Keamanan kampus yang seharusnya jadi prioritas, tetapi kenyataannya masih jauh dari kata ideal. Insiden terbaru, kehilangan proyektor yang terjadi di Fakultas Ilmu Budaya pada bulan Januari lalu mengungkap lemahnya keamanan, kembali membuat mahasiswa waswas.
Pembicaraan mengenai keamanan di kampus adalah sebuah topik yang rasanya tidak akan habis dimakan waktu, lekang oleh masa dan tetap menjadi sebuah permasalahan. Dalam sebuah institusi, dalam konteks tulisan ini adalah Universitas Udayana (Unud), keamanan fasilitas kampus menjadi perhatian penting bagi seluruh civitas akademika, terlepas dari apapun fakultasnya. Baru-baru ini, Unud kembali dihadapkan dengan situasi yang menambah keresahan mahasiswa. Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang berlokasi di Jalan Pulau Nias, diketahui mengalami kehilangan proyektor yang menjadi sarana penunjang pembelajaran di kelas. Menanggapi isu yang berkembang di kalangan mahasiswa mengenai kehilangan tersebut, I Nyoman Aryawibawa selaku Dekan FIB Unud mengonfirmasi terkait kejadian kehilangan proyektor di Gedung Fakultas Ilmu Budaya memang benar terjadi. “Seingat saya itu tanggal 28 Januari, saya dikasih tahu kehilangan proyektor di ruang itu (ruang 18). Kemudian, saya bersama staf yang biasa menangani ruangan itu cek langsung, dan memang betul hilang,” ungkap Aryawibawa, ketika diwawancarai Tim Pers Akademika pada (5/3).
Menindaklanjuti kejadian tersebut, Aryawibawa segera berkoordinasi dengan Wakil Dekan II untuk mencari tahu lebih lanjut. “Tentu saya berkoordinasi dengan Bu WD 2, bagian umum mencari tahu apa yang terjadi,” ujar Aryawibawa. Konfirmasi juga diberikan oleh satpam dan wakil kerja (waker) yang bertugas saat itu, keduanya kompak mengaku tidak tahu menahu tentang hilangnya proyektor di lingkungan kampus. Menindaklanjuti hal tersebut, pihak kampus membuat laporan ke pihak berwajib. Aryawibawa menjelaskan bahwa pihak kampus memutuskan untuk melakukan prosedur standar dengan melapor ke polisi agar dapat membuat laporan kehilangan atas barang milik negara ke universitas. Namun siapa sangka, sebelum mengambil tindakan lebih jauh, proyektor yang sebelumnya dinyatakan hilang tiba-tiba sudah terpasang kembali pada tempatnya semula. Dari hasil intervensi pihak kepolisian, waker yang bertugas akhirnya mengakui bahwa ia yang telah memindahkan proyektor tersebut. “Itu yang terjadi. Jadi dia mengakui, dia yang menurunkan, kemudian memasang lagi,” ujar Aryawibawa. Akibatnya, waker yang bersangkutan mengajukan pengunduran diri dan tidak lagi kembali menjalankan pekerjaannya di lingkup kampus.
Sejak saat itu, sistem keamanan di FIB Unud hanya ditangani oleh dua satpam yang bekerja dalam tiga shift yakni pagi, sore dan malam. Namun, keterbatasan jumlah tenaga kerja menyebabkan pengawasan pada malam hari menjadi kurang optimal. Sebelumnya, seorang waker turut membantu menjaga keamanan pada malam hari, tetapi posisi tersebut kini sedang kosong. Akibatnya, tidak ada tenaga tambahan yang berjaga setelah satpam selesai bertugas. Salah satu satpam, Pak Edi, menjelaskan bahwa keberadaan waker sebelumnya sangat membantu dalam mengawasi lingkungan kampus pada malam hari. Namun, sejak posisi tersebut kosong, pengawasan menjadi kurang maksimal, terutama setelah pukul 22.00 WITA ketika satpam tidak lagi berjaga. Selain itu, keadaan FIB yang minim menggunakan sistem keamanan digital, menyebabkan tingkat keamanan di kampus kuning tersebut kian merendah. Aryawibawa menjelaskan bahwa tahun ini FIB baru dapat mengusulkan dan merencanakan pemasangan CCTV baru dengan 36 titik kepada universitas melalui penggunaan saldo awal. Selama belum adanya sistem keamanan digital yang memadai, keberadaan waker tetap menjadi kebutuhan yang penting. Dengan keterbatasan tenaga keamanan tersebut, pihak dekanat harus berupaya dengan lebih optimal agar keamanan kampus tetap terjaga.
