Bali memang pulau yang kecil. Meski terbilang memiliki luas wilayah yang lebih kecil dari luas perairan, bukanlah suatu perkecualian untuk membangun Bali ini.
Sebaliknya justru, Bali yang kecil namun eksotik ini memikat banyak orang untuk melakukan pembangunan. Setiap kabupaten dirancang pemetaan ruang-ruangnya. Infrastruktur pun dibenahi dan diperuntukan untuk jangka panjang, semisal jalan, air listrik dan transportasi. Sebagai kotamadya, Denpasar yang notabene merupakan sentral dari pemerintahan provinsi pun tak luput dari pembangunan.
Alhasil, pemerintah beserta badan-badan pemerintahan, seperti Bappeda telah mengeluarkan perda provinsi Bali No. 3 tahun 2005 mengenai rencana tata ruang wilayah provinsi Bali. Dalam perda ini dimuat proses perencanaan, pelaksanaan hingga pengendalian pemanfaatan ruang.
Disebutkan pula, karena terjadinya simpangan yang cukup signifikan, maka perlu diwujudkan penyesuaian penataan tata ruang yang dinamis dalam satu kesatuan tata lingkungan berlandaskan kebudayaan Bali yang dijiwai Agama Hindu, serta tetap memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan falsafah Tri Hita Karana.
Secara taktis, perda ini sangat lengkap dengan definisi ruang-ruang di Bali serta penjelasan pasal-pasal yang mendetail. “Di tahun 2005 kami bahkan memuat isi dari Perda No. 3 tahun 2005 ini dalam harian Bali Post selama satu minggu penuh. Karena apapun yang berbasis ke masyarakat pasti akan diberikan ke masyarakat lagi,” ujar Ida Bagus Parsa Kepala Bidang fisik dan Prasarana Bappeda Provinsi Bali.
Pemerintah memang telah berupaya untuk menyeimbangkan pembangunan dengan penyesuaian terhadap lingkungan. “Idealnya untuk Bali untuk kawasan terbangun porsinya adalah 40% sedangkan 60 % sisanya adalah kawasan tidak terbangun. Namun, untuk Bali saja baru 8,9 % saja untuk kawasan terbangunnya,” papar IB. Parsa. Segelintir individu merasa untuk Denpasar saja kondisinya sudah sangat penat. Bahkan di beberapa ruas jalan pun kemacetan sudah ada di depan mata.
Belum lagi proyek-proyek pemerintah yang semakin membuat masyarakat gemar ngedumel. Ujung-ujugnya, pemerintah lagi yang dikomentari karena terlalu banyak membangun. “Saya kira pembangunan di Denpasar jalan di tempat, tidak ada terobosan dari walikota sekarang. Pembangunan berwawasan budaya hanya wacana. Banyak ruko dibangun, tanah Bali habis. Kebijakan berpihak pada pemodal. Perlu penataan tata ruang di Denpasar secara menyeluruh”, urai I Ngurah Suryawan, peminat masalah sosial.
“Bali itu jangan hanya dilihat sebatas Denpasar saja. Jadi janganlah itu terlalu diruwetkan,” tegas IB Parsa. Menurutnya, pemerintah telah memetakan dengan jelas, mana kawasan yang boleh dibangun dan yang tidak, kawasan industri, kawasan pariwisata, dan lain-lain”, urainya.
Penuturannya, sudah ada beberapa investor yang sudah ditolak pengajuan lokasi operasionalnya. “Masa mau bangun pabrik keramik di Denpasar, mau bangun pabrik semen di Peguyangan. Ya, kami tawarkan saja kalau mau bikin pabrik, di Gerokgak, di Nusa Penida. Agak jauh memang, kalau mau dituruti, misalnya mau bangun bisnis kargo pasti ya mintanya di Tanjung Benoa. Kan tidak bisa,” paparnya. Sederhana memang, daerah pusat perdagangan yang potensial memang selalu dirambah oleh investor.
Daerah-daerah yang sangat padat penduduk seperti Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan – Sarbagita, menurut IB. Parsa, sudah berkembang menjadi kota metropolitan. “Keempat daerah ini yang kita kenal Sarbagita ini memang sudah menjadi satu kesatuan wilayah yang tidak bisa dipotong-potong begitu saja. Karena adanya keterkaitan infrastruktur seperti, jalan, air, listrik dan transportasi maka tidak sembarangan kami memutus begitu saja wilayah-wilayah ini. Dengan kepadatan jumlah lebih dari 1 juta penduduk,” ujarnya. Khusus untuk Denpasar, walikota telah mengeluarkan 2 moratorium pembangunan yakni perumahan berskala besar dan hotel tidak boleh ada di Denpasar.
Mengingat fungsi pemerintah dalam pembangunan, yakni perencanaan, dalam hal ini Bappeda provinsi bersama Gubernur, pelaksanaan yang merupakan wewenang pemerintah kabupaten dan pemerintah kota perihal perijinan, pengelolaanya dan sebagainya, serta pengendalian – pengawasan dan penindakan yang juga domain dari Pemkab/Pemkot setempat, idealnya memang bisa menyeimbangkan laju pembangunan. Setiap pembangunan tentu ada beberapa pertimbangan. “ Untuk melakukan suatu pembangunan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama, sesuai RTRWP, boleh atau tidak kawasan tersebut dibangun. Kedua, mekanisme perijinan, ijin prinsip seperti lokasinya dimana, peruntukkannya untuk apa, dll. Ketiga, melakukan pengkajian secara lingkungan, sosial, teknologi dan persetujuan masyarakat, “ terang ketua PPLH Unud, Wayan Suwarna.
