Pulau Bali yang dikenal akan keindahan alam dan budaya agrarisnya, sebuah transformasi sedang berlangsung. Lahan pertanian hijau kini berganti dengan hamparan fondasi berhiaskan tembok-tembok villa yang menjulang. Pergeseran ini bukan hanya sekadar perubahan lanskap, melainkan juga mencerminkan tantangan mendalam yang dihadapi oleh masyarakat lokal. Namun, sampai sekarang beberapa petani masih berjuang mempertahankan warisan leluhur mereka. Apa yang menyisakan jejak dalam setiap butir tanah yang tersisa, dan bagaimana nasib budaya agraris yang telah berakar kuat di Bali?
Pengantar
Bali dan pertanian merupakan dua hal tidak terpisahkan. Mayoritas ruang lingkup masyarakat Bali berada di sektor agraris. Dilansir dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali sebanyak 488.229 dari 2.617.816 penduduk menempuh tenaga Usaha Pertanian, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan. Sektor tersebut menempati urutan ketiga sebagai mata pencaharian yang diemban penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di Bali. Kendati demikian, perkembangan zaman menyebabkan sektor pertanian perlahan mulai ditinggalkan. Termuat dalam Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2023 – Tahap I Provinsi Bali, jumlah usaha pertanian di tahun 2023 menurun sebesar 28,40% dari tahun 2013. Dibandingkan jumlah usaha pertanian di tahun 2013 yang mencapai 516.366 unit, jumlah usaha pertanian di tahun 2023 hanya sebanyak 369.717 unit. Lebih detail, usaha pertanian di subsektor tanaman pangan berjumlah 144.420 unit. Melihat realita tersebut, sektor pertanian – terkhusus subsektor tanaman pangan akan terus berkurang tiap tahunnya. Kekhawatiran akan keberlanjutan sektor pertanian pun muncul di tengah hiruk pikuk perkembangan berbagai sektor lain di Bali.
Penurunan jumlah lahan pertanian bersamaan dengan penurunan jumlah petani menjadi pengaruh besar dalam perubahan sektor pertanian di Bali. Mengerucut di Kabupaten Badung, salah satu faktor terjadinya penurunan adalah pengalihan fungsi lahan. Terhitung dari tahun 2018 hingga tahun 2023 sebanyak 1099,67 Ha luasan sawah di Kabupaten Badung berkurang. Hal ini tidak terlepas dari daerah-daerah sekitar pusat pariwisata, salah satunya adalah desa Buduk. Hamparan sawah hijau berganti menjadi beton dengan bangunan dengan bentuk penuh estetika. banyak Petani kian perlahan mulai beralih profesi. Letak geografis Desa Buduk yang berada dekat dengan Canggu dan Pererenan, daerah trend pariwisata Bali sekarang, menyebabkan desa ini merasakan langsung impaknya. Masifnya demand dan peluang untuk mendirikan akomodasi pariwisata menjadikan banyak masyarakat memilih untuk menjual ataupun mengontrakkan lahan persawahan miliknya untuk dijadikan villa.
Kondisi Pertanian Desa Buduk di Masa Kini
Perbekel Desa Buduk, I Ketut Wira Adi Atmaja, mengaku bahwasannya pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi pendukung perekonomian masyarakat serta menjadi tombak ketahanan pangan di Desa Buduk. Wilayah pertanian Desa Buduk sendiri terbagi ke dalam 4 subak, Subak Abianbase, Subak Ayung, Subak Legena, dan Subak Bernasi. Pembagian wilayah subak ini ditentukan mengikuti jalur air dari sumber air yang ada. Kini menengok realita, subak dengan luasan lahan berhektar-hektar perlahan semakin menyusut. Perkembangan yang terjadi di berbagai lini kehidupan masyarakat menjadi kunci penyebab.