Sebagai solusi sementara, pihak dekanat menugaskan salah satu pegawai untuk berjaga di malam hari. Namun, hal ini tidak bisa menjadi solusi permanen, karena tugas utama pegawai tersebut bukan sebagai tenaga keamanan. “Sebelum kami cari waker, kami tugaskan satu pegawai. Tetapi tidak bisa mengandalkan untuk menjadi waker karena tupoksinya bukan itu (waker) ,” jelas Aryawibawa.
Upaya lain dari permasalahan ini adalah pihak dekanat telah mengajukan permohonan penambahan dua tenaga keamanan kepada pihak universitas. Namun, karena kurangnya jumlah security di tingkat universitas, permohonan tersebut tidak dapat disetujui. Karena keterbatasan jumlah security di universitas. “Kami mencoba bersurat ke universitas memohon dua tambahan security di Kampus Nias, itu tidak disetujui, karena universitas juga memiliki jumlah security yang terbatas,” ungkap Aryawibawa. Akibatnya, FIB hanya dapat mengandalkan jumlah tenaga keamanan yang ada, meskipun masih jauh dari kata ideal. Selain itu, pihak dekanat juga berupaya mencari alternatif lainnya, yakni dengan mengusulkan pemindahan dua satpam dari Kampus Bukit Jimbaran ke Kampus Nias. Namun, permohonan tersebut belum mendapat persetujuan dari pihak universitas. Dengan keterbatasan tenaga keamanan ini, pihak dekanat akhirnya mengambil langkah lain dengan menghadirkan kembali posisi waker. Pak Edi, salah satu satpam di FIB Unud, mengonfirmasi bahwa saat ini sudah ada waker yang bertugas kembali. “Sekarang sudah ada waker, wakernya sampai jam 10 malam. Setelah itu, dia bertugas mengecek dan mengunci pintu,” jelasnya. Menurut Aryawibawa, idealnya diperlukan minimal 3 satpam dalam satu hari ditambah dengan satu waker agar lebih maksimal. Terlebih lagi, lokasi kampus FIB di Nias yang berada di antara jalur lalu lintas yang padat, menyebabkan banyaknya orang berlalu lalang tanpa diketahui apakah memang benar merupakan mahasiswa atau oknum yang mempunyai niat untuk melakukan tindak kejahatan. Hal ini semakin memperkuat alasan untuk memberikan sistem keamanan yang lebih memadai ke depannya.