Ketika sudah tidak ada kesesuaian antara elemen-elemen tersebut, pembangunan-pembangunan liar akan leluasa berbiak. Akibatnya seperti yang marak diberitakan, hutan dibabat, alih fungsi lahan marak, kawasan-kawasan suci dinodai, sepertinya beton-beton itu telah menemukan caranya. Yang sangat dirugikan sebenarnya adalah kita, masyarakat Bali.
Semisal pembangunan villa di Uluwatu. Uluwatu termasuk kawasan suci. Tentu tanah di sekitar sana, akan dilindungi dari tangan-tangan investor. Tetapi pada akhirnya bobol juga. Villa itu tetap dibangun, dan kasusnya diusut ketika wartawan mulai mencium berita ini. “ Masalah villa di Uluwatu itu sekarang sudah di tutup. Coba saja tengok ke sana, sudah tidak ada buruh lagi yang bekerja disana,” tegas Ida Bagus Parsa. Tambahnya, perkara maraknya pembangunan sejumlah villa di kawasan-kawasan tertentu itu adalah kebijakan dari pemkab/pemkot setempat. Jadi, jika memang pembangunan itu sudah tidak baik namun tetap berjalan, untuk perijinan adalah wewenang pemkab/pemkot setempat. Pemerintah provinsi, lebih-lebih Gubernur tidak bisa menangkap pemkab/pemkot setempat untuk bertanggung jawab. “Jadi, tidak ada cerita itu Gubernur nangkep Bupati”, kelakarnya.
Pembangunan fisik, infrastruktur dan rencana tata ruang adalah wewenang dan tanggung jawab pemerintah. Tetapi pembangunan penghijauan lingkungan kita, tanggung jawab siapa? Seperti yang sudah-sudah, lagi-lagi juga telah ditetapkan kawasan-kawasan yang memang difungsikan sebagai kawasan lindung, budi daya, resapan air dan sebagainya.
Bali juga konon hutannya lebat. Tetapi dari jumlah ideal 30%, hutan di Bali yang tersisa sekitar 23%. “Secara gambaran, jumlah hutan di Bali sekitar 23%. Tetapi coba kalau kita lihat hutan-hutan di Bali Barat-Utara, di dalamnya sudah compeng semua. Dari luar memang tampak lebat, banyak. Tetapi di dalamnya, habis,“ tegas Ketua Bapedalda, I Gede Putu Wardana. Menurutnya, peranan hutan lindung itu sangat penting. Namun dengan segala penyalahgunaan yang tidak ada pengendalian dan pengawasan juga payung hukum yang lemah, hutan-hutan kita lama-lama akan habis.
“RTRWP memang harus dipatuhi. Penempatan ruang-ruang memang sudah seyogyanya dibangun sesuai porsinya. Agar tidak mengambil porsi lahan lain dan juga tidak membabat lahan-lahan yang efektif sesuai fungsinya, semisal jalur hijau jangan di minimalisir atau diciutkan lahannya”, tutur Ngurah Sarwa.
“Berbicara masalah hutan, hutan itu adalah milik negara. Jika milik masyarakat, itu tidak bisa dipatok. Nah, untuk menyiasatinya kami berstrategi dengan menetapkan kawasan suci dan kawasan tidak suci dengan memberi batasan peruntukkan kepada masyarakat agar tidak terlalu bebas. Begitu juga kawasan hutan lindung yang harus dimanfaatkan. Jika kita semua taat, ditotal-total kuota lahan hijau kita bisa mencapai 39%,” tegas IB Parsa. Sambungnya, jika ada pelanggaran-pelanggaran tentu akan ada sangsi. Akan menjadi masalah hukum, jika masyarakat terlibat. Semua masyarakat akan kena dampak hukumnya, jika tidak mentaati aturan-aturan ini. Terlebih lagi yang dilanggar adalah undang-undang. Dalam hal ini yang turun tangan adalah polisi dan jaksa. Apalagi jika terbukti bupati setempat turut campur tangan. “Banyak kan bupati-bupati ditahan gara-gara masalah seperti ini,” ujarnya.
Tanah kita habis. Religuisitas kita di recoki dengan bualan-bualan para investor. Lingkungan kita rusak. Alam kita di cemari habis-habisan. Dan pada akhirnya, semuanya akan kembali kepada kita. Konferensi Climate Change beberapa waktu lalu di Nusa Dua menyerukan bahwa lingkungan kita kritis. Penduduk dunia ramai-ramai ingin menyelamatkan lingkungan. Sebagai masyarakat, kita sendiri yang menentukan, apakah kita hanya pasif sebagai rakyat yang tunduk, atau menjadi rakyat yang aktif sebagai bagian dari pembangunan.
Astarini Ditha