Tak berhenti disitu, Ketut Wira juga membenarkan bahwasannya jumlah petani di desa Buduk juga semakin berkurang. Sebagian besar memilih beralih karena merasa penghasilan dari sektor pertanian dianggap tidak sebanding dengan modal dan usaha yang dikeluarkan. “Karena hasilnya tidak ada. Tidak banyaklah. Paling cukup untuk dimakan. Dan kebutuhan orang begitu banyak. Kebutuhan hidup. Anak mau sekolah. Mungkin ada upacara adat. Memperbaiki rumah. Dan sebagainya.” Ujar I Made Rai Mukiyatnya, salah satu petani di desa Buduk yang mengontrakkan sebagian lahannya kepada warga negara asing.
Pemerintah desa Buduk sendiri telah mengupayakan pemberian subsidi kepada para petani. Namun, subsidi tersebut masih belum bisa menjadikan petani mendapatkan hasil yang maksimal. Para petani juga merasa kurang didukung oleh berbagai komponen, lantaran setiap kali harga beras naik, hampir semua orang akan melakukan unjuk rasa. Sementara para petani yang dipandang sebagai ‘orang kecil’ tidak mendapatkan kesempatan setiap kali harga pupuk maupun obat tanaman naik. Para petani yang masih aktif mengelola sawah mulai merasa kegiatan pertanian cukup menguras tenaga dan cukup melelahkan bagi mereka yang sudah lanjut usia. Para generasi muda seolah menjadikan sektor pertanian sebagai opsi terakhir mata pencaharian yang akan ditempuh. Termuat dalam Rencana Kerja Dinas Pertanian dan Pangan, Kabupaten Badung bahwasannya rata-rata usia petani sawah diatas 50 tahun yang sudah memasuki usia kurang produktif. Sejalan dengan itu, Perbekel Ketut Wira menerangkan “Anak-anak muda juga kan banyak yang nggak tertarik dengan pertanian kan jadinya anak-anak muda itu ada kerja di pariwisata, ada yang di kantoran, kan gitu.”
Faktor Terjadinya Pola Pergeseran Agraris Ke Industri Pariwisata
(Pembangunan Vila di Persawahan Subak Legena, Buduk)
Sebagai salah satu desa yang terletak di Kabupaten Badung, desa Buduk juga menjadi salah satu tempat berkembangnya sektor pariwisata. Jarak yang dekat dengan Canggu dan Pererenan yang ramai dan kian padat akan turis menyebabkan investor melihat desa Buduk sebagai tempat strategis untuk mendirikan akomodasi wisata, seperti villa. Impak langsung ditunjukkan melalui banyaknya masyarakat desa Buduk yang mengontrakkan lahan sawah mereka untuk dijadikan villa. Hal ini dapat terjadi oleh karena beragam faktor, antara lain:
1. Kebutuhan hidup dan keluarga
Melihat masyarakat desa Buduk yang banyak menjadi petani mengakibatkan sektor pertanian, khususnya persawahan, menjadi ruang hidup masyarakat dalam beraktivitas setiap harinya. Tidak sedikit masyarakat yang memiliki sawah memilih untuk mengontrakkan tanah sawah mereka untuk didirikan villa karena kebutuhan hidup, seperti untuk membayar hutang, membiayai sekolah anak, hingga memperbaiki rumah. Di sisi lain, tidak semua tanah sawah di desa Buduk milik perorangan, melainkan milik keluarga. Layaknya Ni Made Suryani, seorang pemilik warung sembako di desa Buduk yang keluarga besarnya memiliki sawah di kawasan Subak Legana. Suryani menyampaikan bahwa sawah tersebut dibagi bersama 4 orang saudaranya yang lain dan kini sawah tersebut sudah dikontrakkan untuk dijadikan villa.
“Menurut ibu pribadi, sebenarnya ibu ga kepingin adanya yang kontrak-kontrakkan karena ibu tu (ingin) dijadikan tetap pertanian. Tapi kita bersaudara kan lima. Walaupun daya pikir kita satu, tapi kan kalah dengan yang empat ini. Nah akhirnya, punya ibu sedikit, akhirnya itu dah juga. Dikontrakkan,” tutur Suryani.