Kebijakan Baru
Kondisi keamanan di FIB menjadi tantangan yang harus ditempuh oleh pihak Fakultas, seperti adanya keterbatasan jumlah tenaga keamanan dan insiden kehilangan proyektor yang kemudian mencuat dalam diskusi antara mahasiswa dan pihak dekanat. Tak berselang lama, mahasiswa FIB mengetahui terkait kebijakan baru yang disebarkan oleh pihak kampus. Dalam Surat Edaran Nomor B/578/UN14.2.1.II/HK.03./2025 yang diedarkan per tanggal 18 Februari 2025, disampaikan bahwa seluruh kegiatan akademik dan non akademik di hari Senin hingga Jumat tidak diperbolehkan melebihi pukul 22.00 WITA dan kegiatan di hari Sabtu dan Minggu hanya diperbolehkan dengan izin tertulis dari pimpinan FIB Unud. Terlaksananya kebijakan baru tersebut menimbulkan keluh kesah di kalangan mahasiswa. Kurangnya koordinasi dan komunikasi terkait penerapan kebijakan baru menyebabkan beberapa mahasiswa merasakan ketidaknyamanan. “Kebijakan ini berlaku karena kesalahan dari pengamanan kampus sebenarnya, namun kenapa kami yang kena imbasnya. Masa kehilangan proyektor, kami yang harus menanggung,” tungkas Trika selaku Ketua Senat FIB. Peresmian kebijakan baru ini sebelumnya tidak melibatkan lembaga organisasi selaku perwakilan dari mahasiswa, berujung pada banyaknya mahasiswa yang kebingungan dan tidak mengetahui mengenai kebijakan baru tersebut. “Ini tidak ada dikomunikasikan sama sekali. Tidak ada dikomunikasikan, tidak dikoordinasikan sama sekali. Murni benar-benar tahu di lapangan itu ketika ada teman kami yang sedang berkegiatan di kampus dan langsung diusir,” ungkap Trika. Mahasiswa menghabiskan waktu dari pagi hingga sore mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas, sehingga waktu yang tersisa untuk menjalankan tugas di organisasi kemahasiswaan hanya ada pada malam hari. Kebijakan baru sedikit banyak menyebabkan kegiatan-kegiatan mahasiswa di luar akademik semakin terbatas. Karista, selaku Ketua Umum UKM SSS (Satyam Siwam Sundaram) 2025 mengungkapkan bahwa dengan adanya kebijakan baru, maka akan mengganggu kegiatan yang sedang berlangsung di UKM SSS, “Nah nanti kalau semisal kebijakan ini bakal terus diperpanjang, kemungkinan pasti bakal mengganggu aktivitas dari anggota SSS karena kita latihan tuh, pasti bakal ada latihan di hari Sabtu dan hari Minggu, seperti itu,” tungkasnya. Sebagai mahasiswa, mereka memanfaatkan hari Sabtu dan Minggu untuk mengambil kegiatan di luar akademik, dengan adanya kebijakan yang membatasi jam operasional di hari tersebut, tentunya muncul keresahan dalam menyusun agenda ke depannya. Dengan adanya kebijakan ini, Karista menanggapi bahwa keputusan tersebut mungkin akan meningkatkan keamanan, tetapi akan sangat berdampak pada kegiatan mahasiswa. Oleh karena itu, terdapat harapan agar dekanat dapat mengambil keputusan yang lebih fleksibel dengan mempertimbangkan jalan tengah. Selain itu, untuk meningkatkan keamanan dan mencegah kasus kehilangan yang pernah terjadi sebelumnya, alangkah baiknya jika pihak kampus memasang CCTV di beberapa titik strategis. Dengan langkah ini, diharapkan kebijakan dapat tetap menjaga keseimbangan antara keamanan dan aksesibilitas bagi mahasiswa.
Menanggapi hal tersebut, Dekan FIB menyoroti bahwa saat ini kampus FIB hanya memiliki dua orang security dan satu waker yang bertugas menjaga keamanan di area Kampus Nias. Namun, salah satu security mengalami kecelakaan sehingga jumlah personel yang aktif semakin berkurang. Dengan hanya satu security yang bertugas, pengawasan terhadap area kampus yang luas, termasuk parkir sayap barat dan timur menjadi kurang optimal. Namun, jika terdapat kebutuhan khusus untuk memperpanjang waktu kegiatan, mahasiswa dapat berkoordinasi dengan pihak fakultas melalui sub koordinator kemahasiswaan dan bagian umum. “Kami tidak serta-merta membatasi kegiatan mahasiswa. Jika memang ada kebutuhan untuk berkegiatan hingga larut malam, cukup berkoordinasi dengan pihak yang berwenang. Mahasiswa tidak perlu membuat surat resmi, cukup melalui komunikasi langsung agar kami dapat mengatur keamanan yang lebih baik,” tambahnya. Sejumlah mahasiswa mengapresiasi langkah-langkah yang diambil oleh pihak fakultas, terutama dalam hal transparansi kebijakan. Namun, beberapa mahasiswa juga menyampaikan harapan agar koordinasi antara pihak fakultas dan mahasiswa dapat lebih sistematis agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Keamanan Udayana
Masalah keamanan di Universitas Udayana bukanlah hal baru. Dari tahun ke tahun, kehilangan barang, terutama helm, terus terjadi tanpa adanya solusi konkret. Mahasiswa sudah sering mengeluhkan masalah ini, namun sistem keamanan kampus tetap belum mengalami perbaikan yang signifikan. Berdasarkan Laporan Kinerja Bulanan Keamanan Universitas Udayana, sepanjang awal tahun 2025 tercatat 81 kejadian terkait keamanan, dengan 69 diantaranya merupakan penemuan barang, 2 kasus kehilangan, dan 10 insiden lainnya seperti keributan serta kecelakaan di Kampus Denpasar dan Jimbaran. Mirisnya, kasus pencurian tidak hanya menargetkan barang pribadi mahasiswa, tetapi juga fasilitas kampus seperti hilangnya 2 proyektor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang mencerminkan lemahnya sistem keamanan kampus. Meskipun kampus telah dilengkapi dengan CCTV, nyatanya perangkat tersebut tidak berfungsi, sehingga tidak dapat membantu dalam mengidentifikasi pelaku.
