Rawannya sentralisasi dan mandegnya kaderisasi dalam sistem Pemerintahan Mahasiswa berpotensi menjadi musabab tersumbatnya berbagai gagasan baru nan segar. Pada situasi ini, ide untuk membentuk Partai Kampus Mahasiswa menjadi rencana yang patut diperhitungkan, dan memang semestinya kampus sebagai laboratorium peradaban menjadi medan yang tepat untuk mengujinya.
Awal tahun telah datang, kerja-kerja baru pemangku Pemerintahan Mahasiswa dinantikan. Sejak dilakukan serah terima jabatan dan pelantikan seluruh ormawa pada 12 Januari 2023. Para pemimpi(in) ormawa di lingkungan Pemerintahan Mahasiswa Udayana pun siap menunaikan janji-janji revitalisasi dan inovasi pada masing-masing program kerja. Tujuannya tentu diniatkan untuk membawa Udayana kearah yang lebih baik.
Kaderisasi dan pergantian kepengurusan adalah agenda tahunan yang rutin dilakukan oleh seluruh ormawa di Universitas Udayana. Mulai dari tingkat himpunan, fakultas, universitas hingga UKM, hampir serempak melakukan pergantian nahkoda. Hal ini dilakukan guna menjamin organisasi tetap berkelanjutan serta memastikan terjadi regenerasi, sadar akan tiada yang abadi selain perubahan itu sendiri.
Organisasi mahasiswa adalah satu wadah yang dijadikan oleh mahasiswa sebagai ruang pengembangan maupun aktualisasi diri dalam rangka mewujudkan idealisme. Menengok kebelakang sejenak, organisasi mahasiswa pun mengalami periode sejarah yang cukup panjang. Mulai dari lahirnya Budi Utomo, Sumpah Pemuda hingga gerakan pasca kemerdekaan. Paling terkenal peristiwa Malari (15 Januari 1974) yang memberikan dampak signifikan terhadap arah pergerakan mahasiswa. Pemerintah orde baru saat itu mengeluarkan kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kordinasi Kemahasiswan) yang berakhir pada pengubahan nama Dewan Mahasiswa (DEMA) menjadi Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) karena dianggap terlalu kritis terhadap pemerintahan orde baru saat itu.
Dalam perjalanannya, Udayana ikut merespon kebijakan pembentukan SMPT yang dinilai tidak memberikan cukup ruang bagi mahasiswa untuk mengekspresikan diri maupun merespon keadaan sosial yang terjadi di masyarakat. Pada November 1998, mahasiswa Udayana pun membentuk sebuah KOSMA (Komite Sentral Mahasiswa) melalui musyawarah yang kepemimpinanya dilakukan secara kolektif kolegial (pola kepemimpinan bersama) yang dilakukan secara bergilir antara ketua lembaga baik Fakultas maupun Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Keberadaan KOSMA diharapkan mampu memberikan manfaat bagi iklim perpolitikan bangsa serta responsif terhadap berbagai keadaan sosial masyarakat dan internal kampus. Namun sayangnya, dari tahun 1998 hingga 2003, keberadaan KOSMA belum mampu menjawab urgensi sebagaimana fungsi pendiriannya. Melalui Sidang Istimewa Universitas Udayana (SIM-UNUD) pada bulan November 2003, lahirlah sebuah sistem baru yaitu Pemerintahan Mahasiswa Universitas Udayana (PM UNUD). PM UNUD ini memiliki dua kelembagaan yaitu Dewan Perwakilan Mahasiswa Pemerintahan Mahasiswa UNUD (DPM PM-UNUD) yang terdiri atas perwakilan Lembaga Kemahasiswaan tingkat Fakultas dan UKM. Dalam fungsinya DPM bertindak sebagai lembaga legislatif guna menyerap aspirasi dari perwakilan lembaga fakultas yang merupakan cerminan dari aspirasi mahasiswa itu sendiri. Sedangkan Badan Eksekutif Mahasiswa Pemerintahan Mahasiswa UNUD (BEM PM-UNUD) sebagai lembaga eksekutif berperan dalam merealisasikan segala bentuk aspirasi mahasiswa Universitas Udayana. Harapannya melalui pembentukan PM ini, Lembaga Kemahasiswaan Universitas Udayana mampu mengejawantahkan marwah organisasi kampus serta tetap responsif akan segala keadaan di masyarakat maupun di internal kampus.
