Sampah di Pantai Yeh Gangga, Masalah Klasik yang Mengusik

Di balik siluet wisata dan aroma dupa di bibir pantai, ada para nelayan yang tak hanya menghadapi gelombang, tetapi juga kelalaian manusia yang mengalir dari hulu.
Tabanan bukan hanya tentang sawah bertingkat di Jatiluwih atau siluet Tanah Lot saat matahari tenggelam. Di sisi barat daya lumbung padi Bali ini, terdapat bentang pesisir bernama Pantai Yeh Gangga. Laut lepas yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia. Tak hanya suara deburan ombak yang terdengar di pantai pasir hitam ini, ada beragam jejak aktivitas yang terpijak dan lesap disapu ombak. Ada baling-baling jukung nelayan yang berputar, jala yang ditebar, dentang suara bajra bersama sayup-sayup doa bagi mereka yang datang dalam upacara agama, serta hiruk-pikuk aktivitas pariwisata dan selancar. Di Yeh Gangga laut bukan sekadar hamparan biru, melainkan sebuah ruang bagi umat Hindu di Tabanan melaksanakan upacara serta menjadi ladang nafkah bagi nelayan dan pelaku usaha pariwisata di sana.

(Lokasi penumpukan sampah kiriman di Pantai Yeh Gangga)
Di balik debur ombak yang menghantam bibir pantai, ada potensi bahari dan pariwisata yang bernafas di pantai ini. “Pekerjaannya paling banyak di bidang nelayan dan pariwisata. Kalo kita ngomongin kearifan lokal, di sini turun temurun (bermata pencaharian sebagai) nelayan,” ujar I Nyoman Ariadi, Perbekel Desa Sudimara, ketika diwawancarai pada (28/06/2025). Mengutip dari laman Antara Bali tahun 2017 pada kabar yang berjudul “Tabanan Tingkatkan Produksi Perikanan Tangkap” disebutkan bahwa potensi perikanan tangkap di Tabanan diperkirakan mencapai 3.510 ton per tahun, tetapi yang baru termanfaatkan sekitar 917 ton. “Di sini prioritasnya lobster, kalo ikan musiman,” kata Nyoman Darmadi, salah satu nelayan Yeh Gangga.
Meskipun lobster merupakan salah satu komoditas unggulan yang bernilai tinggi dan memiliki potensi dalam mendorong ekonomi nelayan, tetapi terdapat persoalan sampah yang menjadi salah satu tantangan di pantai tersebut. Mengutip dari laman IDN Times Bali dalam tulisan yang bertajuk “Jukung di Tabanan Rusak dan Nelayan Luka Gara-gara Sampah,” seorang nelayan asal Banjar Yeh Gangga bernama I Wayan Murdika menceritakan kerugian yang dialami rekan sesama nelayan akibat sampah yang bersarang di laut. Murdika menyebutkan bahwa terdapat jukung nelayan yang baling-balingnya terlilit sampah kampil, mengakibatkan mesin mati. Tak hanya itu, rekannya tersebut juga mengalami luka serta harus menanggung kerugian hingga 15 juta rupiah untuk memperbaiki bagian jukung yang rusak. Selain berhadapan dengan derasnya arus dan kerasnya gelombang, nelayan juga mesti mengalami hambatan akibat sampah kiriman. Nelayan tidak hanya bergelut dengan cuaca atau pasang surut air laut, tetapi juga dengan sampah plastik, karung bekas, hingga tali tambang yang terbawa arus dan tersangkut di jaring mereka.
Kiriman Sampah dari Hulu, Laut, dan Tradisi
“Sampah memang banyak. Selain sampah upakara ada sampah kiriman juga; plastik, ranting kayu, bambu,” tutur Darmadi kala ditemui di kediamannya pada (28/06/2025). Tidak dapat dipastikan kapan tepatnya aktivitas keagamaan, nelayan melaut, dan kegiatan pariwisata hadir di Pantai Yeh Gangga. Sama halnya dengan dengan persoalan sampah yang bersarang di sana. “Mungkin dari tahun 2010 sih, tapi gak mulai sebanyak sekarang. Kalo dulu banyakan sampah organik dari pohon-pohon, kalo sekarang sampah plastik,” ujar Dwi, kepala bidang pengolahan sampah limbah bahan berbahaya dan beracun DLH Tabanan pada (31/07/2025). Keduanya seolah terlukis pada satu kanvas yang sama. Memberi corak pada lukisan Pantai Yeh Gangga, antara kepercayaan yang bersemayam dalam upacara, panorama nelayan yang mengarungi laut, dan denyut nadi pariwisata, serta perkara sampah yang belum menjadi luput dari pandangan. Deburan ombak dapat menghapus jejak-jejak langkah, tetapi tidak dengan seluruh sampah yang terbawa ke sana. Begitu pula dengan laut yang tidak mampu mengurai sampah-sampah itu di kedalamannya. Ibarat sebuah masalah klasik yang masih mengusik hingga kini.