Salah satu permasalahan mendasar adalah ketidakefektifan sistem pengamanan yang ada. Meskipun CCTV telah dipasang di beberapa area kampus, perangkat ini sering kali tidak berfungsi dengan baik dan gagal membantu dalam mengidentifikasi pelaku kejahatan. Trika, Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, menegaskan bahwa keberadaan CCTV seharusnya dapat membantu dalam pengungkapan kasus kehilangan, namun faktanya perangkat ini hanya menjadi pajangan tanpa perawatan yang memadai. Selain itu, jumlah tenaga keamanan di FIB sangat minim. Dari dua petugas keamanan yang seharusnya bertugas, hanya satu yang aktif setelah salah satu petugas mengalami kecelakaan. Situasi ini jelas tidak cukup untuk menjaga keamanan di area kampus yang luas dan memiliki banyak akses keluar-masuk. Keamanan juga diperburuk dengan kurangnya sistem pemeriksaan bagi orang luar yang masuk ke kampus, membuat siapa saja dapat keluar-masuk tanpa kontrol yang jelas. Dalam wawancara dengan salah satu satpam kampus, terungkap bahwa sistem penjagaan masih memiliki banyak keterbatasan, terutama dalam jumlah personel dan efektivitas pengawasan. Satpam bekerja dalam sistem shift yang mencakup pagi, sore, dan malam. Namun, terdapat kelemahan dalam sistem penjagaan malam, yang seharusnya dilakukan oleh waker. Sayangnya, kasus pencurian proyektor yang melibatkan waker justru menunjukkan bahwa sistem ini memiliki celah yang bisa dimanfaatkan oleh oknum tertentu. “Sekarang wakernya sudah dipecat lagi, ternyata dia yang ini (nyuri),” ungkap Pak Edi, selaku satpam yang bertugas di Kampus FIB Nias. Edi mengakui bahwa ketika kejadian berlangsung, pengawasan di area kampus sangat minim. “Pas mau kunci gerbang itu, ya, tidak ada siapa-siapa,” ujarnya. Hal ini menunjukkan bahwa sistem keamanan yang ada belum mampu sepenuhnya mengontrol lingkungan kampus, terutama di luar jam operasional akademik.
