Hari itu (8/10), senja merah merekah di Jalan Sudirman, Denpasar, beradu dengan amarah massa aksi Bali Tidak Diam yang menolak UU Cipta Kerja (Ciptaker). Kemarahan ini bukan tanpa sebab, di tengah pandemi Covid-19 pemerintah justru mengetok palu dan mengesahkan Omnibus Law UU Ciptaker yang telah sejak awal tahun menuai penolakan dari seluruh pelosok negeri, termasuk di Bali.
Sungguhlah tiada yang menyangka. Awalnya, kabar RUU Cipta Kerja akan disahkan pada 8 Oktober 2020. Tiba-tiba, saat tengah malam pada 5 Oktober 2020, tiga ketokkan palu di Gedung DPR RI menandakan sah RUU Cipta Kerja menjadi UU. Rangkaian aksi maraton yang direncanakan Aliansi Bali Tidak Diam pada tanggal 6 hingga 8 Oktober menjadi runtuh seketika. “Karena kemarin istilah bahasanya di gocek oleh parlemen kita, maka dari itu di sahkan tanggal 5. Padahal rencana aksi rangkaian kita bisa dibilang maraton dari tanggal 6 hingga 8 Oktober,” jelas Dewa Gede Satya Ranasika Kusuma selaku humas Aliansi Bali Tidak Diam sekaligus Ketua BEM PM Universitas Udayana.
Sehari setelah pengasahan, berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa yang menolak di Bali memutuskan untuk mengadakan konsolidasi terbuka di Kampus Unud Sudirman. Sayangnya, setengah berbisik, Satya saat itu mengatakan, situasi di kampus dirasa tidak kondusif. Maka, konsolidasi dialihkan menjadi daring. Sejak pukul 21.30 WITA, mereka yang menolak berdiskusi perihal tempat hingga teknis aksi. Surat izin sudah dilayangkan kepada aparat kepolisian bahwa aksi akan dilaksanakan di sekitar Kampus Unud Sudirman. Konsolidasi itu pun berakhir tepat tengah malam menjelang hari esok. Semua sepakat, lusa, mereka akan bertemu kembali di jalan.
Menjelang aksi, perang wacana nampak berseliweran dalam berbagai platform di sosial media. Di sisi lain, pemberitaan pengesahan UU Cipta Kerja terus begulir, menyedot kian banyak perhatian masyarakat. Alhasil, menurut Ni Kadek Vany Primalinaring, estimasi awal massa aksi ialah sekitar 400 orang. Tibalah hari yang dinanti. Awan (nama samaran -red), menjadi salah satu peserta aksi. Keikutsertaannya pada aksi hari itu bukan pertama kalinya ia menyatakan turut menolak. “Keikutsertaan saya dalam menolak omnibus law ini merupakan natural response saya terhadap ketidakseimbangan orde pemerintah yang secara gamblang menghadirkan tipikal kejahatan terselubung dengan model UU Cipta Kerja yang mengecilkan berbagai sektor kehidupan,” ujarnya tatkala ditanya perihal alasan memilih aksi menolak UU Cipta Kerja.
Orasi – beberapa peserta aksi melakukan orasi dalam mimbar bebas.
Terpecahnya Massa Aksi Kampus Unud Sudirman dan Gedung DPRD
Sekitar pukul 14.00 WITA, mobil komando memasuki Kawasan Kampus Unud Sudirman. Massa aksi terlihat menjadi dua rombongan. Ada yang berkumpul di depan Gedung Parkiran Bertingkat Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) dan di pintu keluar kampus dekat Gedung Agrokompleks. Sementara itu, Awan bersama tujuh temannya, merasa ada yang tidak beres. Lantaran massa seolah ‘mengambang’; memenuhi jalan dan tidak berkumpul di sekitar mobil komando. Ia dan kawan-kawannya lantas mengambil inisiatif untuk berada di garis depan massa aksi, sebab ingin membantu mengarahkan massa aksi agar tetap berada di Sudirman. “Kemudian pada saat itu massa aksi (massa aksi didekat pintu keluar -red) bergerak tanpa kontrol, padahal saya mencoba mengarahkan agar massa aksi memenuhi kampus Sudirman,” ujarnya.
Berjalan – massa aksi Bali Tidak Diam berjalan mengikuti mobil komando.
