Titik Nol

Tirai lebar menutupi setiap sisi jendala. Kamar tersebut nampak sangat gelap dan sunyi. Tak ada cahaya yang mengintip karena sang surya memang belum terbangun dari tidurnya.

“Larilah. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk berlari. Lakukan apa pun untuk kabur dari sini”

Di sini lah dia, bergulat dengan pikirannya sendiri. Wanita yang terlihat muda itu masih setia menatap ke arah pintu. Pikirannya memaksa untuk pergi dari rumah yang pernah memberikan cerita tentang “Kita”.  Tunggu, atau mungkin memang tidak pernah ada kata “Kita” di rumah itu? Entahlah, wanita itu tidak mau ambil pusing karena ia sudah membulatkan tekadnya untuk pergi. Ia tak ingin menahan diri lagi.

Maniknya kemudian beralih ke sosok yang masih tertidur pulas di sampingnya. Wanita itu mendengus. Ia menyesali dirinya sewaktu muda yang dengan mudahnya menyerahkan dirinya pada laki-laki itu. Ya, sejak malam itu tubuhnya bukan lagi miliknya.  Semua terjadi begitu cepat. Dalam sekejap dia telah menjadi ibu, istri, sekaligus menantu. Dia bukan dirinya yang dulu. Ia menjadi asing karena memulai semua dari titik nol tanpa ancang-ancang.

Dulu wanita itu percaya bahwa sang lelaki akan mampu membuatnya bahagia.  Tetapi, angan tetaplah angan. Semenjak menikah, laki-laki itu hanya menjadikan sang wanita sebagai boneka. Kekuasaan tertinggi berada di tangan sang suami selaku kepala keluarga. Ia melarang istrinya berkenalan dengan dunia luar, mengurungnya dalam rumah, mempekerjakannya hanya untuk urusan dapur-sumur-kasur. Wanita yang sudah bodoh sedari awal itu menjadi semakin bodoh.

“Tenanglah, kita akan terus bersama.”

Wanita itu mengingat kembali bagaimana ucapan manis yang keluar dari mulut laki-laki itu berhasil membuatnya percaya. Dulu kalimat tersebut memanglah berhasil membuatnya melayang. Tapi tidak untuk sekarang. Ia muak bersama laki-laki itu. Ia bersumpah akan mulai melupakannya mulai sekarang.

“Mungkin aku bodoh karena berdiam diri selama bertahun-tahun di rumah ini. Membiarkanmu menjadikanku budak. Bagimu pernikahan adalah mainan, bukan?” Wanita itu berbicara dalam hati sembari menatap laki-laki disampingnya yang masih terdiam.

Wanita itu mulai bergumam pelan, “Kau bilang aku tidak cukup berani untuk melawanmu. Tak cukup bernyali untuk pergi. Hahaha, lihatlah apa yang akan aku lakukan hari ini. Aku akan lari dari sini hingga kau tak akan mampu mengejarku lagi”

Pukul 6 pagi. Wanita itu belum juga lari dari rumah. Ia masih berkutat dengan urusan rumahnya. Katakan lah dia wanita yang bertanggungjawab karena masih sempat mengurusi anaknya sebelum benar-benar lari dari rumah. Dia juga masih menyiapkan bekal untuk suami.

Biar lah kali ini ia egois. Wanita itu tau bahwa kepergian dari rumah akan membuat anak-anaknya sedih. Tetapi, wanita itu ingin membuktikan pada sang anak bahwa ibunya bukan lagi wanita bodoh dan lemah yang bersedia untuk tunduk atas semua perlakuan keji ayahnya.

Setelah suami dari wanita itu pergi. Sang wanita segera menyiapkan diri. Ia tak membawa barang bawaan apa pun, bahkan barang yang berkaitan dengan anaknya. Ia merasa hal tersebut hanya akan menahannya untuk berlari pergi. Ia juga sadar bahwa ia adalah perempuan yang tinggal di daerah dengan sistem patriarkhi yang kental. Perempuan datang dan pergi hanya sebagai tamu. Tak pernah memiliki apa-apa, karena hak waris, harta, semuanya adalah hak milik pihak laki-laki.

Kenapa dia tidak membawa pergi saja anaknya? Hm, sebenarnya wanita itu berniat membawa anak-anaknya lari dari rumah itu bersama dengannya. Namun, jika adat istiadat berbicara ia bisa apa. Wanita lemah seperti dirinya tak berhak membawa anak-anak itu pergi karena anak adalah milik pihak laki-laki. Malang nasibnya, bahkan anak-anak yang menjadi harta satu-satunya bagi wanita itu tak dapat ia miliki.

Kini wanita itu telah berdiri di depan gerbang rumahnya. Rencana pelarian dirinya sudah ia siapkan dengan matang. Tampak wajah wanita itu tidak mengguratkan ekspresi apapun. Wanita itu berusaha mengatur degup jantungnya. Ia terlihat kuat tapi hatinya remuk. Sebelum melangkah keluar, wanita itu menatap kembali ke arah anak-anaknya. Sungguh, ia sebenarnya sangat mencintai darah dagingnya itu. Ia pasti akan merindukan mereka nantinya.

Diawali dengan langkah kecil nan hati-hati, wanita itu akhirnya meninggalkan rumah yang pernah menjadi tempat tinggalnya. Lambat laun, langkah kakinya menjadi semakin cepat. Wanita itu kini tengah berlari menyusuri jalan yang berliku. Ia terus berlari dengan menahan sakit. Sesekali wanita itu menoleh ke belakang untuk mengetahui apakah ia sudah berlari cukup jauh. Inilah cara wanita itu memberikan pelajaran kepada suaminya dengan meninggalkan dia tanpa pesan apapun.

“Kau akan menyesal”, ujar wanita itu sambil terus berlari.

Langit sudah berwarna jingga. Matahari mulai menenggelamkan diri di sisi barat.

“Hei apa yang kau lakukan di sana? Cepat buatkan aku kopi!” ujar seorang laki-laki yang berbicara dengan nada tinggi kepada wanita itu. Sang wanita hanya mengangguk dan segera menuruti apa yang diperintahkan lelaki bertubuh tambun itu.

Sesungguhnya wanita itu tidak benar-benar pergi hingga detik ini. Ya, wanita itu kembali ke rumah pada sore tadi dan laki-laki yang berbicara kepada dirinya tadi tidak lain adalah suaminya. Wanita hanya bercita-cita untuk lari, tetapi sesungguhnya ia hanya berlari untuk memutar kembali ke tempat semula. Terlebih lagi cinta seorang ibu yang lagi-lagi memaksanya untuk kembali. Berkali-kali dia mencoba untuk lari dan berkali-kali pula ia harus kembali. Wanita itu sadar bahwa ia tak boleh benar-benar pergi. Begitulah wanita itu berakhir, menjadi perempuan di titik nol lagi dan lagi.

Penulis: Ni Putu Mirna Sari

Penyunting: Rani Meylan

You May Also Like