Masa orientasi selalu menjadi momentum penting bagi sebuah universitas, memberikan pengenalan dan penanaman nilai-nilai yang sarat akan makna. Penanaman nilai pun bukan sekadar proses yang hanya bertolak dari pemikiran belaka, tapi merupakan bagian panjang dalam menyelaraskan rasa yang menjadikan kita utuh sebagai manusia. Namun pada faktanya, masa orientasi sering menjadi tempat untuk berkisah mengenai nilai utopis yang ‘memperkosa’ kepala mahasiswa baru dengan dongeng-dongeng yang penuh romantika dan melupakan rasa kemanusiaan.
Perhelatan penerimaan mahasiswa baru yang dikenal dengan orientasi mahasiswa atau lazim disebut “OSPEK” merupakan rangkaian dari proses pengenalan lingkungan kampus bagi mahasiswa baru. Orientasi mahasiswa menjadi momentum ‘sakral’ yang diselenggarakan oleh hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia sampai saat ini.
Berbagai istilah digunakan untuk menyematkan identitas pada kegiatan orientasi mahasiswa yang sejatinya bermuara pada tujuan yang sama yaitu “pengenalan”. Perlunya sebuah pengenalan, didasari oleh adanya peralihan antara sosok siswa menuju mahasiswa. Sebagai sebuah pengenalan, orientasi mahasiswa sarat akan penanaman nilai, baik secara akademik maupun kemahasiswaan. Penanaman nilai yang disusun mesti direncanakan matang, sebab orientasi ini akan menjadi proses pengenalan panjang yang melekat dalam ingatan dan perasaan. Tiap tahunnya proses penentuan nilai yang menyasar pada mahasiswa baru akan menjadi ruang beradu dan bertemunya berbagai macam gagasan dan pemikiran. Berbicara tentang nilai menyadarkan kita pada pernyataan dari sosok Romo Magnis Suseno, “Bahwa setiap nilai merupakan suatu hal yang sifatnya ideologis, maka sebuah nilai itu sesungguhnya belum sepenuhnya berangkat dari manusia, melainkan dari apa yang kita pikirkan tentang manusia,” Oleh karenanya penanaman nilai mesti diisi secara utuh melalui logika dan rasa agar tidak ‘menggagahi’ manusia secara konkret atas nama kebenaran maupun kepedulian.
Pertanyaannya, sudahkah pelaksanaan orientasi mahasiswa memenuhi esensinya? Jawabannya tidak akan jauh dari realita pelaksanaannya, apakah tujuan orientasi memang sebagai penyambutan dan pengenalan atau sebagai tindak senioritas belaka.
Tahun ini, Universitas Udayana turut melaksanakan orientasi kepada mahasiswa baru yang akrab disapa ‘Maba’. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, terdapat perubahan sistem pelaksanaan, yang mulanya terbagi menjadi 2 rangkaian kegiatan, Student Day dan PKKMB, tahun ini dilebur menjadi satu kegiatan PKKMB. Pasca terbitnya buku panduan oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi serta hadirnya SE Nomor 8/UN14/SE/2022 oleh Universitas Udayana menjadi dasar peleburan Student Day ke dalam PKKMB.
Adanya peleburan dua kegiatan yang memiliki konsep dan gagasan yang berbeda ini merupakan sebuah faktor pemicu timbulnya perdebatan dan kekhawatiran akan terjadinya eliminasi pada nilai yang tak sejalan. Dalam waktu pelaksanaan yang singkat yakni 2 hari, dalam balutan tema “Bersama Meningkatkan Ekosistem Pendidikan UNUD yang Unggul”, pihak rektorat menawarkan penanaman nilai akademik hingga pengetahuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, pihak mahasiswa membawa spirit utama tersendiri yaitu keistimewaan, dengan keyakinan bahwa masa kuliah akan menjadi fase yang istimewa bagi setiap mahasiswa sehingga perlu untuk mengenal diri sendiri dan lingkungan kampus, dengan berhilir pada kebermanfaatan sekitar. Kedua konsep orientasi ini diyakini menjadi sasaran yang sama penting dan perlu ditransfer pada mahasiswa baru. Kampus yang dikatakan sebagai laboratorium peradaban seolah sudah menyiapkan ruang untuk mahasiswa berproses dalam dinamika. Sehingga penyampaian nilai akademik dan Tri Dharma Perguruan Tinggi menjadi acuan ideal yang tidak luput dalam setiap penyambutan mahasiswa baru.