Menurut kesaksian Awan, massa aksi di pintu keluar kampus terus bergerak ke Gedung DPRD Provinsi Bali tanpa mobil komando. Awan kemudian mengikuti massa aksi ke Gedung DPRD Provinsi Bali dan terus berupaya mengarahkan massa menuju Sudirman. “Massa aksi di DPRD itu kepotong setengah ada yang pulang, ada yang ngikut kita (menuju Kampus Sudirman -red), disitu kita bener-benar frustasi, ketika mau dibenturin (ricuh -red) di DPRD, mereka tidak memikirkan evakuasi dan sebagainya,” tambah Awan. Dalam pemantauan Pers Akademika, massa aksi nampak melempar botol minuman dan batu ke rombongan kendaraan aparat kepolisian yang membelah barisan massa aksi. Hal ini terulang pula saat sampai di gedung DPRD Provinsi Bali. Akibatnya, apparat kepolisian membalas dengan tembakan gas air mata beruntun. Massa aksi pun berlarian ke segala arah.
Ni Kadek Vany Primalinaring, yang juga menjadi salah satu humas aksi sekaligus Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali menanggapi terpecahnya massa aksi tersebut. “Kita juga cross check, kan tadi sempat juga lari langsung ke Renon, bahwa ternyata ada yang mengokupaksi gerakan ini agar dilakukan anarkis, seperti pelemparan batu, pelemparan botol air mineral, sehingga polisi melakukan penembakan gas air mata untuk melakukan pembubaran,” ungkap Vany.
Kampus Sudirman Diterjang Tembakkan Gas Air Mata
Setelah itu, Awan dan beberapa peserta aksi lainnya kembali menuju Kampus Unud Sudirman. Situasi massa aksi di Kampus Unud Sudirman sedari awal berjalan dengan damai. Mobil komando bergerak dari arah pintu masuk kampus kemudian mengorbit dari arah selatan menuju utara. Di beberapa titik, mereka berhenti sejenak untuk melakukan mimbar bebas. Menjelang sore, massa aksi kian berlipat ganda memenuhi hampir seluruh ruas Jalan PB Sudirman. Pukul 16.48 WITA, mobil komando yang bergerak dari tikungan di depan SMAK Santo Yoseph menuju pintu keluar kampus. Massa kemudian membakar ban serta kayu dan diselingi orasi hingga pembacaan puisi. Situasi amarah melebur di tengah saksi bisu Jalan PB Sudirman.
Bakar – massa aksi membakar ban dan kayu sebagai simbol amarah.
Pukul 17.50 WITA, terdengar himbauan dari aparat kepolisian agar massa aksi membubarkan diri. Sementara itu, massa aksi kian memperkuat barisan. Demikan juga polisi, lengkap dengan helm, tameng, mobil water cannon, telah berjaga-jaga sejak siang. Awan mengaku, ada beberapa peserta aksi yang kembali melemparkan botol minuman dan bebatuan menuju arah tameng polisi. Sehingga tepat saat adzan magrib Masjid Al-Furqon berkumandang, tameng polisi mulai bergerak dari arah utara memukul mundur para peserta aksi menuju ke dalam area kampus. “Ketika gas air mata pertama kali ditembakkan massa aksi kabur menyelamatkan diri. Aku dan dan teman-temanku masih mengumpulkan gas air mata untuk dilempar balik,” ungkapnya bercerita. Sayangnya, rencana melempar balik gas air mata layaknya demonstran Hongkong itu justru melesat. “Model gas air matanya itu ternyata tidak memiliki botol selongsong, jadi dia meledak langsung,” tambahnya. Tembakkan gas air mata ini mengenai wajahnya dan mengakibatkan bengkak di mata sebelah kanan. Sementara, teman Awan ada yang terluka karena jatuh melarikan diri. Jarak pandangan Awan kala itu kian terpangkas dan hanya dapat melihat jelas pada jarak satu meter saja.
Sialnya, Awan dan teman-temannya yang tengah sibuk berupaya membalikkan tembakkan gas air mata itu tertinggal dan terkunci di luar kampus. Ia lari dengan nafas terbata-bata dan akhirnya berhasil dievakuasi menuju dalam kampus. “Paramedisnya kasihan, pada nangis, bingung dengan situasi. Paramedis cuman satu orang di depan bersama kita. Mereka juga kepukul mundur karena takut secara psikologis,” ujarnya dengan suara pelan. Suasana kampus menjadi mencekam, sebab tembakkan gas air mata diarahkan tak henti-hentinya ke dalam kampus. Tercatat 40 orang korban terkena gas air mata, belasan mendapatkan luka ringan, dan 5 orang pingsan.
Tembakkan – aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke arah dalam kampus.
Kisruh yang terjadi di Kampus Unud Sudirman amat disayangkan oleh Vany, karena tembakan gas air mata yang bertubi-tubi memasuki kampus, hingga mengenai pihak diluar massa aksi seperti salah satu anggota Pers Mahasiswa Akademika yang juga terkena gas air mata diwajahnya. Meski penembakan gas air mata dilakukan sebagai bentuk penertiban, namun Vany tetap tegas mengecam tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian tersebut merupakan upaya represif dan pembungkaman terhadap kebebasan berdemokrasi. “Aksi di Sudirman secara hukum itu sudah legal, dalam artian secara hukum kami sudah mengirimkan surat pemberitahuan jadi polisi tidak punya alasan melakukan pembubaran aksi di Sudirman,” tegasnya seusai aksi.