Lebih lanjut, Suryani menjelaskan bahwa meskipun sudah dijadikan villa, pembangunan tersebut tetap menyisakan lahan kosong yang tidak dibangun. “Tapi ada juga lahan yang masih kosong dikit kemarin. Karena katanya itu jalur hijau, belum bisa dikontrakkan. Tapi sedikit. Itu juga ibu kena itu, tapi kayak seperti kata-kata ibu, dominan yang empat, yang satu apa kan. Kalah juga ibu.”
2. Tanah sawah sudah tidak produktif
Mayoritas petani di desa Buduk menanami sawahnya dengan padi. Meskipun demikian, tak semua tanah sawah yang ada dapat ditanami dengan padi, tergantung jenis tanahnya. Seperti I Made Deddy, yang dulunya berprofesi sebagai petani padi, sekarang telah mengontrakkan tanah sawahnya menjadi villa. Alasan Deddy mengontrakkan tanah sawahnya karena tanah sawahnya sudah tidak produktif. Ia sudah berkali-kali mencoba selama beberapa tahun, terus mengupayakan agar tanah sawahnya bisa menghasilkan, tetapi hasilnya nihil. “Jadi penghasilan tanah tersebut sudah berkali-kali kita coba untuk menanggulangi dari segi kualitas, pemupukan dan segala macem, penanaman untuk bercocok tanam juga disitu karena sudah berkali-kali berulang-ulang kita coba, juga penghasilannya tidak mumpuni,” ujarnya.
Deddy menambahkan bahwa meskipun sudah mengupayakan berbagai cara, tanah sawahnya yang kini sudah dikontrakkan menjadi villa sudah menjadi seperti tanah liat sehingga sudah tidak ada harapan lagi. “Saya sudah melakukan survey dari pupuk kandang, tanah, semuanya sudah untuk membangun bagaimana tanah itu bisa bagus. Makanya dulu berapa juta ya untuk survey itu aja. Sampai akar-akaran dari tumbuhan yang bisa membuat tanah itu menjadi gembur lagi. Kayaknya itu kayak tanah liat gitu lho. Tanah yang diatas itu kayak tanah liat. Ada pasirnya, tapi kalo kering, kering dia. Tapi kalo basah, sedikit aja basah kayak luber,” jelas Deddy.
3. Terdesaknya sawah oleh bangunan di sekeliling
Tren mengontrakkan sawah untuk dijadikan bangunan yang muncul sejak beberapa tahun belakangan dan berdampak pada persawahan yang masih bertahan di sekitarnya. Hal ini mengakibatkan produktivitas dari sawah-sawah tersebut mulai menurun sehingga para petani yang merasakan dampak tersebut memilih untuk mengontrakkan lahan persawahannya karena dirasa lebih menghasilkan.
Seperti yang dirasakan oleh salah satu petani yang memilih mengontrakkan sebagian lahannya menjadi villa sejak 5 tahun yang lalu, I Made Rai Mukiatna. “Nike mungkin faktornya berbeda-beda setiap orangnya, nggih. Tiang sendiri, karena tetangga nike di sebelah sudah habis. Artinya kalau tiang yang bertani, sampun kejepit. Karena yang di depannya sudah dikontrakkan, otomatis sumber air itu terganggu.” jelas Mukiatna mengenai faktor penyebab yang dirasakannya sehingga memilih untuk mengontrakkan lahan sawahnya.
