Menelisik Perkawinan antara Cinta dan Kasta

Memasuki jenjang perkawinan adalah suatu kewajiban ditengarai sebab seseorang harus memeliki keturunan agar bisa menyelamatkan perjalanannya kelak jika atma sudah tidak di badan kasar lagi. Jika demikian, perkawinan adalah hak, siapa saja boleh melakukannya, tanpa harus berpikir akan bobot, bibit, bebet, dan babad dari pasangan hidupnya.

Hindu mengenal adanya empat jenjang dalam kehidupan manusia yang lazim disebut Catur Asrama. Empat jenjangan itu yakni Brahmacari, yaitu masa menuntut ilmu, sehingga seseorang kelak mempunyai bekal dalam melangsungkan hidup di jenjang berikutnya. Kemudian yang kedua yaitu Grhasta merupakan masa hidup berumah tangga. Selanjutnya yang ketiga yaitu Wanaprasta di mana secara konsep Hindu mereka yang hidup di tingkatan ini hendaknya mengasingkan diri di hutan namun bisa diinterpretasikan pada masa sekarang itu adalah masa pensiun. Jenjang berikutnya yaitu Bhiksuka atau Sanyasin. Di masa ini seseorang diharapkan bisa melepaskan diri dari kehipan keduniawian untuk mencapai sebuah kelepasan nantinya.

Perkawinan di Bali adalah hal yang masih disakralkan sehingga orang yang melangsungkan perkawinan haruslah siap lahir maupun batin juga siap dengan segala kemungkinan resiko dalam kehidupan berumah tangga. Terkadang perkawinan itu tidak dianggap sah oleh pihak keluarga walaupun kedua anaknya saling mencintai. Hal tersebut sering terjadi di Bali apalagi Hindu Bali masih menganut sistem kasta yang dari dulu hingga sekarang tidak ada ujung pangkal penyelesaian.

Kasta adalah sebuah kata yang sakti dan mampu membuat perselisihan di antara kerabat. Perjalanannya hingga sekarang di Bali masih dirasakan ada, karena ada golongan-golongan tertentu yang tetap mempertahankan feodalisme kaum-kaum ningrat yang dikategorikan darah biru. Prof. I Gusti Ngurah Bagus pada tahun 1969 menghadirkan tulisan yang benar-benar sangat menggugah wawasan tentang keberadaan kasta di Bali pada masa-masa pergerakan nasional, yang menjamur ketika semua mempunyai prinsip dan bersikukuh terhadap idealisme kasta yang dimiliki, sikap fanatisme antar golongan, serta manajemen konflik yang kurang dimengerti dan dilaksanakan dengan baik. Tulisan itu bisa menjadi bukti kalau pergolakan akan kasta memang dari dulu tidak ada titik temu.

Kasta, oleh Prof. I Gusti Ngurah Bagus dibagi menjadi empat yang lebih dikenal dengan Catur Wangsa yaitu Brahmana (golongan bramana), Ksatria (golongan ksatria), Wesia (golongan pedagang), dan Sudra (golongan budak atau buruh rendahan). Mereka yang berada pada strata yang lebih rendah selalu dipinggirkan dalam berbagai macam urusan karena dianggap orang yang tidak penting. Namun tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan sosial kalau pada nantinya semua berbaur menjadi satu dalam bermasyarakat. Cinta bisa tumbuh di mana saja oleh siapa saja tidak memandang kedudukan dan fungsi masing-masing orang.

Pada zaman dulu, perkawinan antara kasta dipandang sesuatu yang tabu alih-alih dipandang sebagai hal yang aib juga sebab melakukan perkawinan seperti ini dinilai anomali oleh para tetua yang pada saat itu masih mempertahankan adat budaya masing-masing. Masih menganggap adanya golongan tinggi dan golongan rendah, sehingga tak pelak perpecahan pun terjadi walaupun itu masalahnya kecil yaitu cinta yang mempertaruhkan kasta.

“Awalnya saya tidak menyangka akan menikah dengan orang biasa atau lebih sebab saya dari kecil sudah diajarkan dan dididik untuk tidak kawin ke luar dari lingkungan puri. Sebagai gadis yang terlahir di puri, saya sangat menghormati warisan petuah dari leluhur saya sebab saya percaya kalau saya yang terlahir di sini ada karena leluhur saya. Namun kehidupan berkata lain ketika saya mulai mengenal dunia luar saya mulai tertarik dengan lawan jenis tapi sangat disayangkan kalau yang saya cintai itu bukan berasal dari golongan saya atau kerabat saya di puri. Lelaki yang saya cintai adalah lelaki yang pertama kali saya lihat waktu saya masih menjadi resepsionis sebuah travel dan dia datang mengantar tamunya,” Cokorda Istri Diah Mahayani mengawali ceritanya.