Kedudukan Universitas sebagai lembaga pendidikan tinggi memang seharusnya memberikan sosialisasi akan pentingnya prestasi secara akademik. Merupakan sebuah hal yang wajar bahkan sepatutnya sebuah perguruan tinggi menyiapkan generasi yang mampu membawa perubahan nyata dalam masyarakat nantinya. Yang tidak wajar, ketika prestasi dikejar hanya untuk menjadi ukuran capaian kerja sebuah universitas atau hanya untuk memenuhi pencitraan dalam menghasilkan lulusan yang siap menjadi tenaga kerja. Maka patut dipertanyakan, sejauh mana Universitas memenuhi tanggung jawabnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Romo Magnis Suseno dalam bukunya yang bertajuk “Berfilsafat dalam Konteks” pernah mengkritisi apa yang terjadi dalam sistem perguruan tinggi bahwa tujuan pendidikan seringkali mengabaikan aspek “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Padahal panggilan universitas sejatinya adalah untuk memenuhi implementasi dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Orientasi ini sejatinya menghantarkan kita pada sebuah realitas, seberapa jauh pengenalan pendidikan dalam kelas perkuliahan merangsang kita menjadi mahasiswa yang ingin bertanya, peka terhadap isu di sekitar hingga mampu memecahkan masalah dari yang sederhana hingga rumit di sekitar kita. Orientasi menunjukkan perspektif nyata mengenai pertanyaan apakah kampus hanya menyediakan lembaran materi yang harus dikunyah dan ditelan sendiri, kemudian dimuntahkan kembali dalam lembar jawaban di ujian akhir. Romo Magnis Suseno menuliskan dalam bukunya, “Kita tidak memberikan ikan kepada mahasiswa, kita juga tidak memberikan pancing pada mereka untuk mendapatkan ikan, melainkan kita mengajar dia untuk mencapai keterampilan dalam membuat pancingnya sendiri”.
Pada akhirnya, keberadaan Universitas nyatanya bukan hanya untuk memenuhi tuntutan akan sebuah capaian kinerja, bukan hanya mencetak lulusan yang siap menjadi tenaga kerja dalam cakupan industri kapitalistik. Universitas tidak boleh melupakan tuntutan dan tanggung jawab moralnya sebagai sebuah wadah untuk mahasiswanya mengembangkan gagasan dalam rangka mencari kebenaran dengan memerdekakan manusia sebagaimana dalam filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Maka memerdekakan manusia sejatinya dihayati sebagai sebuah pembebasan yang berakar dari pikiran dan perasaan kita sebagai individu dan makhluk sosial sehingga bisa menjadi manusia yang seutuhnya. Demikian pula Student Day yang terlaksana sebagai orientasi pada sosok yang belum tergores pena hitam. Jika kita bercermin pada pelaksanaan Student Day beberapa tahun lalu, di tahun 2019 esensi yang ingin dibawakan ialah membangkitkan rasa bangga pada Universitas Udayana sehingga dengan adanya kebanggaan tersebut, mahasiswa baru dapat melihat berbagai peluang yang ada di kampusnya dan mengembangkan potensi diri. Sedangkan di tahun 2020, pelaksanaan Student Day membawa spirit utama yaitu inspirasi yang berfokus pada upaya untuk meningkatkan softskill mahasiswa baru dalam memasuki dunia perkuliahan dan di tahun 2021 tertuju pada upaya kebangkitan untuk memantik semangat mahasiswa baru dalam menuntut ilmu pengetahuan yang pada akhirnya akan bermuara pada lembah pengabdian.