(Kawasan Pembangunan Vila di Depan Kawasan Persawahan)
4. Biaya pengolahan tanah pertanian yang tidak murah
Menggarap tanah sawah memerlukan biaya, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit. Melihat hal ini, Perbekel Desa Buduk, I Ketut Wira Adi Atmaja, menerangkan bahwasanya dari pihak desa mendukung para petani, salah satunya dengan pemberian bantuan-bantuan untuk sedikit-tidaknya bisa meringankan para petani di desa Buduk. “Kalau lihat dari APBD sebelum-sebelumnya nike kan sangat banyak sekali terutama kan untuk, apa namanya, untuk bantuan perbaikan irigasi, terus bantuan ke pupuk, apa namanya lagi bibit juga sudah saya bantu, jalan usaha tani sudah di garap. Jalur tracking itu,” ucap Atmaja.
Meskipun demikian, bantuan tersebut nyatanya tidaklah cukup untuk menutupi semua kebutuhan yang diperlukan. “Ya, sebenarnya sangat membantu. Tetapi tidak bisa menutupi kecukupan lah. Tidak bisa menutupi itu,” ujar Mukiatna. Lebih lanjut, para petani di desa Buduk sendiri mayoritas berusia 65 tahun ke atas. Ketika pekerjaan terasa cukup berat, mereka biasanya akan mencari petani garap atau tenaga harian untuk menggantikan mereka. “Kalau diitung-itung per arenya, kalau semua pakai tenaga, tenaga harian, 100 ribu per are,” tutur I Nyoman Subagia, Pekaseh Subak Ayung.
5. Generasi muda tidak mau meneruskan sebagai petani
Menurunnya jumlah petani juga terjadi akibat sedikitnya generasi muda yang mau meneruskan bertani. Terlebih, mayoritas orang tua yang berprofesi sebagai petani kerap mengatakan kepada anak-anak mereka agar giat belajar supaya sukses, dalam artian supaya tidak menjadi petani seperti mereka. Stigma tersebut juga menjadi salah satu alasan mengapa banyak anak muda yang enggan menjadi petani. “Pernah gak dikasi saran sama orang tua kamu, sekolah yang tinggi, terus biar tidak hidup seperti bapak ibu lagi, kan. Nah seperti itu salah satu juga yang membuat generasi muda enggan turun ke petani,” jelas I Made Sarjana, dosen yang aktif menyuarakan agrowisata, kolaborasi antara pertanian dengan pariwisata.
Dengan diperolehnya doktrin tersebut, anak muda sekarang bahkan enggan hanya untuk sekedar main ke sawah. “Dan yang tidak kalah pentingnya, untuk generasi kedepannya, anak-anak tidak ada yang mau bertani. Tiang sendiri punya anak. Punya anak, kuliah masih, yang cowok di Undiknas. Kadang-kadang orin tiang ngaba nasi ka carik, nggih, untuk tiang begitu, tidak mau.” tutur Mukiatna.
Regulasi Mengenai Alih Fungsi Lahan Pertanian
Dalam Undang-Undang RI No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian pangan Berkelanjutan, disebutkan bahwa Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan produk bagi kemandirian ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Dalam hal ini, lahan pertanian tersebut merupakan lahan yang dilindungi sehingga tidak diperkenankan untuk membangun bangunan di atasnya. Pemerintah kabupaten Badung telah menyusun regulasi mengenai lahan pertanian. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Larangan Mendirikan Bangun-bangunan pada Daerah Jalur Hijau di Kabupaten Tingkat II Badung Pasal 1 huruf f menegaskan bahwa Jalur Hijau adalah suatu garis hamparan tanah yang luas dan menghijau yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sebagai Daerah yang tidak boleh dibangun. Kemudian dalam Pasal 13 ayat (1) diatur lebih lanjut bahwa Dilarang mendirikan Bangun-Bangunan, baik yang permanen maupun yang tidak permanen, yang tidak sesuai dengan fungsinya atau kepentingan tanah yang bersangkutan pada daerah yang ditetapkan sebagai Daerah Jalur Hijau kecuali kegiatan pembangunan yang bersifat kepentingan umum dan kegiatan pembangunan baru dapat dilaksanakan setelah mendapat izin Bupati Kepala Daerah. Dalam Perda tersebut juga diatur mengenai sanksi yang dapat kepada para pelanggarnya yaitu berupa sanksi peringatan hingga pada akhirnya bermuara pada