Secarik Kisah “Tawaran Bukan Suap”

 

Akhir-akhir ini aku sedikit membaca buku. Waktuku semua terisi dengan kegiatan-kegiatan anak kuliahan. Membuat tugas, sibuk dengan kepanitiaan, kegiatan di kampus dan apapun itu yang berkaitan dengan kampus. Cerita ini cukup dekat dengan kehidupanku dan siapakah yang peduli dengan cerita seperti ini?

Aku mengikuti kegiatan ekstra di kampus yaitu sebuah lembaga independen yang bergerak dalam bidang merangkai kata menjadi tulisan dan ditujukan untuk publik, khususnya kepada mahasiswa. Beberapa tulisan sudah pernah aku buat dan tentunya diselesaikan dengan baik. Dari semua itu, aku tidak mendapatkan bayaran apa-apa karena aku masuk di lembaga ini atas dasar suka serta tujuan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan materialistik belakang.

Suatu hari, aku mendapatkan tugas untuk menyelesaikan tulisan yang akan dimuat dalam bentuk bulletin, tetapi bukan persoalan ini yang akan aku bahas. Semua anggota lembaga mendapatkan jadwal piket untuk membuat tulisan sesuai dengan pembagian yang sudah ditetapkan. Saat ini sudah memasuki periode kedua. Aku mendapatkan bagian menulis rubrik sastra berupa cerpen. Tidak tahu mengapa sulit sekali membahasakan ide yang masih diam nyaman di dalam ubun-ubun ini. Sampai melampaui batas deadline pun tak kunjung satu paragraf yang terbuat. Aku mulai membuka kembali buku bacaan, mencari kosakata yang kurasa sudah habis aku pakai. Aku memulai mengumpulkan kembali melalui buku bacaan. Ternyata dengan membaca, aku baru bisa mengungkapkan apa yang menjadi ideku—meskipun itu hanya memperbaiki tulisan anekdot yang pernah aku buat di masa masih berseragam putih abu-abu. Aku merasa sia-sia jika tulisan itu hanya dibiarkan saja. Tulisan itu berjudul, “Tawaran Bukan Suap”. Berikut akan kuceritakan padamu kisah itu.

Suatu hari, ada seorang pemuda bernama Aan yang mengendarai sepeda motornya menuju kantor tempat kerjanya. Lantaran tergesa-gesa, ia lupa membawa SIM dan STNK yang diletakkan di dalam dompet cokelat dan dompet itu dia tinggalkan di atas meja kerja di rumah. Di perjalanan menuju tempat kerjanya, ada polisi yang sedang melaksanakan tugas di jalan raya. Polisi tersebut berkata, “Stop Pak, stop! Selamat pagi Pak, bisa dimatikan dulu motornya?”

Kemudian ia bertanya dengan gagah, “Bapak mau kemana?”

Aan berpura-pura tidak mendengar yang dikatakan oleh polisi itu. Alhasil ia pun kembali ditanyai dengan tegas, “Mau kemana Pak? Bisa dimatikan dulu mesin motornya?”

Aan menjawab dengan gugup sebab ia sadar bahwa dompetnya tertinggal, “Mau ke kantor, Pak. Saya mau kerja.” Ia melihat ke jam tangannya. Waktu yang tertera di sana menandakan dia sudah terlambat untuk masuk kerja. Dia seharusnya sudah berada di kantor pukul 08.30 WITA. “Bisa diperlihatkan surat-suratnya Pak? SIM-nya?!”

Aan menjawab dengan ragu, “Ketinggalan di rumah, Pak.”

“Terus STNK-nya mana?!”

Aan menjawab dengan nada rendah, “Ketinggalan di rumah juga, Pak. Maksud saya dompet saya ketinggalan di rumah dan surat-suratnya berada di sana.” Alhasil, sebab Aan tidak membawa surat-surat, dia pun ditilang oleh polisi. “Karena surat-surat Bapak tidak lengkap, maka Bapak ‘kan saya tilang! Tunggu sebentar, saya buatkan surat tilangnya dahulu dan motor bapak saya tahan.”

Aan menunggu sambil berpikir bagaimana cara agar tidak kena tilang dan berurusan kembali dengan pengadilan besok Senin. Dia teringat dengan uang yang diberikan oleh istrinya untuk membeli keperluan dapur. Uang tersebut ia taruh di saku celana belakangnya. Uang ini bisa meloloskan aku, pikirnya.

“Pak Aan ini surat tilangnya, besok Senin pagi Anda datang ke pengadilan!” ucap sang polisi.

Setelah beberapa menit berbincang-bincang dengan polisi, Aan pun berkata dengan spontan, “Pak, ini saya kasi uang damai 50 ribu dan selesaikan masalah saya ini.”

Polisi membentak, “Bapak mau menyuap saya dengan uang 50 ribu? Saya laporkan Bapak karena mau menyuap saya!”

Aan menjawab, “Saya tidak menyuap Bapak tapi menawarkan ke Bapak, atau Bapak antarkan saya ke kantor tempat kerja saya, bagaimana? Saya sudah terlambat Pak, bisa dipecat saya!”

Polisi berkata sambil berpikir, “Biar aku pikir-pikir dulu tawaran Bapak.”

Aan menjawab, “Iya Pak tapi jangan lama-lama! Saya sudah terlambat Pak!”

Setelah beberapa lama polisi berpikir, dia berkata, “Mengingat Bapak sudah terlambat masuk kerja dan saya tak mungkin bisa mengantar Bapak ke kantor, jadi saya terima tawaran damai Bapak dan ini bukan suap, tapi tawaran dari Bapak.”

“Siap pak polisi. Gara-gara bapak saya terlambat,” Aan pun memberikan uang belanja titipan istrinya ke polisi, “Ini uangnya Pak, terima kasih”. Aan langsung berangkat menuju kantornya. Dia bingung sendiri dengan kejadian tadi. Dia kehilangan uang yang dititipkan istrinya. Aan pun tertawa terbahak-bahak sambil berpikir polisi itu juga bisa disuap dengan uang 50 ribu.

Aku membaca ulang tulisan ini, ternyata asik juga. Awalnya aku terlalu berobsesi ingin melahirkan tulisan yang begitu apik dan berani. Tapi aku tahu, aku sendirilah yang tak berani untuk memulainya. Jadi cukuplah cerita tadi saja yang kuceritakan padamu pada kesempatan ini. (Yogi/Akademika).

Editor: Ryan

[DISCLAIMER]

Berita ini dipublikasikan pertama kali  pada tanggal 07 Juli 2018 di persakademika.com

You May Also Like