Semua konsep yang datang dari tahun ke tahun nyatanya tidak ada yang keliru, termasuk tahun ini. Esensi yang ditawarkan pada mahasiswa baru pastinya merupakan hasil dari proses pencarian gagasan yang begitu dalam. Namun khawatirnya, apakah ia tak lebih daripada pilihan diksi yang minim akan implementasi? Tiap tahun mungkin saja selalu terisi dengan jejalan teori oleh pembicara -pembicara yang dirasa mumpuni, lalu akan ditutup dalam sebuah sesi diskusi. Lebih klisenya lagi, mahasiswa baru disuguhkan oleh ‘euforia’ tanggung jawab besar yang diemban oleh “Maha” dari seorang siswa. Sebuah rangkaian kata pembuka yang berusaha memantik api semangat mahasiswa. Toh pada akhirnya, meskipun kendaraan yang digunakan oleh mahasiswa baru di tahun ini dan kemarin berbeda, rute yang sama juga mesti dilalui oleh mahasiswa baru. Sebuah retorika belaka yang meyakinkan bahwa kehidupan kampus memang seutopis itu.
Pernyataan menarik yang diungkap oleh Presiden Mahasiswa dalam siaran langsung Capacity Building PKKMB 2022 kemarin ialah “Bagaimana pendidikan sejatinya tak hanya untuk mempertajam kecerdasan saja, untuk memperkukuh kemauan saja, namun memperhalus perasaan” menjadi pemantik bahwa kampus bukan hanya tempat untuk mempertajam pikiran, tapi lebih dari itu ada aspek perasaan yang juga menjadi bagian esensial dari manusia.
Apakah nilai dan implementasi orientasi sudah nyata? Yang selama ini terjadi adalah transfer nilai hanya melibatkan pertemuan antar isi kepala, nilai senioritas yang muncul dan tertanam dalam benak Maba dari sikap yang acapkali masih sering terjadi. Bagaimana kemudian, setiap gumpalan materi harus didengar, dicatat dan dipahami oleh mahasiswa baru. Mendengarkan dan membicarakan sebuah narasi tentang tujuan, cita-cita, nilai luhur mulia adalah hal yang mudah dan murah. Setiap dari kita, bisa dengan mudah mengumbar dan mengucapkannya di atas podium.
Sedangkan rasa, sebagai hal yang paling mendasar yang dimiliki manusia, seringkali terpinggirkan. Padahal, rasa juga merupakan bagian penentu keputusan penting dalam hidup manusia. Ketika kita sibuk melakukan aktivitas yang hanya memberi “makan” pada kepala, maka sesungguhnya kita telah melupakan proses pembentukan rasa. Kita lupa, selain pikiran, yang menggerakan kita sebagai manusia seutuhnya yang seharusnya mengakar dari suatu keadaan yaitu “rasa”.
Kita lebih suka berbicara tentang apa yang pantas, tidak pantas dan mesti dimiliki oleh mahasiswa. Membangun narasi betapa besarnya peran mahasiswa sambil berteriak lantang memekik, “Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!”. Tapi tak ubahnya dari sekadar gelora kalimat semu yang cuma bersemayam di dalam kepala.
Isi kepala tersebut hanya akan menjadi bermanfaat apabila kita mampu merefleksikannya di dalam kehidupan masyarakat dan semua itu membutuhkan kesungguhan antara pikiran dan perasaan. Berbicara hanya dengan logika akan terasa mudah, tapi ia akan menjadi cacat dan gagal berjalan tanpa rasa. Itu pula yang patut untuk direfleksikan bersama.