sanksi pembongkaran bangunan secara paksa. Jalur hijau yang dimaksudkan pada Perda Kabupaten Badung No. 3 Tahun 1992 diperuntukkan bagi tanah-tanah daerah persawahan yang tersebar di beberapa titik wilayah kabupaten badung. Selain itu, pemerintah kabupaten Badung juga mengeluarkan Perda Kabupaten Badung Nomor 8 tahun 2019 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang kemudian diubah dengan Perda Kabupaten Badung Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2019 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagai salah satu upaya dalam rangka menguatkan perlindungan lahan pertanian pangan akibat alih fungsi lahan pertanian serta meningkatkan kemandirian pangan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Setelah terbitnya Perda Kabupaten Badung Nomor 13 Tahun 2022, kemudian disusul dengan dibentuknya Keputusan Bupati Badung Nomor 382/048/HK/2022 tentang Penetapan Peta dan Sebaran LP2B. Diterbitkannya Keputusan Bupati Badung Nomor 382/048/HK/2022 merupakan salah satu upaya pemerintah kabupaten badung dalam menekan alih fungsi lahan.
Dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang, di dalamnya mengatur mengenai pola ruang. Pola ruang merupakan peruntukan ruang dalam suatu wilayah. Pada Pasal 12 ayat (3) diatur bahwa Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c meliputi:
- kawasan lindung; dan
- kawasan budi daya.
Kawasan lindung merupakan adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sedangkan Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Dalam hal ini, pertanian merupakan salah satu bentuk dari kawasan budidaya, termasuk juga perumahan, perdagangan, serta daerah pariwisata.
Dalam wawancara yang dilakukan kepada Kepala Bidang Tata Ruang pada dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Badung, Ibu Ir. Larasati Adnyana, ST., M.Si dijelaskan bahwa dalam penentuan subzona suatu wilayah dapat berubah melalui revisi rencana tata ruang. “Aturannya pada saat kita penyusunan rencana tata ruang memang sudah di plot dulu karena di tata ruang itu ada dua yaitu kawasannya lindung dan kawasan budidaya. Kebetulan yang pertanian ini masuknya ke kawasan budidaya, di dalamnya termasuk perumahan, perdagangan, jadi mungkin kodenya kalau warnanya kuning itu perumahan, kemudian yang pink itu pariwisata, jadi termasuk ke dalam nomenklatur budidaya. Kalau yang dilindungi itu ya hutan lindung, kemudian badan air, dan sempadan itu masuk kawasan lindung. Untuk menyusun rencana tata ruang biasanya kita plot dulu yang kawasan lindung, jadi sudah pasti yang dilindungi dulu kita plot, sisanya baru masuk budidaya dan budidaya diawali pertanian terlebih dahulu. Sekarang kan ada namanya Lahan Sawah Dilindungi atau LSD, jadi yang LSD itu yang harus dulu masuk sebagai muatan, jadi plot dulu di mana tempatnya sawah-sawah tadi, kemudian LSD itu baru sisanya disesuaikan dengan rencana tata ruang yang sudah pernah diatur di atas. Jadi kita di RDTR hanya menurunkan menjadi lebih detail kalau dulunya kawasan permukiman perkotaan menjadi perumahan kepadatan, sedang kepadatan tinggi di RDTR. Nah baru boleh itu dia jadi kuning boleh dari yang kuning juga menjadi kuning. Nah kalau yang dari hijau-hijau tadi kalau secara teknis memang sudah tidak bisa dipertahankan, kemudian ada rekomendasi bahwa dia sudah keluar dari lahan sawah yang dilindungi, kemudian memang kepentingannya adalah untuk pengembangan perumahan, atau pengembangan pariwisata itu memang mekanismenya melalui revisi rencana tata ruang. Jadi memang akan ada perubahan luasan pengurangan pertanian pada saat revisi balik lagi ke tadi misalnya sudah masif di tempat yang hijau itu masif sekali pembangunannya, dan sudah pernah kita lakukan teguran jadi sudah ada pernah kena sanksi itu tidak pemutihan, itu dalam revisi rencana tata ruang sebagai substansi untuk untuk dilakukan penyesuaian pola ruang,” ujarnya.
