Tanggapi Pernyataan Pejabat Publik, ForWaras Berikan Pernyataan Sikap

Tanggapi Pernyataan Pejabat Publik, ForWaras Berikan Pernyataan Sikap

“Kita adalah masyarakat sipil yang hanya memiliki satu sama lain terlepas dari apapun warna kulit kita, agama, ras,” ujar Candra, salah satu dari anggota ForWaras yang turut menyuarakan keresahannya.

Pada Selasa (02/09/2025), Forum Warga Setara (ForWaras) memberikan pernyataan sikap pada Konferensi Pers di rumah Layanan Bantuan Hukum (LBH) Bali. Pernyataan sikap dengan judul ‘Mengecam Pernyataan Pejabat Publik terkait Demonstrasi di Bali yang Membelah Solidaritas Warga, Masyarakat Berhak Kritis atas Kekerasan Negara’ ini didatangi berbagai media, individu, serta anggota dari ForWaras. Konferensi Pers dibuka oleh Direktur LBH Bali, Rezky Pratiwi. Menanggapi pernyataan dari Gubernur Bali dan Karo Ops Polda Bali, Kombes Pol Soelistijono, Pratiwi mengungkapkan kekhawatirannya, “Dua statement ini punya sentimentasial dan juga mendelegitimasi demonstrasi yang dijamin oleh konstitusi,” ujarnya. Secara singkat, dua pernyataan tersebut memuat informasi yang mengatakan bahwa massa aksi yang diamankan mayoritas bukan merupakan orang Bali. 

Setelahnya, enam perwakilan dari ForWaras memberikan pandangannya mengenai situasi yang sedang melanda Pulau Dewata. Mereka menyampaikan keresahannya akan adanya indikasi menyempitnya ruang bersuara bagi masyarakat Bali yang ditutupi dengan isu rasisme. Salah satu perwakilan menyatakan keprihatinannya pada situasi tersebut. “Saya agak memprihatinkan membaca di media sosial ucapan dari pejabat publik ya, Bapak Gubernur Koster dan dari kepolisian itu, tentang mempertajam identitas Bali. Seolah-olah ini orang Bali tidak, apa namanya orang luar Bali bikin kacau di Bali,” ujar Agung Alit, salah satu anggota ForWaras yang bersuara. Alit juga menambahkan bahwa siapa saja bisa memberikan suaranya di Bali, karena Bali sendiri merupakan bagian dari Republik Indonesia. “Saya mohon untuk pejabat publik untuk tidak lagi memberikan kata-kata seperti itu, mendikotomikan orang Bali dan orang luar Bali gitu,” pintanya. 

Ni Putu Candra Dewi, salah satu anggota ForWaras yang juga merupakan penasihat hukum, menyatakan temuannya selama mendampingi massa aksi yang ditahan di Polda Bali. “Ada sejumlah HP yang disita dan masih ditahan oleh Polda Bali, dan dilakukan penyedotan data,” jelasnya, ia menambahkan hal ini merupakan pelanggaran hak atas privasi. Selain HP, mengutip data dari LBH Bali yang diunggah di laman instagramnya, dari 158 massa aksi yang ditangkap oleh Polda Bali, masih terdapat 3 massa aksi yang belum dibebaskan dengan status hukum yang belum jelas. Namun, massa aksi yang dibebaskan juga diketahui mengalami kekerasan fisik saat diperiksa oleh Polda Bali. “Kami juga menyaksikan secara langsung bagaimana massa aksi yang dibawa ke polda kondisinya bisa dikatakan jauh dari humanis. Mereka ditelanjang dada kemudian berjongkok dan diminta untuk jalan jongkok serta dibentak,” tutur Candra. Selain itu, orang tua yang anaknya diamankan di polda Bali pun dipersulit untuk mendapat akses ke sana, “Saat di pos di depan polda ditanyakan KK dan KTP (keluarga) nya, sebenarnya itu bukan hal yang harus diberikan,” ungkap Firman, selaku Kepala Bidang Kajian dan Aksi Strategis BEM FH Udayana.

Menanggapi segala permasalahan tersebut, ForWaras memberikan pernyataan sikap sebagai berikut:

  1. Mengecam tindakan para pejabat publik di Bali yang mengeluarkan pernyataan rasis yang memecah belah, serta mendesak pejabat dan tokoh publik untuk menghentikan praktik diskriminasi dan stigmatisasi terhadap demonstran; 
  2. Mendesak Kompolnas dan Propam POLRI melakukan pemeriksaan terhadap Karo Ops Polda Bali dan jajaran personel kepolisian dalam penanganan aksi demonstrasi, serta menjatuhkan/merekomendasikan sanksi atas tindakan diskriminatif personel yang diperiksa dan pemecatan terhadap Karo Ops Polda Bali atas pernyataannya; 
  3. Meminta Ombudsman RI dan Kantor Perwakilannya melakukan pemeriksaan maladministrasi kepada Gubernur Bali dan Karo Ops Polda Bali atas pernyataan keduanya; 
  4. Pemerintah dan DPR bertanggung jawab terhadap situasi dengan mendengar tuntutan rakyat, jamin hak kebebasan menyampaikan pendapat dari setiap warga negara, dan menghentikan segala bentuk sikap anti kritik dan kebijakan yang menyengsarakan rakyat; 
  5. Rakyat Bali dan rakyat di seluruh Indonesia harus memperkuat solidaritas untuk melawan rasisme dan segala bentuk politik pecah belah.

Lebih lanjut, permasalahan yang tak hanya menjadi polemik di Bali ini pun sudah mendapat atensi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Melalui badan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), Ravina Shamdasani sudah memberikan ‘teguran’ kepada Indonesia. Menanggapi hal tersebut, Pratiwi menyebutkan bahwa pemerintah harus mendengarkan masukan dari masyarakat sipil, termasuk lembaga-lembaga seperti PBB. “Maka pemerintah Indonesia harus berhenti dengan sikap anti kritik, mendengarkan tuntutan rakyat dan membuka seluas-luasnya ruang kebebasan berpendapat tanpa kekerasan,” ujarnya. 

Penulis: Putri Wara

Penyunting: Adi Dwipayana

kampungbet kampungbet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

perihoki perihoki perihoki perihoki perihoki duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76