Saya teringat salah satu kalimat Gede Prama ketika mengikuti mahasiswa upanayana dua tahun lalu. Beliau mengatakan Bali sebagai pulau yang paling bersinar dibanding pulau-pulau lain di nusantara jika dilihat dari satelit luar angkasa. Hal ini dikarenakan Bali merupakan pulau yang mengedepankan nilai-nilai religius. Pertanyaan besar kemudian menggelayuti pikiran saya. Masihkan saat ini Bali bersinar? Masihkan Bali bersinar di tengah gempuran perkembangan Pariwisata yang mengesampingkan religiusitas? Masihkan Bali bersinar ketika pembangunan vila menyentuh sisi religius pura (Bali Post, 13 Juni 2008)?
Pariwisata sampai saat ini masih memegang kendali perekonomian Bali. Tak pelak pariwisata menjadi tolok ukur kemajuan perekonomian Bali. Pariwisata maju, perekonomian semakin bagus. Jika diibaratkan sebuah tombak, sektor industri pariwisata merupakan ujungnya; bagian yang paling penting. Apalah artinya tombak tersebut jika ujungnya tidak ada. Pun apalah Bali jika pariwisata itu tidak ada
Pariwisata ibarat doktrin yang membahana di benak penduduk lokal. Doktrin yang dibentuk semenjak jaman kolonial yang kemudian diwariskan oleh kepemimpinan Orde Baru semakin menguatkan stigma pariwisata sebagai sektor yang menjanjikan di Bali. Hal ini diakui oleh I Ngurah Suryawan, aktivis lokal yang aktif mengamati permasalahan Bali dan masyarakat lokal. Doktrin pariwisata kemudian mengiringi perkembangan pariwisata yang membuat kebudayaan sebagai tulang sumsumnya pariwisata Bali. Kebudayaan dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi suatu komoditi yang dipertontonkan kepada wisatawan. ”Bahkan munculnya jargon pariwisata budaya kemudian dibarengi dengan upaya dimana masyarakat lokal seringkali dijadikan museum hidup,” ungkap Suryawan lugas. Bali digembar-gemborkan dengan budayanya yang adi luhung.
Pariwisata pun yang bertanggung jawab atas batas kesakralan di Bali. ”Barong dulu sesuatu yang sakral bagi masyarakat lokal, tetapi bisa dilihat sekarang para turis bisa menonton barong dance sesuka mereka,” ungkap Suryawan. Ya, Barong yang dulunya disakralkan masyarakat lokal kemudian dibuatkan duplikatnya, dan dipertontonkan kepada wisatawan. Wisatawan suka berarti mereka akan datang, bahkan yang lainnya akan datang lagi ke Bali. Ini berati pula pariwisata Bali semakin maju. Artinya, semakin banyak dollar mengucur. Semua hal dilakukan supaya pariwisata maju.
Bali memang sejujurnya beruntung jika dibandingkan pulau-pulau lain yang ada di Nusantara. Keindahan alam, budaya, dan adat istiadatnya kemudian memberikan gambaran Bali sebai pulau surga, pulau seribu pura. Kontan Bali menjadi destinasi wisata yang menjanjikan pemanjaan mata bagi wisatawan. Tak pelak pula Bali dilirik banyak investor untuk menanamkan modalnya di Bali. Satu kasus yang terjadi baru-baru ini investor yang membangun vila di Uluwatu. Satu kasus yang kemudian membawa perdebatan apakah pembangunan vila tersebut masih layak dalam arti tidak menyentuh areal kesakralan Pura Uluwatu? ”Kasus Uluwatu merupakan konsekuensi logis dari perkembangan pariwisata di Bali. Pembangunan infrastruktur perlu untuk mendukung perkembangang pariwisata,” ujar Suryawan. Menurutnya, perkembangan pariwisata Bali akan lebih menggembirakan jika masyarakat lokal pun bisa ikut menikmati. Dan terkait kasus di Uluwatu, dimana masyarakat lokal rela menjual tanah leluhurnya hanya demi ikut menikmati lembaran dollar tak patut dipersalahkan sepenuhnya. ”Wajar saja mereka menjual tanah mereka, orang mereka tidak punya hal lain yang bisa diandalkan untuk melanjutkan hidup selain tanah,” ungkap Suryawan memberikan pembelaan.
