Terima kasih sudah 22 Tahun Menjadi Cahaya Matahariku

Di siang hari yang berawan, seorang lelaki paruh baya yang mendekati usia senja, bergegas masuk ke mobil antiknya dengan membawa seikat bunga.

Lelaki dengan perut buncit yang mengenakan sweater itu sudah berdandan rapi tapi masih perlu untuk menata rambutnya sembari membenarkan tata letak spion mobilnya. Dalam kaca spion itu terlihat rambut yang dominan berwarna putih dan sepintas terlihat pula wajah anaknya yang telah duduk di jok sebelah kirinya. Rambutnya gondrong dan berkumis, ia mengenakan kemeja putih yang dibalut jaket dan celana jeans yang lusuh, seperti setelan biasa yang ia pakai ke kampus.

Pedal gas mobil Starlet keluaran 90-an itu kemudian ditancap perlahan menuju arah selatan. Seperti biasa, suasana dalam mobil itu begitu sepi. Anaknya asik sendiri mendengarkan musik menggunakan headphone yang tersambung pada jack audio walkman.

Selama di perjalanan, suasana terus didominasi oleh keheningan. Tapi bukan berarti karena mereka sedang bertengkar. Memang begitu kebanyakan, sebagaimana hubungan antara anak lelaki dengan ayahnya. Kadang dengan diam tanpa bercakap, di saat yang sama, entah apa, ada suatu cara yang menyatukan mereka dalam kegamangan. Mungkin dengan cara begitulah mereka berkomunikasi. Atau mungkin, mereka tengah menggunakan telepati. Sebab, mereka berdua seolah terkoneksi satu sama lain. Namun satu yang pasti, sebenarnya, dalam diam mereka saling peduli. Hanya saja, kadang memang sebagian ayah begitu pandai menyembunyikan hal itu, hingga seolah tak nampak bahwa ia peduli. Salah satunya ialah ayah yang mengemudikan Starlet bercat kuning yang luntur ini.

Di sebuah persimpangan jalan, ada pedagang gorengan langganan ayahnya, ia berhenti dan membeli gorengan yang baru saja matang diangkat. Melalui jendela mobil, ayahnya mengacungkan dua jari kepada pedagang itu. Ia pun dihampiri sambil dibawakan gorengan seharga dua ribu oleh pedagang tersebut.

Ayahnya kemudian meletakkan gorengan itu di antara mereka berdua. Aroma gorengan yang perlahan menyeruak di dalam mobil, membuat tangan anak lelakinya mulai menjamah satu per satu gorengan itu. Lahapan pertama membuat anak tersebut kaget, ia kemudian mengeluarkan gigitan gorengan dari mulutnya karena lidahnya yang kepanasan. Headphone yang menyumbat telinganya pun juga terlepas karna kaget, dengan spontan ia lalu tertawa karna kekonyolannya. Karena insiden itu, akhirnya suasana pun mulai mencair.

Gorengan seharga dua ribu itu, satu per satu sudah habis dilahap. Seperti biasa, pria dewasa itu  kemudian dengan sendirinya menyalakan api lalu menghisap rokok. Satu yang ia tahu, sudah lama anak lelakinya juga kedapatan merokok, tetapi pria dewasa itu tidak bisa begitu marah dan melarangnya, toh karena ia sendiri juga tidak bisa mencontohkan anaknya untuk tidak merokok. Kejadian itu sudah lama, mungkin sejak masa SMA. Namun sekarang, di antara dirinya dan sang anak, sudah tidak ada rasa canggung lagi untuk sekadar merokok bersama. Anak lelaki itu pun menyalakan rokok dengan korek yang sama. Perlahan, asap mulai mengepul memenuhi permukaan atap mobil.

Asap rokok itu kemudian memicu obrolan yang terbuka dan hanya mereka berdua yang tahu konteksnya. Ya seperti biasa, topiknya hanya seputaran pesta, politik, dan asmara. Awalnya, memang agak canggung saat anak lelaki mulai membahas soal asmara seperti sekadar meminta saran untuk mendapati hati perempuan yang digebetnya. Rupanya ayahnya ternyata bukan lelaki yang ulung dalam memikat wanita, jadinya mereka berdua hanya saling berbagi pengalaman dari sudut pandang masing-masing. Begitu juga soal politik dan pesta-pesta yang pernah mereka penuhi undangannya.

