Si., selaku akademisi bidang farmasi Universitas Udayana seraya tertawa saat diwawancarai via Whatsapp (21/6). Ketika ditanya mengenai bagaimana fermentasi salak ini dapat terjadi. “Fermentasi yang digunakan biasanya memakai ragi Saccharomyces cerevisiae, semua buah yang ada gula bisa difermentasi, seperti salak, di mana glukosanya dirombak menjadi alkohol secara anaerob,” tambah dosen yang akrab disapa Prof. Gelgel itu.

Hasil dari fermentasi arak salak ini tentunya akan menghasilkan sisa atau ampas. Saat ini masih dipikirkan akan dijadikan apa ampas fermentasi arak salak tersebut. Pasalnya belum ada penelitian atau aplikasi dari sisanya ini. “Nah, ini hasil daripada ekstraknya itu ada sisanya, sisanya itu belum saya jadiin apa-apa, sebenarnya sudah menjadi dodol salak, karena istilahnya sudah diambil aroma dan sari-sarinya, saya belum coba lagi. Makanya saya harapkan mahasiswa Udayana ada skill bisa ke sini untuk coba buat, biasanya sisanya saya kembalikan jadi rabuk,” ungkap Putu sembari memberikan arahan juga pada mahasiswa. Hal ini juga sejalan dengan yang diutarakan oleh Kepala Desa Sibetan mengenai produk lain yang bisa dikembangkan dari salak. “Kalau bisa dikembangkan jadi sesuatu yang bisa dijual ke masyarakat kan bagus. Dari masyarakat kembali lagi ke masyarakat. Uangnya muter di sana juga,” tambah Beru sembari mengeluarkan tawa kecil.

Distilasi – hasil fermentasi arak kemudian didistilasi untuk mencari kandungan murni berupa arak.

Dalam perkembangan produk barunya, tentu saja tidak mudah jika dikembangkan oleh pribadi semata. Begitu pula Putu yang mempelajari hingga berhasil mengembangkan suatu produk berupa arak menggunakan bahan dasar salak. “Tentu bahas tujuan tema utamanya apa, hasil panen, jenis yang akan diproduksi dan akan dijadikan minuman. Saya istilahnya di sini sebagai pengrajin, ada beberapa kelompok, kelompok saya isinya 12 orang dan semuanya petani yang saya rekrut. Masing-masing kelompok tiang targetin punya lahan 1 hektar untuk mengcover daripada pengrajin araknya, termasuk juga saya kerjasama dengan Bapak Sumerjo selaku ketua koperasi di sini. Kalau berdasarkan UU Gubenur PP nomor satu 2020 harus pengrajin Arak Bali yang pada khususnya pengrajin arak salak harus bersinergi dengan koperasi, dari koperasi baru ke pabrik baru ke distributor,” ucap Putu ketika ditanya mengenai Koperasi yang menghimpun produknya.

Selain dari koperasi yang menghimpun, pihak pemerintah juga kerap kali ikut membantu, namun tidak sepenuhnya hingga membuat kegundahan. Bahkan disarankan untuk beralih, namun masyarakat yang kukuh akan budaya dan kearifannya memutuskan untuk tidak mengganti salak, walaupun disarankan beralih. “Jika disuruh ganti, masyarakat kami oke-oke saja, asalkan salak tidak dihilangkan. Tapi tetap saja kalau tanamannya dari pemerintah ya bisa saja, tapi kalau disuruh beli masyarakat kami tentu sulit,” kata Beru. Apalagi, setelah dikeluarkannya sertifikat hak paten untuk salak Sibetan, yang sudah sedari lama diperjuangkan. 15 tahun penantian yang panjang dengan konfliknya membuat masyarakat Sibetan semakin kukuh mempertahankan salak sebagai komuditas utama desa. Bahkan jika dibawa ke luar, salak Sibetan tidak akan sebagus salak yang langsung ditanam di tanah desanya sendiri. “Susahnya keluar ketika ganti-ganti staff di sana, ketika sudah maju proposal dari sibetan, dan staff nya diganti maka proposalnya juga hilang. Salak Bali adalah Salak Sibetan. Ketika banyak menanam salak, tapi tidak sama seperti di Sibetan,” lanjutnya.

Arak salak – hasil proses pembuatan arak salak diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan kadar alkohol.

Salak Sibetan Menanti untuk Diteliti

Harapan tidak akan pernah luput dari segala halangan dan rintangan. Bahkan untuk Sibetan sendiri sudah memiliki sebuah terobosan untuk membuat wadah pengembangan salak, namun kendala panen menjadi masalah. “Rencananya untuk membantu masyarakat maunya dibuatkan wadah dalam pengembangan salaknya, tapi kendalanya pas panen takutnya membludak dan pemasarannya susah. Pernah investor datang mau dijadikan bir, nanti tidak bisa menanam modalnya terlalu lama. Ada wacana salak dijadikan minuman welcome drink, tapi berapa perlunya karena takutnya pas musim over dan pas nggak musim nggak ada,” tutur Beru.

Bahkan ditambahkan oleh Prof. Gelgel, selaku akademisi turut terjun membantu mengembangkan potensi desa ini, bukan hanya duduk terpaku menunggu hasil dan diserahkan pada pihak atas. “Kalau peran itu bisa diwujudkan lewat aplikasi yang bisa dikembangkan nantinya, banyak meneliti dan rancang. Intinya bisa membantu masyarakatnya, maka itu sudah termasuk peran dan harapan untuk desa,” ungkap Prof. Gelgel. Baik Beru maupun Putu mengharapkan akademisi maupun insan intelektual lainnya turut membantu dalam persoalan kelebihan prosuksi salak di Desa Sibetan yang telah menjadi persoalan klasik. Di sisi lain, juga berkaitan dengan diversifikasi produk, hingga terobosan agar salak tidak menunggu musim panen. “Kami juga berterima kasih karena peneliti sudah menemukan berbagai jenis salak yang ditemukan di sini, sekitar ada 14 salak. Sehingga ini bisa membangkitkan petani salak.” Tutup Beru.

Reporter : Galuh, Gangga, Iyan, Triyadhi

Fotografer : Iyan, Galuh

Penulis : Gangga

Penyunting : Tejasena

You May Also Like