Sampai kini, di tahun 2023, Lembaga Kemahasiswaan Universitas Udayana masih menganut sistem Pemerintahan Mahasiswa, meskipun dalam soal tatanan peraturan birokratis keberadaanya sempat menjadi perdebatan. Akan tetapi, fungsi-fungsi eksekutif dan legislatif pun masih dilaksanakan sesuai semangat kelahirannya. Di lain sisi, agaknya keberadaan Pemerintahan Mahasiswa ini mengalami perluasan atau bisa dikatakan penyimpangan, sehingga terjadi kebingungan dalam menerjemahkan bagaimana Pemerintahan Mahasiswa Universitas Udayana tersebut harusnya diterapkan? Ini nampaknya membutuhkan konsolidasi kembali oleh para pemangku kepentingan untuk melakukan redefinisi keberadaan PM itu sendiri.
Soal lain dari sejarah panjang Pemerintahan Mahasiswa Universitas Udayana adalah mengenai legitimasi keberadaan Pemerintahan Mahasiswa. Hadirnya Pemerintahan Mahasiswa sebenarnya diharapkan mampu menjawab persoalan legitimasi, tetapi sayangnya hal itu justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan berulang. Apalagi, kehadiran Pemerintahan Mahasiswa kian ekslusif dipolitisasi dengan kekuatan yang penguasa Pemerintahan Mahasiswa itu miliki, sehingga keterlibatan seluruh mahasiswa pun terasa kian berkurang. Penulis disini bermaksud menjelaskan mandegnya kaderisasi dan rawannya sentralisasi pemerintahan yang dipegang dalam lingkaran penguasa (Ketua-ketua Lembaga muncul dari anggota kepengurusan sebelumnya dan staffnya lahir atas dasar kedekatan hubungan bukan kualitas personal).
Kemandegan dalam pergantian nahkoda tersebut menyebabkan kerawanan pada ranah tersumbatnya ide, sehingga Lembaga Kemahasiswaan akan terjebak menjalankan rutinitas yang berulang. Dalam menyempurnakan keberadan Pemerintahan Mahasiswa sebenarnya diperlukan sebuah corong-corong baru yang terintegrasi dalam Pemerintahan Mahasiswa. Sehingga harapannya mampu menawarkan berbagai gagasan dan mewujudkan legitimasi terhadap keberadaan Pemerintahan Mahasiswa itu sendiri. Keberadan fakultas sebenarnya memiliki peluang untuk melakukan fungsi tersebut, tetapi karena sistem yang ada, fakultas seolah berjalan sendiri sesuai kepentingan dan kesibukannya.
Dalam hal ini, kita butuh corong baru yang bernama Partai Kampus Mahasiswa. Ide ini sebenarnya mengalir deras ditengah-tengah percakapan mahasiswa. Namun, sayangnya tak pernah terealisasikan karena berbagai keraguan dan ketakutan. Misalnya saja, keraguan muncul dari sikap skeptis mahasiswa terhadap partai-partai yang ada di Indonesia, khawatirnya akan terulang sama di Pemerintahan Mahasiswa Udayana nanti, bersikap pragmatis dan hanya berorientasi pada kekuasaan.
Namun, menurut penulis. Apa salahnya kita menjadikan kampus ini memang sebagai medan laboratorium. Menguji segala kemungkinan dengan didasarkan pada dalil yang penuh perhitungan. Perlu disadari bahwa negara kita hari ini menganut sistem multipartai, yang kelahirannya, penulis asumsikan ditujukkan untuk menyediakan berbagai ruang dan gagasan sehingga dapat membangun Indonesia secara demokratis dan dari berbagai perspektif. Namun, kita ketahui bersama realita tak berbicara demikian.
Lalu, dengan keadaan itu, mengapa mahasiswa yang digadang sebagai aktor intelektual yang nantinya akan mengantikan posisi tersebut, tak mencoba terlibat menyimulasikan proses politik dengan partai sebagai kendaraanya. Tentu dalam hal ini, mahasiswa tak lantas ikut pragmatis, lahir dengan Partai Kampus Mahasiswa yang tujuannya mengejar posisi belaka. Jika itu yang menjiwainya, penulis pun berpendapat lebih baik lupakan saja ide membangun Partai Kampus Mahasiswa ini.
Akan berbeda cerita jika pembentukan Partai Kampus Mahasiswa dilandaskan pada intelektualitas dan berorientasi pada gagasan. Sungguh arena politik kampus akan terasa jauh lebih menarik dan dihiasi oleh corong-corong yang berisikan pertengkaran pikiran sesuai kata filsuf terkenal negeri ini Rocky Gerung. Sementara hari ini, kita lihat agenda satu tahunan terasa mudah ditebak dan tak jarang memunculkan kemuakan. Prosesnya hanya berbeda pada penggunaan kata dan jargonnya, selebihnya kita pun bisa menilai sendiri.