(Pantai Yeh Gangga yang berisi sampah)
Sampah yang datang ke Yeh Gangga bukanlah “salah laut.” Terdapat beberapa faktor yang menimbulkan sampah bersarang di pantai pasir hitam tersebut. Dua aliran sungai utama yang disebutkan oleh I Nyoman Ariadi dan warga setempat yaitu, Sungai Yeh Abe dan Sungai Ampas membawa limbah rumah tangga dari hulu ke hilir dan melonjak kala musim hujan datang.

(Aliran sungai utama yang membawa sampah kiriman ke Pantai Yeh Gangga)
Ariadi juga menjelaskan bahwa terdapat pula sampah-sampah dari kawasan lain terbawa arus ke pesisir Yeh Gangga. Perbekel Desa Sudimara itu menyebut bahwa sampah plastik dan limbah rumah tangga dari berbagai arah sampai di wilayah ini tanpa dapat dicegah secara lokal.
Tidak hanya berasal dari hulu, sampah juga timbul dari aktivitas upacara keagamaan yang dilaksanakan di pantai tersebut. Saat upacara Melasti dan ritual lainnya digelar, pantai ini menjadi saksi dari ratusan umat yang datang membawa sarana upakara. Pengelolaan sampah upakara di Yeh Gangga masih belum sepenuhnya tertangani. “Sampah upakara memang banyak organik tapi ada juga yang anorganik, contohnya kain-kain, sekarang juga banyak sarana upakara yang tidak hanya menggunakan organik, istilahnya sudah dimodif dan kurang baik untuk lingkungan,” tutur I Nyoman Ariadi. Ketika tim redaksi Akademika turun langsung ke Pantai Yeh Gangga, terdapat sampah kayu dan bambu di beberapa bagian dari hamparan pasir pantai yang disinyalir oleh warga sebagai sampah kiriman. Saat menyusuri sungai di sana, terdapat beberapa sampah yang mengambang di atas air. Tak memenuhi area sungai, seperti yang disebutkan nelayan sebelumnya, bahwa sampah melonjak kala hujan tiba.

(Sampah organik dan anorganik yang menjadi satu)
Pantai Yeh Gangga bukan hanya ruang ekonomi nelayan, tetapi juga ruang sakral bagi masyarakat adat. Sejumlah upacara keagamaan seperti Melasti, Ngaben, hingga Piodalan, rutin digelar di pesisir ini. Tradisi tersebut kerap menyisakan bambu dan sarana upakara lain yang tercecer di pantai. Maka dari itulah, Bale Pawedan sebagai tempat khusus menaruh sarana upakara setelah prosesi selesai. Langkah ini dimaksudkan agar sisa upakara tidak langsung berserakan atau terbawa arus ke laut. “Kalau kita berbicara sampah di Yeh Gangga, salah satunya datang dari upakara—baik Melasti, Ngaben, maupun Yadnya lainnya. Dulu habis dipakai, bambu-bambu dan perlengkapan langsung ditinggalkan. Sekarang sudah dibuatkan Bale Pawedan, supaya bisa dikumpulkan dulu,” ujar Nyoman Ariadi.