Ditambahkan lagi oleh ningrat asal Puri Klungkung ini, saat pihak keluarganya mengetahui tentang perjalanan cerita cinta mereka sudah tentu pasti dia dilarang berhubungan dengan lelaki sudra yang menjadi suaminya sekarang. “Dulu keluarga besar saya menghalangi hubungan saya dengan dengan I Made Karnawinawan (suami Cok Istri Diah Mahayani) sampai-sampai saya disuruh berhenti kerja dan diam di puri. Kakak tertua saya melayangkan surat pengunduran atas diri saya ke travel tempat saya bekerja dengan alasan kondisi fisik saya melemah padahal waktu itu saya sehat-sehat saja. Namun waktu itu saya diam-diam menelpon Made lewat bantuan penyeroan (pembantu) di puri saya dan akhirnya saya melarikan diri dari puri dan menikah diam-diam dengan Made,” tutur ibu dua anak ini.

Sementara dari pihak keluarga Made menerimanya dengan baik. “Saya waktu itu senang bercampur bingung. Senang karena saya cinta saya akhirnya kembali namun bingung karena saya tidak tahu harus berbuat bagaimana. Tetapi berkat nasihat dari keluarga besar saya akhirnya kami berdua dibuatkan banten dan dari pihak keluarga saya membawa nasi pangenduh (sejenis upakara yang disinyalir bisa membuat damai pihak yang diajak bersengketa). Berangkat dari rumah ke Puri Klungkung waktu itu hati saya berdebar-debar, namun ketika menginjakkan kaki di puri dan saya bicara baik-baik perihal yang terjadi akhirnya keluarga puri menyadari kalau cinta saya dengan Cok tidak bisa dihalangi. Ujung-ujungnya pernikahanpun dilangsungkan dan saya sangat bahagia pihak puri juga hadir pada saat pernikahan saya, serta sampai sekarang tali simakrama tetap terjalin dengan baik,” I Made Karnawinawan menambahkan.

Kehidupan sosial di masyarakat memang tidak bisa dihindarkan kalau akan terjadi pembauran antar kasta tersebut. Seperti yang dituturkan pasangan Ida Ayu Komang Ariani dengan I Ketut Surencana, mereka berdua mengaku dipertemukan oleh Sanghyang Jagat karena cinta dan mereka sangat percaya bahwa jodoh itu sudah diatur, sebagai makhluk di dunia tidak akan bisa menghindarkan diri dari jeratan hukum karma pala. “Kenyataan berkata beda walaupun saya sudah dipingit oleh keluarga besar saya dari kecil toh juga pada akhirnya saya menikah bukan dengan keluarga besar saya yang mengaku diri dari golongan Brahmana. Apalah arti sebuah kasta, karena menurut saya pribadi kasta hanyalah atribut saat dilahirkan. Contohnya seperti saya yang hanya dengan menambahkan embel-embel Ida Ayu saja, bagi saya itu bukan ukuran sebab terkadang orang menyalahgunakan kastanya untuk berbuat yang tidak-tidak. Saya sangat menyadari hidup sebagai orang yang memiliki darah biru tidaklah mudah, kehidupan lelaki di lingkungan saya sangat menyimpang, bagaimana tidak, dengan kasta yang mereka punya mereka memaksakan cinta dengan gadis. Bahkan seorang lelaki memiliki lebih dari empat istri, hal tersebutlah yang membuat saya ingin lari dari kehidupan di gria saya. Siapapun wanita itu pastilah tidak ingin dimadu. Akhirnya saya memutuskan kawin dengan lelaki biasa, perlu juga diketahui perkawinan yang hanya berlangsung di keluarga besar saja hanya akan menghasilkan keturunan yang idiot secara biologis,” cerita Ida Ayu Ariani.

Keputusannya menikah nyeburin bukan tanpa alasan karena sebelumnya sudah dipikirkan konsekuensinya. Ketika dia menikah, banyak dari pihak keluarganya yang mencibir sebab dinilai dia telah mengambil keputusan yang salah, sementara itu dia dan Ketut (panggilan kepada suaminya I Ketut Surencana) menanggapi biasa-biasa saja. Buktinya, pasangan ini tetap langgeng.

Kisah dua pasangan di atas juga terjadi hampir di setiap pasangan yang melakukan perkawinan antar kasta yang pernah ditemui. Perlawanan kepada pakem-pakem yang telah ada sampai keinginan untuk memperbaiki keturunan dan macam-macam alasan lainnya sering dijadikan alasan bagi mereka yang melakukan pernikahan antar kasta. Siapapun itu, jika sudah terlibat cinta pastilah akan memperjuangkan perasaannya tersebut walau dihadang badai kasta sekalipun karena sekarang sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat sehingga pandangan terhadap kasta harus lebih fleksibel. Agar nantinya tidak terulang lagi kisah cinta yang berakhir pada sebuah kematian ketika wangsa, warna, atau kasta menjadi prioritas. Sebab pada akhirnya sebagai apapun dilahirkan ke bumi entah berkasta atau tidak, juga pada nantinya akan berpulang kembali tanpa membawa apa-apa termasuk kasta.

Ari Dwijayanthi

You May Also Like