Perlu penulis ketengahkan mengapa hadirnya Partai Kampus Mahasiswa mampu menjadi corong demokratisasi ide dalam Pemerintahan Mahasiswa Universitas Udayana. Sesuai prinsip partai politik pada negara menurut Miriam Budiarjo, harapannya Partai Kampus Mahasiswa juga berlaku sama. Pertama, Partai Kampus Mahasiswa (Parkama) akan menjadi alat komunikasi politik kampus. Parkama akan menjadi wadah dalam menyerap, menghimpun dan mengolahnya sebelum disampaikan kepada legislatif maupun eksekutif. Hal ini tentu akan memberikan warna baru dalam penyerapan aspirasi, posisinya semakin intim dan yang paling penting berasal dari multiruang.
Kedua, Parkama akan menjadi sarana sosialisasi politik kampus. Parkama akan dapat terjun lebih dalam ke tengah-tengah mahasiswa, membangun sebuah kesadaran dan pendidikan politik sehingga nantinya dapat melibatkan mahasiswa lebih banyak lagi untuk turut serta dalam penentuan keputusan yang ditujukan demi kebaikan mahasiswa sendiri. Ketiga, Parkama sebagai sarana rekrutmen politik. Hadirnya Parkama tentu membutuhkan kader-kader untuk membentuk kekuatannya, sehinga secara tidak langsung maupun langsung hal tersebut menjadi jembatan kaderisasi guna menghasilkan individu yang lebih berkualitas dan terpenting berkompeten sesuai ciri gagasan Parkama yang dibentuk. Keempat, Parkama sebagai sarana demokratisasi gagasan. Dengan adanya Parkama, maka satu permasalahan akan melahirkan berbagai pemikiran karena keberagaman partai yang ada. Selain itu, mahasiswa yang memiliki satu gagasan atau nilai yang sama juga akan dapat tergabung dalam satu tempat sehinga menghasilkan kekuatan yang lebih besar dalam mengetengahkan suatu isu.
Bayangkan, jika Parkama yang lahir di Udayana nantinya memiliki fokusnya masing-masing dan tidak pragmatis seperti partai politik kita di nasional. Tentu hal ini akan sangat membantu dalam menghadapi berbagai problematika yang terjadi. Perihal kesejahteraan mahasiswa, isu lingkungan, kesetaraan gender, pendidikan, kekerasan seksual, atau lebih luas lagi dalam bidang kepenulisan ilmiah, pengabdian, berkesenian. Warna-warni ini tentu mampu mempermudah Pemerintahan Mahasiswa dalam memilih orang yang tepat mengisi pos isu tersebut dan gagasan yang lahir pun lebih terdemokratisasi, karena tidak akan lahir dari orang yang sama.Hal ini membantu kita juga untuk memilih pemimpin sesui dengan kompetensinya karena sejak awal jelas seluk beluknya. Apa yang diperjuangkan dan bagaimana mereka memperjuangkannya.
Terakhir, pembentukan Partai Kampus Mahasiswa ini sudah saatnya mulai dipikirkan dan didiskursuskan. Mengingat kita sangat butuh melakukan evaluasi secara mendasar mengenai keberadaan Pemerintahan Mahasiswa. Singkatnya, Partai Kampus Mahasiswa akan hadir sebagai jawaban untuk menerjemahkan “Pemerintahan Mahasiswa milik semua, dari mahasiswa, oleh mahasiswa dan untuk mahasiswa”. Ketua Lembaga, tugasmu kini untuk merealisasikan hal ini, guna mendorong inklusifitas politik kampus di Udayana. Penulis yakin, semakin banyak yang terlibat dalam ruang yang memiliki potensi besar ini, maka semakin baik pula kondisi bangsa kita nanti. Bahwa pada akhirnya tujuan kita tiada lain adalah menjadikan mahasiswa tetap pada jiwanya, antithesis dari rutinitas yang bermasalah dan menjadi cahaya dalam gelapnya kesadaran. Sebab peran mahasiswa tak boleh hilang, dan hal itu dapat dimulai dari tempat yang kita sering sebut laboratorium peradaban.
Sudah saatnya DPM dan BEM mengetengahkan kembali terkait urgensi dari keberadaan Partai Kampus guna memantik kepedulian mahasiswa terhadap kondisi politik kampus. Pun apabila pada akhirnya wacana tersebut memiliki kelemahan, setidak-tidaknya dengan berdiskusi kembali kita dapat menemukan penyelesaiannya. Pun, ini akan menjadi jembatan untuk memperluas demokratisasi ide. Sebab kekuasaan yang dipegang dalam lingkaran kelompok tertentu akan sangat rawan dimanfaakan ataupun bahaya menjadi absolut yang pada gilirannya dapat memberikan kemandegan ide. Sudah saatnya berbuat diawal masa kepengurusan. Masih segar-segarnya dan masih semangat-semangatnya.
Penulis : Doni Kurniawan
Penyunting : Dayu Wida