Tak hanya itu, Vany pun mengungkapkan bahwasannya pihak kepolisian semestinya turut andil melakukan upaya diskusi bersama masyarakat, bukannya melakukan berbagai bentuk ancaman yang dirasa tidak perlu. “Aparat kepolisian seharusnya membuka mata, bahwa masyarakat ingin menyampaikan kekesalannya terhadap pemerintah, gara-gara pemerintah tidak membuka ruang partisipasi sehingga masyarakat akhirnya membuka, memfasilitasi di jalan ketika tidak ada wadah untuk melakukan partisipasi,” gugatnya seraya duduk di tangga Student Center.
UU Ciptaker Mendulang Kericuhan di Berbagai Daerah
Aksi menolak UU Cipta Kerja yang berujung ricuh tidak hanya terjadi di Bali, tetapi juga di berbagai daerah. Secara terpisah, menurut Sosiolog Universitas Udayana, Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A., maraknya aksi yang berujug ricuh merupakan akibat dari kulminasi kemarahan publik terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap bermasalah selama ini. “Hukum yang cenderung tumpul ke atas dan tajam ke bawah, penegakan hukum yang pandang bulu, korupsi yang masih merajalela, anggapan pelemahan lembaga antirasuah, dan lain sejenisnya. Jadi, kericuhan tersebut bukan semata-mata karena omnibus law,” jelasnya saat dihubungi via Whatsapp (10/10).
Bersih-bersih – beberapa peserta aksi tidak lupa menjaga kebersihan lokasi aksi.
Setelah berkurangnya partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan yang beruntun tersebut, baginya, menciptakan celah timbulnya kericuhan. “Ironisnya, pemerintah seolah justru menciptakan momen atau jalan bagi publik untuk meluapkan amarahnya, yakni lewat pengesahan omnibus law itu,” tambahnya.
Sementara itu, berdasarkan pemantauan Pers Akademika, telah banyak rilis informasi dari DPR RI hingga Presiden Joko Widodo yang menanggapi berbagai poin bermasalah dalam UU dengan tudingan hoaks. Melihat pola komunikasi publik yang demikian, Wahyu menanggapi dengan singkat. “Telah cukup banyak pakar hukum dari kampus terkemuka tanah air yang mulai memberikan berbagai penjelasan gamblang ke publik tentang betapa masih bermasalahnya omnibus law di sana-sini. Nyatanya, argumen mereka tetap lebih kuat, semisal argumen-argumen yang hadir dari Guru Besar Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Zainal Arifin Mochtar, serta Guru Besar Hukum Universitas Tarumanegara, Prof. Dr. Refly Harun,” jelas Wahyu.
Tekanan dari Publik Agar Mencabut UU Cipta Kerja
Hingga detik ini, tagar #jegalsampaigagal masih digaungkan untuk membuka kesadaran masyarakat untuk bersama-sama membatalkan dan mencabut undang-undang ini. Menurut Vany, setidaknya ada dua upaya yang dapat dilakukan untuk membatalkan diberlakukannya omnibus law, yaitu melalui upaya judicial review dan pencabutan langsung melalui peraturan pemerintah (PP). “Nah, kita kan melihat nih, kalo mencabut itu bagaimana pemerintah bisa terketuk, kalau judicial rivew bagaimana hakim bisa terketuk untuk menilai bahwa undang-undang ini bermasalah,” tutur Vany. Namun, upaya judicial review membuat Vany meragu akan integritas para hakim yang dikhawatirkan dilobi terlebih dahulu oleh pihak pengusung omnibus law.
Harapan demi harapan pun semakin kuat untuk diwujudkan, layaknya penuturan Abror Torik Tanjilla sebagai salah satu humas aksi. Ia berujar agar aksi dan aspirasi di Bali dapat terdengar hingga ke pemerintahan pusat, “suara kita di Bali dapat didengar sampai pusat dan didengar oleh wakil rakyat kita yang berasal dari Bali.” Katanya. Di sisi lain, Wahyu memberi saran menohok. “Dikarenakan mandat pemerintah berasal dari rakyat, maka seyogiyanya pemerintah mengikuti kemauan rakyat. Selain itu, di masa pandemi ini, seharusnya pemerintah bisa lebih peka untuk tidak membuat kebijakan-kebijakan yang tidak populer di mata rakyat,” tutupnya.
Reporter: Teja, Doni
Fotografer: Bagus, Tryadhi, Agus, Nico, Iyan, Gudi
Penulis: Yuko, Galuh
Penyunting: Via