Tanah Bali ibarat emas yang menjadi sangat berharga ketika pariwisata berada di puncak kejayaan. Investor dengan sesuka hati membeli tanah di Bali, dan masyarakat lokal pun dengan rela menjual tanahnya kepada mereka. Sebut saja contoh kasus Pecatu Graha. Lantas, haruskan masyarakat lokal menjual tanahnya terus sampai akhirnya Bali pun tak lagi menjadi milik masyarakat Bali? Sampai Bali seutuhnya milik para investor? Prof Sucipta, Guru Besar Fakultas Pertanian Unud, menawarkan solusi jitu untuk menanggapi kasus jual beli tanah di Bali. Menurutnya pemerintah harus tegas mengambil sikap. ”Pemerintah seharusnya menjatuhkan pajak tinggi bagi tanah-tanah yang dimiliki pihak asing. Khususnya yanah di kawasan Pariwisata,” ungkapnya tegas. Dengan memberikan pajak tinggi setidaknya masyarakat lokal akan sedikit banyak menikmati kemajuan pariwisata.
Disamping itu, Prof. Sucipta mengungkapkan, komitmen pemerintah sangat berperan. ”Jika memang berniat menyelaraskan kemakmuran antara pelaku pariwisata dan petani, pemerintah harus sigap menginventaris tanah-tanah di Bali. Yang mana tanah tidur, yang mana tanah investor yang tidak digarap. Nah, pemerintah bisa mesolusikan dengan memberikan kesempatan pada petani untuk menggarapnya,” terang Prof. Sucipta. ”Yang saya sayangkan sekarang petani yang punya tanah bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan petani lokal yang hanya menggarap tanah orang. Pemerintah harus segera mengambil sikap,” tambahnya.
Tak sekedar mengambil alih kepemilikan tanah masyarakat lokal. Investor pun menurut Prof. Sucipta merupakanan penyebab dari banyaknya lahan tidur dan lahan ”ngantuk” di Bali. ”Tanah di Bali itu dibeli cuma untuk spekulasi. Setelah dibeli, tanah itu dibiarkan sampai nanti ada yang mau membeli dengan harga tinggi,” ungkap Prof. Sucipta.
Ya, mau tidak mau pariwisata membawa ekses negatif. Sebut saja di bidang pertanian. Pertanian, diakui Prof Sucipta, memberikan kontribusi yang sangat besar bagi industri pariwisata di Bali. Para turis tertarik berkunjung ke Bali salah satunya karena keindahan alam dan panorama persawahan di Bali. Namun sungguh ironi kemudian ternyata para petani justru tak mendapat imbas kemajuan tersebut.
Menurutnya, perkembangan pariwisata justru menurunkan produktivitas petani di Bali. Perkembangan pariwisata mendukung banyaknya bermunculan swalayan-swalayan. Swalayan-swalayan inilah kemudian mematikan petani Bali. Swalayan cenderung membayar hasil panen petani dengan harga murah. Nah, ini yang kemudian secara berangsur-angsur mematikan pertanian Bali.
Di samping itu, kemunculan hotel baik yang berbintang maupun tidak sebagai konsekuensi perkembangan pariwisata secara tidak langsung juga melesukan petani Bali. Yang saat ini terjadi di Bali adalah impor komoditi pariwisata dari luar. Banyak hotel di Bali menurut Prof Sucipta memilih memakai produk luar ketimbang memakai hasil panen petani lokal. Solusi yang ia tawarkan adalah Tri Mitra antara petani, pengusaha dan pemerintah. ” Pengusaha perhotelan harus memiliki petani binaan, dan nantinya petani inilah yang menyediakan komoditi keperluan pariwisata,” ungkap Prof Sucipta. Pemerintah harus tegas berfungsi sebagai pengontrol berlangsungnya kemitraan antara petani dan pengusaha. Tambahnya, ketika petani kekurangan bibit, pengusaha berkewajiban untuk menyediakan bibit. Melalui Tri Mitra ini, Prof Sucipta meyakini tidak hanya pengusaha, pariwisata pun akan menguntungkan bagi para petani lokal.
