Kamis (27/3), Gedung Teater Fakultas Kedokteran Unud menjadi saksi sejarah peluncuran buku pendiri museum Agung Rai Museum of Art (ARMA). Mahasiswa, seniman, budayawan, dan pimpinan kampus, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia turut meramaikan acara ini.
“Kok acaranya belum mulai juga sih,” keluh beberapa mahasiswa tuan rumah Universitas Udayana sambil memainkan gadgetnya masing-masing. Sejak jam 3 sore waktu Indonesia tengah para hadirin sudah banyak yang menunggu di dalam Gedung Teater Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (FK UNUD). Tujuannya tentu saja untuk menyaksikan peluncuran buku yang berjudul Gung Rai: Kisah Sebuah Museum. Nyatanya, jam 5 sore acara yang sesungguhnya baru dimulai. Ir. Jero Wacik, SE memasuki ruangan bersama para ajudannya didampingi oleh Anak Agung Gede Rai selaku orang yang diangkat pada buku biografinya. Langsung saja Frischa Aswarini sebagai pembawa acara menyambut para undangan seusai band penghibur selesai melantunkan lagu-lagunya.
Secara bergiliran perwakilan mahasiswa dari Stikom, ISI, Alfa Prima, Stiki, IHDN dan UNUD disebut satu-persatu oleh Frischa. Menurut Vanesa Martida, ketua UKM Udayana Sience Club (USC), acara ini bertujuan untuk mengajak generasi muda lebih dekat dengan budaya. Acara peluncuran buku Gung Rai: Kisah Sebuah Museum ini bisa terselenggara karena kerjasama dengan museum ARMA. “Founder Museum ARMA sepertinya bersahabat dengan Pak Menteri, makannya beliau bisa hadir,” jelas Vanesa tentang kehadiran Jero Wacik.
Berbicara tentang peran dari Jero Wacik sendiri, dalam acara ini tiada lain adalah untuk memberikan sepatah dua patah kata kepada saudaranya. Menurut Jero Wacik, semua orang di dunia ini bersaudara. Jadi wajar saja Jero Wacik yang merupakan Menteri ESDM RI memberikan testimoninya terhadap peluncuran buku Gung Rai dengan penuh semangat.
Tangan yang mengepal dan sorot matanya yang tajam menegaskan keseriusannya dalam menceritakan sedikit pengalamannya saat mewakili Indonesia pada pertemuan menteri kebudayaan di Prancis beberapa tahun silam. Sambil diiringi sedikit candaan, ada satu kalimat yang mempertegas alasan kenapa dirinya dan Agung Rai bisa menjadi diri mereka seperti saat ini. “Orang Bali harus percaya diri,” ujarnya saat memberikan testimoninya. Dengan menjadikan dirinya dan Gung Rai sebagai contoh orang miskin Bali yang kini sukses, ia berharap agar generasi penerus Bali tidak ada lagi yang menjelek-jelekkan tanah kelahirannya sendiri.
Diakhir testimoninya tidak lupa Jero Wacik menyisipkan sedikit saran kepada Rektor Unud untuk memberi perhatian yang lebih besar kepada seni dan budaya.“Untuk Universitas Udayana karena berada di Bali yang kental akan kebudayaannya, maka perhatian pada kebudayaan harus lebih tinggi. Memang societynya sudah hidup. Tanpa harus didukung oleh universitas juga mereka sudah hidup, tapi perlu diapresiasi. Perhatiannya harus diberikan lebih banyak dan sering diberikan award. Yang penting Unud itu mendorong karena societynya sudah hidup,” tegas Pak Jero Wacik saat diwawancara.
Umumnya keseluruhan acara berjalan alot diawali dengan sambutan dari Gung Rai yang ditulis di buku biografinya. Berikutnya acara dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter tentang museum Arma dengan menampilkan surat sambutan berupa slide power point dari penerbit Gramedia yang berhalangan hadir dan lain sebagainya. Ucapan selamat dari berbagai pihak juga turut menyertai acara ini. Beberapa diantaranya yakni ucapan dari sang penulis yang juga merupakan budayawan dari Prancis, Jean Couteau serta Rektor UNUD, Prof.Dr.dr.Ketut Suastika,Sp.PD-KEMD .
Menjelang akhir acara, Warih Wisatsana yang juga berperan sebagai penulis buku biografi Gung Rai sempat menjadi moderator dari empat narasumber termasuk dirinya yang nyatanya sudah menyampaikan testimoninya diawal acara seperti Putu Suasta, Jean Couteau dan Prof. Dr. I Wayan P.Windia, SH. M.SI.
“Pak Agung Rai bukan hanya momentum dan monumen tapi juga museum hidup yang terbuka untuk kita kunjungi bersama. Jadi tidak cukup hanya membaca buku, tapi mari kita datang ke museumnya untuk senantiasa berbagi. Kiranya pertemuan itu kita akhiri dengan suasana seperti ini karena kita yakin esok kita bisa menjadi lebih baik karena ada ketulusan, kepolosan dan persahabatan. Begitulah pusaka dari Pak Gung Rai. Terima kasih. Om Santih, Santih, Santih, Om,” simpul Warih mengakhiri acara peluncuran buku Gung Rai: Kisah Sebuah Museum. (Bagus)