Penyatuan Zona Waktu Indonesia Jadi GMT+8, Untuk Apa?

Sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia sudah lima kali ganti zona waktu. “Zaman kemerdekaan empat kali, tahun 1947, 1950-an sekian, tahun 1963. Dan semua ada alasan ekonomi politik tertentu,” ungkap Edib Muslim, Kadiv Humas dan Promosi KP3EI (Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) Sabtu (10/3) lalu.

Perbedaan zona waktu memang menimbulkan beberapa masalahnya. Misalnya pada tahun 1987 Bali digeser menjadi WITA. Alasannya klasik. Agar wisatawan menginap sehari lebih lama di Bali. Dengan demikian jika dalam sehari saja ada 100 wisatawan yang menambah watu menginapnya, income dari hotel akan meningkat. Belum lagi belanja suvernir mereka.

Alasan serupa juga saat ini digunakan oleh pemerintah untuk menyatukan ketiga zona waktu menjadi WITA (Waktu Indonesia Tengah). “Zona WITA dipilih sebagai patokan untuk melakukan efisiensi birokrasi dan peningkatan daya saing ekonomi,” kata  Edib. Perbedaan ketiga zona waktu Indonesia yang sekarang terpaut satu jam. Hal ini pula yang dinilai menghambat transaksi perdagangan umum.

Rupanya pemerintah kita belum melihat persoalan yang sebenarnya dari negeri ini. Kesejahteraan rakyat yang seharusnya kini menjadi prioritas utama. Menurut KP3EI dengan samanya zona waktu yang berpatokan pada GMT+8 (Wita) maka masyarakat yang berada di kawasan tengah dan timur Indonesia bisa mempunyai ruang transaksi yang lebih banyak untuk bertransaksi dengan masyarakat di kawasan barat Indonesia.

Memutuskan menyatukan zona waktu tentunya perlu mempertimbangkan wilayah geografis Indonesia. Perbedaan garis lintang dan bujur seharusnya diperhitungkan secara logis. Misalkan saja, ketika pukul 6 pagi di Marauke matahari sudah terbit sementara di Sabang masih gelap gulita. Efek penyesuaian jam kerja tentunya harus diperhatikan juga oleh pemerintah kita.

ENNY R

You May Also Like