Pramoedya pernah menulis dalam Roman Bumi Manusia “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi perbuatan”. Artinya, untuk berlaku adil mestinya sudah dimulai dalam benak pikiran yang selaras dengan isi hati, yaitu rasa. Karena pikiran dan perasaan selaras yang hanya mampu menjadikan kita sebagai manusia yang utuh untuk bertindak. Namun pertanyaanya, sudahkah kita berlaku adil sejak dari hati kita sendiri? Apakah yang diucapkan oleh kita, oleh para pembicara dari podium yang kita dengarkan dan lihat dari layar digital adalah sebuah kebenaran yang berasal dari hati? Atau hanya pada pikiran yang bertumpu terhadap segala hal yang menjadi acuan baik dan ideal? Sudahkah apa yang tersampaikan adalah kata jujur yang merefleksikan diri kita dalam kehidupan sehari-hari? Apakah pernyataan tersebut berakar dari hati sehingga apa yang tersampaikan dan dilakukan adalah upaya yang tak bertolak belakang? Mengikuti isi hati, membuat kita menjadi manusia yang jujur dalam bertindak. Sedangkan, kita hanya akan menjadi pembual setiap tahunnya jika kita sendiri belum melakukan pembenahan dalam diri.
Berbicara nilai yang sebenarnya, pemahaman terhadap nilai dan bagaimana memadu padankan nilai tersebut dengan perilaku kita sebagai civitas akademika adalah bagian terpenting. Selain itu, nilai yang diamalkan tidak hanya sebatas wacana di atas podium dan menggema dalam microphone tapi mesti menjadi bagian dalam seluruh darah dan ruh seluruh komponen civitas akademika, baik dari manusianya, rencana, eksekusi, dan kebijakan yang mesti mengadaptasikan nilai tersebut secara konkret. Aspek pelaksanaan yang masih jauh dari realita, akhirnya belum mampu menjawab tantangan yang sebenarnya kita hadapi dalam praktek kehidupan sehari-hari. Maka belum pernah kita ditempatkan pada posisi untuk mengenali, merasakan lingkungan lebih dekat dan memecahkan masalah sederhana yang terjadi di dekat kita melalui pengolahan logika dan rasa. Apakah kemudian kita menjadi agen perubahan nyata jika masalah sederhana di sekitar kita saja belum tereksplorasi?
Pada akhirnya kita semua mesti berbenah. Teguh menyelaraskan pikiran dan perasaan untuk berucap dan bertindak. Jika hari ini podium tempat kita bergumam tentang pendidikan, pengabdian, organisasi, masih menuai tepuk tangan dan deru pujian, prediksi lainnya mahasiswa baru bisa saja kecewa usai melakukan orientasi. Prediksi lain jua ‘mereka’ memaki ketika melihat kampus bukan seperti laboratorium peradaban yang mereka bayangkan. Jati diri dari Universitas sudah tergerus oleh tuntutan zaman yang hanya menginginkan cetakan pekerja industri yang akhirnya hanya akan menghasilkan manusia yang berorientasi pada keuntungan pribadi, jua hanya mengejar tuntutan popularitas yang gamang akan kejujuran, jauh dari esensi sebuah orientasi yang sebenarnya.
Hari ini ketika kita sibuk memperdebatkan nilai-nilai dalam kungkungan norma itu lagi. Tapi selalu cacat dalam implementasi, lagi dan lagi kita hanya menjadi laboratorium yang memenjarakan kemerdekaan kita, mahasiswa sebagai manusia.
Sudah sepantasnya, para pengemban tugas yang membawakan masa orientasi ini melakukan orientasi ulang pemikiran dan kalimat jemu yang tiap tahun dibawakan. Kita tentu mengakui bahwa masa orientasi di Udayana masih dalam era menciptakan penyambutan yang ideal. Tapi apakah pelaksanaan tahun ini akan menjadi evaluasi atau akan dilupakan? Apakah akan termodifikasi atau malah terulang kembali di tahun berikutnya?
Penulis : Dayu Wida
Penyunting : Gangga