Selain lemahnya pengamanan internal, faktor eksternal juga memperburuk situasi keamanan di kampus. Mahasiswa menyoroti keberadaan individu luar yang masuk ke area kampus tanpa pengawasan yang ketat. Di FIB, misalnya, sering terlihat pedagang dan orang-orang yang tidak memiliki kepentingan akademik beraktivitas di dalam area kampus. Hal ini menimbulkan kekhawatiran, terutama mengingat minimnya pengamanan yang tersedia. Mahasiswa juga mempertanyakan mengapa akses keluar-masuk untuk pihak eksternal lebih longgar dibandingkan akses bagi mahasiswa. Rektorat Universitas Udayana sebenarnya telah menyadari masalah ini sejak lama, tetapi respons yang diberikan masih jauh dari memadai. Meskipun mahasiswa telah menyuarakan perlunya peningkatan fasilitas keamanan, seperti penambahan CCTV dan personel satpam, keterbatasan anggaran selalu dijadikan alasan utama. Padahal, dalam Temu Rektor dan Dialog Udayana pada November 2024, universitas telah berkomitmen untuk memperkuat sistem keamanan secara bertahap, termasuk pemasangan CCTV di lima titik di Sudirman serta pengalihan arus lalu lintas di kampus Jimbaran agar lebih steril dari akses masyarakat umum. Koordinator Tata Usaha, Rumah Tangga, Hukum, dan Tata Laksana Biro Umum Universitas Udayana, I Wayan Gayun Widharma menegaskan bahwa universitas telah mengajukan permintaan peningkatan jumlah satpam dan CCTV, tetapi hingga saat ini, permintaan tersebut belum dapat direalisasikan. “Kami akan dengan senang hati jika satpamnya banyak, CCTV-nya banyak. Namun, kalau belum memadai seperti sekarang, pasti ada alasannya. Alasannya adalah anggaran,” ujarnya. Ia juga menjelaskan bahwa keamanan kampus baru bisa optimal jika ditunjang oleh sistem yang terintegrasi. “Keamanan itu bisa tercapai jika kondisinya ideal. Yang pertama, ada sistem keamanan yang memang bagus, gedung menjadi satu kesatuan, alur kendaraan tertata, dan CCTV terpasang dengan baik. Jika semua ini sudah menjadi satu rangkaian sistem, keamanannya pasti bisa lebih maksimal.” Selain itu, pihak universitas mengaku terbuka terhadap masukan dari mahasiswa, dosen, serta pegawai terkait perbaikan sistem keamanan. “Kami sangat terbuka dengan masukan dari mahasiswa, dosen, pegawai, maupun keluhan lainnya. Kami juga berharap, melalui Pers Mahasiswa, kesadaran mahasiswa untuk menjaga keamanan kampus bisa semakin meningkat. Kita tahu banyak kehilangan helm, jadi alangkah baiknya jika mahasiswa juga turut menjaga barang pribadi mereka, misalnya dengan menyimpan kunci di tempat yang lebih aman. Dengan begitu, kita bisa melihat apakah ada penurunan tingkat kejahatan.” Meskipun keterbatasan anggaran dan sarana prasarana menjadi tantangan, ia menegaskan bahwa hal tersebut tidak mengurangi kinerja satpam dalam menjalankan tugasnya sesuai kapasitas yang ada.
Hilangnya barang mahasiswa, lemahnya pengawasan, serta kebijakan yang justru membatasi mahasiswa tanpa adanya perbaikan sistem pengamanan yang signifikan menunjukkan bahwa masalah ini bukan sekadar insiden, melainkan persoalan struktural yang belum terselesaikan. Mahasiswa menginginkan perubahan nyata, bukan sekadar wacana atau kebijakan reaktif yang tidak menyentuh akar masalah. “Kami sebagai mahasiswa juga tetap memiliki kegiatan di hari Sabtu dan Minggu. Harapannya, pihak dekanat bisa mengambil keputusan yang lebih bijak dan mencari jalan tengah. Aku berharap kebijakan penguncian gerbang di akhir pekan tidak dilanjutkan. Mungkin bisa diatur dengan batas jam malam, agar kegiatan di lingkungan LKFIB tetap bisa berjalan,” ujar Karista, Ketua UKM SSS. Permasalahan ini semakin menguatkan urgensi penambahan tenaga keamanan, perbaikan infrastruktur pengawasan seperti CCTV, serta sistem kontrol akses yang lebih ketat. Jika langkah konkret tidak segera diambil, bukan hanya permasalahan ini yang akan terus berulang, tetapi juga kepercayaan mahasiswa terhadap institusi yang seharusnya melindungi mereka bisa semakin menurun. Universitas Udayana perlu berbenah, bukan sekadar menjanjikan perubahan, tetapi memastikan keamanan sebagai prioritas utama.
Reporter: Anandia, Thiwi, Christin, Gita, Risty, Santika, Cinta
Penulis: Risty, Cinta dan Anandia
Penyunting: Putri Wara