(Bale Pawedan yang dibangun di Pantai Yeh Gangga agar mengurangi penggunaan bambu dalam upacara)
Ancaman Senyap bagi Kehidupan Nelayan/Bagaimana Dampaknya?
Masalah sampah dirasakan langsung oleh nelayan, terutama karena dapat merusak jukung. “Ya merusak, apalagi kena baling-balingnya, kalau sudah kena nggak bisa dilepas. Di jaring-jaring itu juga sampah saja isinya, bukan hasil laut, plastik aja banyak,” ujar Ita, selaku salah satu nelayan di Pantai Yeh Gangga ketika diwawancarai pada (28/06/2025). Situasi ini bukan hal sepele. Dampak sampah juga dirasakan oleh Darmadi. “Masang jaring-jaring, sampah aja isinya. Kalo arusnya keras, sampah aja isinya. Waktu air bah (meluap), sampah aja isinya, lobsternya kabur. Jadi ya dikit hasil tangkapannya,” papar Darmadi.
“Pas (Ketika) mau naik (melaut) dan ombak gede, ada sampah banyak dibawa jukung, ya risikonya sampah akan terlilit di baling-baling jukung, kalo udah seperti itu mesin mati. Ada sempet kejadian nelayan meninggal gara gara ombak gede, jukungnya banyak terlilit sampah seperti itu,” tutur Nyoman Ariadi. Baling-baling perahu kerap tersumbat plastik. Padahal, keberadaan jukung kecil mereka bukan penentu hasil tangkapan, ombak dan arus laut jauh lebih menentukan. Namun, sampah yang terbawa dari hulu menjadi penghalang bagi para nelayan.
Masalah kiriman sampah bukan hanya soal estetika pantai. Akan tetapi juga menyangkut masalah ekonomi, keselamatan, dan masa depan nelayan. Berdasarkan penuturan para nelayan yang ditemui tim redaksi Akademika, mereka menyebutkan bahwa adanya sampah di jalur Penanganan sampah di Yeh Gangga sejauh ini masih bersifat insidental. Ketut Ariadi, menuturkan bahwa kegiatan bersih pantai lebih banyak dilakukan dengan gotong royong warga. “Kalaupun pakai alat berat, kita belum mampu untuk membiayai operasionalnya tinggi. Biasanya cari di hari Minggu biar semua warga bisa ikut berpartisipasi,” ujar Ketut Ariadi.
Tak ada sistem penyaringan atau pengelolaan limbah di jalur air ini, menjadikan sungai sebagai jalan tol sampah menuju laut. I Gusti Ngurah Suwarya selaku Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Tabanan menyebut pemasangan jaring di muara Yeh Gangga bukanlah solusi. “Susah kayak gitu, dengan arus deras yang ada hancur,” ujar Ngurah Suwarya. Namun, pernyataan ini berbeda dengan yang disampaikan oleh akademisi Teknik Lingkungan Universitas Udayana, Ida Ayu Rai Widhiawati, menilai pemasangan waste trap tetap memungkinkan bila ditempatkan pada titik yang lebih hulu. “Kalau hulunya tidak dibereskan, sampah akan tetap turun ke laut. Waste trap bisa dipasang di hulu sungai, sebelum masuk ke laut, sehingga lebih efektif,” jelas Rai Widhiawati ketika diwawancarai pada (09/08/2025).
Dwi selaku Kepala Bidang Pengolahan Sampah Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun DLH Tabanan menekankan bahwa penanganan sampah tidak bisa hanya dibebankan pada instansi mereka. “Menurut saya perlu kerja sama, tidak bisa hanya mengandalkan DLH. Masyarakat juga harus paham dan peduli,” ujar Dwi. Pandangan ini sejalan dengan keterangan akademisi dari Teknik Lingkungan Universitas Udayana. Ia menilai persoalan sampah kiriman harus ditangani dengan sistem yang terintegrasi, bukan sekadar aksi bersih pantai. “Kalau hanya mengandalkan kegiatan insidental, hasilnya tidak akan signifikan. Harus ada teknologi penyaring di muara sungai, ditambah data volume dan pola kedatangan sampah agar strategi penanganan lebih tepat,” ujar Rai Widhiawati. Menurut dosen Teknik Lingkungan Unud tersebut, akar masalah justru berada di hulu sungai. “Kalau hulunya tidak dibereskan, sampah tetap akan turun ke laut. Jadi solusinya bukan hanya di pantai, tapi dari sumbernya,” tegas Rai Widhiawati.
Penulis: Anan dan Gung Putri
Penyunting: Maya Angelika
Sumber foto: Dokumentasi pribadi
kampungbet kampungbet