Ngerebeg Matiti Suara, Bangkitkan Semangat Tradisi

Tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Blahkiuh yang dilaksanakan di Pura Luhur Giri Kusuma karib disebut dengan Ngerebeg. Sejak setahun terakhir, Ngerebeg dipadukan dengan Matiti Suara. Warga desa adat setempat berbondong-bondong menyemarakkan tradisi ini dengan berbekal bambu yang diwujudkan sebagai senjata sekaligus simbol penolak bala.

Tradisi Ngerebeg merupakan perayaan seperti parade pasukan oleh Kerajaan Singasari yang diduga sudah dilaksanakan sejak abad ke 16-17. Upacara Ngerebeg di Pura Luhur Giri Kusuma diparadekan seolah memperlihatkan kekuatan dari pusaka tersebut dan secara spiritual seperti penolak bala.

Pelaksanaaan Ngerebeg dilakukan hanya dengan mengelilingi sekitar areal Pura Luhur Giri Kusuma sebanyak tiga kali. Namun, dalam beberapa tahun terakhir pelaksanaannya dibagi per banjar sesuai desa adat yang ada dengan gamelan yang mengiringi perputaran ini.

Perlu diketahui, tradisi Ngerebeg dilaksanakan sehari setelah Hari Raya Kuningan, tepatnya pada Minggu, Umanis Wuku Langkir atau dalam kalender Bali setiap enam bulan sekali. Sebelum pelaksanaan tradisi Ngerebeg, dilaksanakan upacara pasupati  sebagai bentuk rangkaian untuk menambah kekuatan dari senjata yang akan digunakan untuk Ngerebeg. Agar kekuatannya merata, masyarakat juga mengeluarkan tombak atau bambu runcing sebagai wujud senjata untuk ikut Ngerebeg. Dengan adanya kekuatan spirit pasupati diharapkan wilayah desa aman dari gangguan roh jahat dan lain sebagainya.

Masyarakat Blahkiuh sempat kehilangan semangat untuk melaksanakan tradisi Ngerebeg. Oleh karena itu, Bendesa Adat Blahkiuh sejak setahun terakhir menambahkan tradisi Matiti Suara. “Asal muasal ditambahkan Matiti Suara sebab di Pura Luhur Giri Kusuma terdapat Bisama atau semacam peringatan, wahyu dari Tuhan dalam memperingatkan masyarakat. Selain itu, adanya masyarakat Singasari yang sekarang menjadi Desa Blahkiuh pernah beberapa kali lupa terhadap Pura Luhur Giri Kusuma. Karena lupa terhadap Pura tersebut timbulah kegoncangan artinya wabah penyakit, gagal panen, dan lain sebagainya,” tutur Ir. I Gusti Agung Ketut Sudaratmaja, M.S selaku Bendesa Adat Blahkiuh.

Isi dari Bisama tersebut adalah “Wahai engkau sekalian yang ada di tempat ini. Jika kalian ingin tidak ada halangan, panjang umur dan terhindar dari wabah penyakit di wilayahmu, peliharalah Parahyangan yang menjadi Stanaku ini, karena sesungguhnyalah aku wajib disembah oleh kalian masyarakat Singasari sampai kelak dikemudian hari, Jika kemudian ada orang yang lupa akan keberadaanku ini, semoga dia tidak akan menemukan kebahagiaan dan sering terjadi silang pendapat antar sanak keluarganya sekalian… .” Demikian isi sabda yang mereka dengar.

Proses pembacaan Bisama atau semacam peringatan

Dalam Matiti Suara terdapat elemen seperti tari baris yang membawa tombak, pemimpin yang membacakan isi dari teks Matiti Suara tersebut, serta sorakan yang saling bersahutan. Matiti Suara merupakan garapan baru yang dipadukan dengan Ngerebeg sejak setahun terakhir yang dikemas secara atraktif dengan sentuhan seni yang tentu memiliki daya tarik tersendiri di dalamnya guna membangkitkan semangat dari generasi ke generasi untuk tetap melestarikan tradisi yang ada di Pura Luhur Giri Kusuma. Harapannya agar masyarakat Blahkiuh senantiasa ingat dan agar terhindar dari berbagai macam gangguan.

Penulis : Dwiyanti

Editor   : May Danawati

 

 

 

You May Also Like