Seruan dari Bali: Menuntut Keadilan Puan yang Dikerdilkan

Data menohok dari Komnas Perempuan menyatakan dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat 792 persen. Berangkat dari salah satu fakta tersebut, Woman March Bali mengadakan aksi memperingati Hari Perempuan Se-Dunia pada Minggu (8/3) di Monumen Perjuangan Bajra Sandhi, Denpasar. Aksi ini bermuara pada tuntutan agar segala kebijakan dapat ramah gender.

Sudah tak terhitung jumlah aksi yang dilakukan sejumlah aktivis maupun organisasi pergerakan perjuangan perempuan di negeri ini. Sayangnya, masih saja terdapat kasus menyayat hati yang pada akhirnya mengkerdilkan pihak perempuan. Namun, dalam sebuah perjuangan menegakkan keadilan, semangat konsistensi menjadi marwah di dalamnya. Sehingga aksi terus bergulir, salah satunya dari Woman March Bali yang berjuang menuntut keadilan kaum perempuan pada Minggu (8/3) di Monumen Perjuangan Bajra Sandhi.

Menuntut – terlihat beberapa peserta aksi menulis poin tuntutan di atas spanduk

Aksi yang turut menjadi peringatan Hari Perempuan Se-Dunia ini diikuti oleh sejumlah lembaga maupun organisasi yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Bali Adil Gender. Lembaga maupun organisasi tersebut diantaranya, Bali Sruti, SPM, LBH Bali, LBH Apik, Seruni Bali, KISARA Bali, YGD, dan OPSI Bali. Pengeras suara dan poster soal penolakan Omnimbus Law dan kebijakan lainnya yang meresahkan membuat masyarakat yang semula lalu lalang semata untuk olah raga maupun cuci mata, menjadi tertarik dan mulai menyimak aksi. Tak lupa mereka membubuhi tanda tangan dan kalimat bernada seruan perjuangan pada kain putih sepanjang 3 meter yang bertuliskan tuntutan keadilan untuk kaum perempuan.

Orasi yang dikumandangkan oleh perwakilan setiap lembaga, beradu dengan musik dangdut yang memekakan telinga. Maklum saja, kala itu suasana car free day selalu riuh dan dipenuhi acara lainnya. Meski demikian, salah satu peserta aksi Afrizal Hafizt mengaku amat antusias dengan aksi yang bertemakan Puan Berdaulat Bangkit Melawan Penindasan dan Kekerasan Sistematis ini. “Kegiatan ini sifatnya amat universal, semua orang berhak tahu dan paham terhadap persoalan yang dialami perempuan,” tutur Hafizt. Lelaki yang pernah bekerja di Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Bali ini mengungkapkan, kepedulian masyarakat terhadap isu gender di Bali mutlak ditingkatkan. Sebab, bagi Hafizt tak sedikit masyarakat Bali yang belum karib dengan isu ini. “Tak hanya dengan aksi ini, untuk aksi-aksi lainnya semoga bisa membuat masyarakat lebih akrab dengan isu gender, jangan anggap tabu dan angin lalu saja,” imbuhnya.

Orasi – sejumlah peserta aksi melakukan serangkaian orasi secara sukarela

Buramnya pemahaman masyarakat akan isu gender, seperti diskriminasi gender yang kerap merugikan perempuan menjadi catatan kelam bagi negeri yang konon akrab dengan keadilan dan demokrasi. Merujuk pada Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2019 tercatat ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Secara rincinya terdiri dari 421.752 kasus yang ditangani Pengadilan Agama, 14.719 kasus yang ditangani Lembaga Mitra Pengada Layanan di Indonesia, dan 1.419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan.

Sementara itu, dari seberang jalan tampak gerombolan polisi yang diperkirakan berjumlah 5 hingga 6 orang mengawasi jalannya aksi ini. Aksi yang cenderung tenang namun bersubstansi ini tampaknya membuat aparat harus berjaga ekstra. Padahal, menurut Ini Kadek Vany Primaliraning, selaku direktur LBH Bali mengaku aksi ini hanya menuntut pemerintah untuk lebih peka dalam mendengar suara rakyat. “Undang-undang yang memihak investor kenapa segera disahkan, sedangkan kenapa Undang-undang untuk kesejahteraan masyarakat dikesampingkan,” tutur Vany heran. Penuturan Vany pun berlanjut dalam menjelaskan korelasi antara beberapa kebijakan yang kontroversial, seperti Omnimbus Law dan Undang-Undang Ketahanan Keluarga disahkan, maka dapat memangkas hak-hak perempuan dengan semena-mena.

Kekecewaan Vany dan aktivis lainnya pun kian bertambah lantaran sikap Pemerintah Provinsi Bali yang tiba-tiba ciut setelah kemunculan Omnimbus Law. “Bali sejatinya sudah ada Perda tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan, tapi baru ada Omnimbus ciut. Pasal-pasal bermasalah dalam Omnimbus Law salah satunya menyangkut persoalan cuti haid yang diputus, jam kerja berlebih, dan pasal lainnya yang dinilai berdampak negatif terhadap tumbuh kembang kesetaraan gender di Indonesia. Rancangan Undang-Undang yang Ketahanan Rumah Tangga tak ketinggalan dalam menuai kritikan. Pada pasal 25 mengutarakan bahwa laki-laki adalah kepala keluarga dan perempuan hanya mengurus urusan domestik. “Dalam RUU itu kalau perempuan bekerja dianggap tidak baik, kalau hal ini mau dilegitimasi ke aturan hukum justru akan memperparah posisi perempuan dalam budaya patriarki,” seru Vany bernada kritis.

Terpajang – sejumlah atribut aksi dipajang di pagar dan digelar di tanah

Mengupayakan keadilan dalam gender, membutuhkan produk hukum yang mampu melepas jerat ketidak adilan yang dialami perempuan. Aksi Woman March Bali menuntut agar RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT) segera disahkan. “Kasus kekerasan perempuan di Bali seperti fenomena gunung es, perempuan bangkit baru sebatas cerai, namun jerat pelaku untuk tidak melakukan kekerasan masih belum karena perempuan masih merasa kasihan,” jelas Vany. Menyambut peradaban yang cemerlang, sudah sepantasnya hak-hak perempuan menjadi seruan penuh daya juang. Terpenting adalah perjuangan kaum puan bukan milik perempuan semata. Perjuangan ini milik bersama dan senantiasa ada dan abadi.

Penulis: Yuko Utami

Penyunting: Galuh Sriwedari

You May Also Like