Melihat Keberanian dari Kacamata Pramoedya Ananta Toer

Penjara bukanlah penghalang bagi kebebasan pikirannya. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang berhasil merangkai karya monumental Tetralogi Pulau Buru. Sebuah mahakarya yang lahir dari balik penjara dan keterasingan. Karyanya bergema ke seluruh negeri, bagai api yang menyalakan kembali sejarah yang terabaikan.
Dia yang Menulis dari Balik Penjara.
Blora, 6 Februari 1925. Seorang anak laki-laki lahir dari pasangan Mastoer dan Oemi Saidah. Kelak, dunia mengenalnya sebagai Pramoedya Ananta Toer.
Masa kecilnya tidak mudah. Tiga kali tidak naik kelas, kehilangan ibu di usia 17, dan terpaksa mengurus adik-adiknya saat sang ayah tenggelam dalam perjudian. Sosok Pramoedya muda juga kerap menerima ejekan dari teman-temannya. Namun, berkat didikan orang tuanya, Pram tidak malu untuk bekerja. Dari menggembala kambing, hingga berjualan dengan ibunya, semua itu dilakukan dengan keberanian. Seperti yang pernah diceritakan oleh dirinya lewat suatu wawancara, “Yang harus malu itu mereka, karena mereka takut pada kerja.”
Mencoba peruntungan yang lebih baik, lelaki yang akrab disapa Pram itu kemudian merantau ke Jakarta untuk bekerja di Kantor Berita Domei. Meski demikian, Pram muda tidak meninggalkan pendidikannya. Pram menyelesaikan pendidikan di Sekolah Taman Siswa (1942-1943) dan Sekolah Tinggi Islam (1945). Setelah lulus, Pram muda bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 1946.
Bergabung dengan militer membuatnya semakin merasakan kekerasan dan pergulatan rakyat selama masa perang. Pengalamannya itu kemudian memotivasinya untuk menulis. Saat Belanda kembali (1947), Pram ditangkap karena menyimpan dokumen gerakan bawah tanah.
Menulis dari balik jeruji besi tentunya bukan perkara yang mudah. Pada masa awal-awal ditahan Pram menghadapi depresi yang berat. Dalam dinginnya lantai penjara, niat bunuh diri juga sempat menghampiri Pram. Ketika di penjara Belanda, Pram dan para tahanan lainnya harus melakukan serangkaian kerja paksa. Namun, Pram menolak melakukannya, sehingga laki-laki itu dikurung dalam penjara yang diasapi bau got. Dalam keadaan yang putus asa, Pram mengumpulkan keberaniannya sehingga ia mulai terbiasa. Apalagi setelah dijumpainya bahwa penjara menyuguhkan perpustakaan dan alat tulis yang lengkap. Kemudian di Penjara Bukit Duri itu lahirlah kisah “Perburuan” dan “Keluarga Gerilya”.
Cerita dari Pulau Buru.
Penjara dan Pramoedya seperti dua hal yang tidak terpisahkan. Tak cukup pada masa kolonial dan pasca kemerdekaan, jeruji besi kembali memanggilnya. Pram menjadi salah satu sasaran penangkapan Orde Baru karena dianggap berafiliasi dengan PKI. Dua minggu setelah tragedi G30S, Pram diseret paksa dari kediamannya di Rawamangun. Ia dipukuli menggunakan popor senapan hingga mengakibatkan cedera di bagian kepala.
Tanpa proses peradilan, Pram dipenjara dan diasingkan berulang kali. Dari Penjara Tangerang, Nusakambangan, hingga ke Pulau Buru. Hampir separuh masa muda Pram dihabiskan di penjara.
Serangkaian peristiwa berat nyatanya membentuk empati yang dalam bagi sosok Pram. Pulau Buru bukan sekadar tempat pengasingan, melainkan ladang siksaan yang disamarkan sebagai kamp kerja paksa. Hutan lebat mengelilingi mereka, dan lapar adalah teman sehari-hari. Di sini, manusia diuji batas hidupnya. Pram melihat sendiri bagaimana kawan-kawannya, yang datang dengan tubuh utuh, perlahan merosot menjadi tulang dan kulit. Sakit Kuning merajalela. Mereka yang tak kuat, tumbang satu per satu.
Makanan adalah kemewahan yang tak selalu datang. Saat nasi dan lauk tak kunjung tiba, mereka berburu kodok, ular, atau apapun yang bisa mengisi perut. Tak peduli amis atau kotor, semuanya ditelan agar tetap hidup. Berada dalam suatu hidup yang tidak beradab, Pram belajar mematikan harapan, yang ingin ia lihat hanyalah akhir. Akhir dari semua penyiksaan.
Setelah malam-malam panjang, baru pada 1973, Pram kembali menyalurkan kreativitasnya. Menggunakan mesin ketik tua dan alat-alat yang terbatas tidak menghalanginya membangun kembali ingatan sejarah.
Pram menolak tunduk. Tangannya memang tidak lagi bisa menggenggam senjata, tapi pikirannya tetap menulis. Dalam ingatannya, ia merajut kisah yang kelak mengguncang dunia. Karena baginya, kata-kata adalah senjatanya, satu-satunya kebebasan yang tak bisa direnggut.
Selama masa-masa kelam itu, dari tangisan yang disaksikan di jalanan, penyiksaan kepada kaum perempuan, kepada minoritas, dan ketidakadilan yang dialami rakyat maka lahirlah karya besar “Tetralogi Pulau Buru” yang mengguncang dunia. Awalnya, ia hanya mendongeng kepada sesama tahanan, kisah-kisah yang ia susun dalam kepala, seperti peta rahasia yang membimbingnya keluar dari keterasingan. Dan disitulah lahir kisah Minke, tokoh dalam Bumi Manusia, seorang pemuda bumiputra yang menolak tunduk. Dalam penderitaan, ia menyalakan kembali api perlawanan.
Lewat karyanya Pram membangun kesadaran akan sejarah yang tidak boleh dilupakan. “Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan segala persoalannya.” (Tokoh Minke dalam Bumi Manusia).
Harapan Untuk Berani.
Pram menggarisbawahi bahwa keberhasilannya adalah ketika yang membaca karyanya menjadi berani dan mendapatkan kekuatan dari yang telah mereka baca. Seperti yang pernah diutarakan dalam sebuah wawancara, “Saya mengharapkan, apa yang dibaca dari tulisan saya. Itu memberikan kekuatan pada pembaca saya. Memberikan kekuatan untuk tetap berpihak pada yang benar, pada yang adil, pada yang indah.”
Sepuluh tahun mendekam dalam penjara Pulau Buru dengan berbagai siksaan hidup, semua itu terbayar lewat kehormatan yang ia raih sekarang. Pram telah melahirkan lebih dari 50 karya dalam hidupnya. Berbagai penghargaan juga telah diraihnya. Sosoknya tak hanya dikenal oleh bangsanya, tetapi juga dunia. Karyanya berlomba-lomba diterjemahkan ke berbagai bahasa, menunjukkan betapa karyanya pantas dihargai.
30 April 2006, dunia sastra berduka atas kepergiannya. Ia mungkin telah tiada, tetapi suaranya akan selalu abadi. Seperti yang pernah diutarakannya, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Karya-karya Pramoedya Ananta Toer adalah harta karun yang harus terus dilestarikan. Buku-bukunya penting bagi peradaban karena di sana perjuangan orang-orang yang disepelekan oleh sejarah tidak dibungkam, sebab di sana ada keberanian yang harus diperjuangkan.
Penulis: Gita Andari
Penyuntin: Dayu Wida