Di desa Buduk sendiri, terdapat awig awig (aturan desa adat) yang mengatur mengenai bangunan. Hal ini dituliskan pada Pawos 72 angka 1 mengenai bagaimana sebuah bangunan seharusnya didirikan. Yang pertama, bangunan seharusnya mempergunakan Asta Bumi dan aturan Asta Kosala-Kosali, setidak-tidaknya dengan aturan niskala. Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali (Suryawan, 2019) yang berisi tentang tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal dan bangunan tempat suci yang ada di Bali, sedangkan Asta Bumi berisi tentang luas halaman pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih yang ada di pura. Kedua, bangunan seharusnya tidak boleh melewati pekarangan, apalagi mengenai pekarangan orang lain. Ketiga, bangunan seharusnya memberikan jarak dari batis setidak-tidaknya satu meter, kalau bersebelahan dengan pura sekurang-kurangnya tiga meter. Menilik dari aturan tersebut, terdapat beberapa bangunan, terkhususnya villa, yang melanggar poin-poin tersebut.
Terlebih pembangunan di wilayah sawah juga diatur dalam awig-awig subak, salah satunya yaitu awig-awig subak Ayung yang notabenenya masuk ke wilayah desa Buduk. Dalam pawos 24 nomor 1, disebutkan bahwa tanaman atau bangunan di sawah tidak boleh melampaui batas hak milik atau menjadi penghalang sinar matahari bagi sawah di sebelahnya. Dilanjutkan di nomor 2, seandainya ada yang melanggar ketentuan nomor 1, yang menghalangi (baik tanaman maupun bangunan) wajib dipotong dan dibuatkan waterpass oleh pemilik atau warga subak. Meninjau hal tersebut, ketika terdapat bangunan yang dibangun di atas sawah hingga sampai menutupi sinar matahari bagi sawah di sekitarnya, bangunan tersebut mestinya sudah melanggar awig-awig yang berlaku dan seharusnya dikenakan sanksi. Meskipun demikian, hal ini malah berujung kepada sawah di sekitar bangunan tersebut yang lambat laun akan dialihfungsikan juga menjadi bangunan, baik karena tidak dapat sinar matahari hingga kesulitan mendapatkan air yang berimpak pada produktivitas tanah salah satunya seperti alasan Mukiatna yang mengontrakkan tanah sawahnya untuk dijadikan villa di atas.
Untuk mendirikan suatu usaha atau bangunan kini terbilang cukup mudah dengan adanya layanan sistem OSS (Online Single Submission) yang terintegrasi secara langsung dengan Kementerian Investasi/BKPM. Penyelenggaraan ini merupakan bentuk penerapan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Meskipun demikian, pelaku atau pemilik usaha harus memiliki NIB atau Nomor Induk Berusaha terlebih dahulu. NIB dikeluarkan oleh Badan Perizinan yang resmi diluncurkan pada tahun 2020. Adapun manfaat NIB adalah mempermudah kegiatan usaha, terintegrasi secara digital, mendapatkan perlindungan hukum, dan administrasi yang sederhana. Selain itu, NIB sendiri berfungsi sebagai angka pengenal impor, hak akses kepabeanan, pendaftaran kepesertaan Pelaku Usaha untuk jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan, dan wajib lapor ketenagakerjaan untuk periode pertama pelaku usaha. Dilansir dari laman resmi Badan Perizinan, untuk membuat izin usaha, pemohon dikenakan biaya sebesar Rp599.000 untuk Izin Usaha Standard dan Rp799.000 untuk Izin Usaha Perusahaan. Persyaratan yang diperlukan hanyalah informasi dalam KTP dan NPWP atau informasi usaha yang diajukan. Melihat hal ini, tak heran mengapa banyak masyarakat dengan mudah mengontrakkan tanah sawahnya untuk dijadikan vila bagi investor asing.