Seusai berbincang ini-itu, obrolan itu ditutup dengan mendengarkan musik bersama. Anak lelakinya mengeluarkan kaset album terbaru dari Band The Panturas. Ia lalu memasukkannya dalam tape, meng-klik ‘play’, lalu musik pun menggema di dalam mobil itu. Anak lelakinya mencoba meniru dentuman drum di lagu itu, ia spontan mengambil korek yang dianggap sebagai mic, dan mencoba meniru lirik lagu itu, yang berbunyi:

“we’re running out time to see it going down today”

(kita kehabisan waktu tu melihatnya -matahari- terbenam hari ini)

“you know that i’m still holding on your arm”

(kau tahu aku masih berpegangan pada lenganmu)

“it’s getting dark there’s no light from above, you know”

(disini mulai gelap karna tak ada cahaya dari atas, kau tahu)

 

Sang ayah pun ikut menikmati iringan lagu itu, dan menyanyikan sepenggal lirik bersama anaknya dengan sebuah keyakinan:

“You know that you will always be my sunshine”

(kau tahu kalau kau akan selalu menjadi cahaya matahari ku)

“cause tonight we’ll be fine”

(karna malam ini kita akan baik-baik saja)

Walaupun sederhana dengan menyantap gorengan, merokok, ngobrol, dan mendengar musik bersama, itu sudah menjadi semacam quality time bagi mereka. Dalam perjalanan yang masih sama, anak lelakinya yang tak kuat menahan kantuk akhirnya tertidur dalam posisi duduk. Kemudian saat ayahnya melihat itu, ia bergegas menepi dan berhenti untuk memasangkan sabuk pengaman serta memposisikan jok mobil dengan kondisi rebahan.

Namun, anak lelakinya itu tak kunjung terbangun. Pria dewasa itu mulai tersadar, bahwa sosok anak lelaki yang duduk di jok sebelahnya, di sepanjang perjalanan itu perlahan memudar, lalu menghilang. Ternyata sosok itu hanyalah bayangan dari halusinasi yang tak dapat dibendung karena kerinduan seorang ayah yang begitu mendalam pada anaknya.

Setiap tahun, seorang ayah itu akan menyempatkan waktu berziarah ke makam anaknya yang terletak di bagian selatan kota. Di setiap perjalanannya, pria dengan tubuh yang sebentar lagi akan berubah renta itu terbayang momen-momen ketika bersama anak lelakinya. Kejadian itu memang sudah seperti menjadi siklus yang terulang ketika menuju ke pemakaman sang anak. Hingga kini, 22 tahun sudah sejak kepergian anaknya. Ia kembali berziarah dengan tak lupa selalu membawa seikat bunga. Ia selalu percaya bahwa doa yang ia panjatkan, akan bisa menjadi sebuah cahaya yang menyinari kegelapan anaknya di dalam tanah itu. Dan perlahan belajar serta bisa menjadikannya sebagai sebuah keikhlasan.

***

Mei, sudah 22 tahun yang lalu, tahun yang mendebarkan bagi sebagian orang tua yang memiliki anak yang sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Sebuah demonstrasi besar memicu klimaks dalam tragedi Trisakti itu. Ada mahasiswa yang tewas ditembus peluru dan ada pula yang masih belum diketahui keberadaannya hingga membuat sebagian orang tua masih menunggu kabar mengenai anaknya. Hingga detik ini, masih ada yang berharap akan kepulangan anaknya. Dan sesampainya kabar kehilangan itu tiba, ada yang akhirnya mengikhlaskan anaknya pergi. Selamanya…

Nb: Tulisan ini merupakan hasil adaptasi dari sebuah video klip lagu berjudul ‘Sunshine’ dari band The Panturas

Ditulis oleh : Agus Dwi Adnyana

Penyunting : Nanik Dwiantari

 

 

 

 

 

 

You May Also Like