Namun sayangnya saat ini fenomena yang berlangsung di Bali, konsep Wisata Agro justru lebih diterapkan. Pariwiasata lebih mengedepankan pemanfaatan persawahan sebagai objek wisata. Petani hanya dimanfaatkan sepihak yang hanya menguntungkan bagi para pengusaha kepariwisataan. Sedangkan konsep Agrowisata-pariwisata untuk pertanian-justru dalam prakteknya masih lumpuh. Hal ini diakui oleh Prof Sucipta. Jika Agrowisata benar-benar berlangsung, petani tidak akan dirugikan. ”Misalkan saja pengusaha travel bisa melakukan kerja sama dengan pihak subak. Para wisatawan diundang untuk melihat secara langsung bagaimana petani membajak sawah. Dan nantinya pengusaha travel tersebut diberikan timbal balik, kan jadi sama-sama untung,” ungkap Prof Sucita memberikan solusi. Sebuah konsep yang cemerlang. Namun eksistensi subak saat ini masih perlu dipertanyakan.
”Saya sampai frustasi melihat perlakuan buruk pariwisata terhadap pertanian Bali,” ungkapnya. Konsep Tri Mitra ini menurut Prof Sucipta sudah ditawarkan dari dulu. Kenyataan di lapangan justru tidak mengindahkan ide cemerlang itu. Sekali lagi menurut Prof. Sucipta, pemerintah memegang peranan penting mensinergikan perkembangan pariwisata dan pertanian. Bagaimana membuat pertanian tetap eksis di tengah perkembangan pariwisata. Bagaimana membuat pertanian mendapat keuntungan atas perkembangan pariwisata.
Pariwisata merugikan? Belum tentu. Mungkin saja. ”Pariwisata Bali itu pariwisata bunuh diri,” ungkap Prof Sucipta. Dari sederetan perlakuan pariwisata mulai dari penyengsaraan masyarakat lokal sampai perlakuan diskriminasi terhadap petani, pariwisata pun tak bisa dikatakan tidak mengguncang ketenangan lingkungan di Bali. Limbah hotel, sampai pembabatan hutan masih merupakan permasalahan yang ditimbulkan seiring perkembangan pariwisata. ”Saya justru tidak bangga dengan isu yang mengatakan akan adanya perluasan airport. Bagaimana tidak? Ini akan sangat mengancam ekosistem mangrove di sana,” ungkap Prof Sucipta. Suryawan justru optimis seharusnya pariwisata lingkungan atau ekotourism bisa menjadi satu tawaran yang menjanjikan bagi perkembangan pariwisata Bali. Namun, saat ini apa yang bisa diharapkan dari lingkungan di Bali? Bagaimana dengan abrasi yang terjadi di pantai Gianyar? Apa yang bisa diharapkan dari kondisi semacam itu?
Lantas, bagaimana dengan keamanan? Keamanan merupakan prihal penting yang tentunya menentukan apakah wisatawan mau datang ke Bali. Keamanan menjadi sangat saklek untuk industri kepariwisataan di Bali. Setelah dua kali diguncang ledakan bom, keamanan Bali tentunya menjadi prioritas utama. Namun ternyata bukan sekedar ancaman terorisme. Penduduk Indonesia pun ternyata memberikan ancaman keamanan. Seperti kasus pembunuhan penduduk Australia beberapa bulan yang lalu (Balipost, 13 Mei 2008) membuktikan bahwa ancaman keamanan bisa dari berbagai sudut. Dan Pemerintah harus memikirkan keamanan Bali sematang-matangnya jika masih ingin pariwisata memberikan kontribusi dalam perekonomian Bali. Namun, sepertinya kasus pembunuhan orang Australia ini tak cukup menggetarkan niat wisatawan berlibur ke Bali. ”Saya merasa Bali lebih aman dari pada di Jawa. Di sini saya berani pergi ke mana-mana sendiri ketimbang di Jawa,” ungkap Gerrie de Vries dengan logat Inggris Hollandnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Vincenzo Zucchi. Menurutnya, Bali sebagai tempat yang membuatnya nyaman. ”Saya suka orang-orangnya yang ramah-ramah,” tambahnya, cukup kontras dengan keyataan yang terjadi. Tapi, apapun itu (meskipun pariwisata Bali sudah kembali pulih pasca bom), harus dikembangkan kembali dengan catatan tidak merugikan sektor yang lain ataupun masyarakat lokal.
Dwi Yuniati