Kendati demikian, dengan adanya sistem OSS nyatanya cukup mempersukar pemerintah daerah, yang dalam hal ini adalah Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Dinas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Badung. Kepala Bidang Tata Ruang, Ir. Larasati Adnyana, ST. M.Si., menyampaikan bahwasanya sistem OSS ini langsung terhubung dengan pemerintah pusat yaitu BKPN. Sayangnya, pemerintah daerah tidak memiliki akses sama sekali ke dalam sistem tersebut sehingga terjadi ketidaksinkronan antara perencanaan tata ruang di daerah dengan realitasnya di lapangan.
“Satu hal kalau sudah integrasi, kita nggak bisa lihat datanya nih. Jadi karena terbit langsung kan dari sistem, kita enggak tahu ada permohonan apa saja yang sudah di Badung ini terbit tahun, (hanya) jumlahnya saja, tapi enggak tahu itu apa saja di dalamnya, harus kita lihat memang list tapi udah tercampur, dik, mana PMP UMK, mana KKPR, nggak ketauan. Pokoknya drop jumlahnya sekian ribu yang sudah terbit di Badung. Itu prosesnya sebetulnya mudah terbitnya.” tutur Larasati.
Ia kemudian menambahkan, “Cuma emang dengan OSS ini yang repotnya kita yang pasca terbitnya, izin pengawasan ini. Kalau dia PMP UMK kita nggak tahu, dia hanya input saja, dia dapat. Terus kalau dia enggak kesini, kita juga enggak tahu kan, kalau dia enggak kesini kan. Kecuali kita pas pengawasan, kena dia, baru dia tunjukin ininya kalau dia (punya izin). Karena yang mencari izin kadang-kadang memang hanya untuk kepentingan. Contoh untuk administrasi di fisca peminjaman, kalau dia minjam, bener butuh izin daripada bangunan yang akan dia bangun. Nah kalau dia pas udah nggak keperluan ada urusan bank, bisa jadi enggak jadi izin. Jadi kan dia dapat aja dipegang aja KKPR-nya tuh. Tapi emang kalau dia masuk, tembus izin, pasti akan validasi. Jadi dia anggap ini KKPR (sudah cukup) karena dia diizinin sama orang kan. ‘Ini udah ada izinnya loh, saya ada KKPR.’ Seperti itu modelnya kan. Jadi memang yang repot itu setelah ada sistem ini ya, pengendalian.”
Lebih lanjut, Larasati mengimbuhkan bahwasa pembinaan terhadap masyarakat yang melanggar diberikan ke pemerintah daerah. “Kalau proses penerbitan cepat. Itu aja. Jadi beratnya tuh di pemerintah daerah. Karena pembinaan diberikan kepada pemerintah daerah. PMP UMK tadi tuh pembinaannya di pemerintah daerah loh. Padahal repot banget, kita ga tahu datanya. Kemudian ga boleh dicabut lagi izinnya yang UMK. Ga bisa dicabut. PMP UMK ini ga bisa dicabut. Yang boleh dicabut hanya yang KKPR, yang UMK. Yang non-UMK nggak bisa dicabut. Hanya boleh dibina. Gimana kita membina di tempat yang salah kan? Apa yang harus kita berikan? Itu tantangan pemerintah daerah melakukan pembinaan pasca terbitnya OSS ini. Situ aja ribetnya.”
Larasati mempertegas kembali bahwasanya pengecekan dilakukan setelah laporan datang dari masyarakat atau ketika para petugas turun mengawasi ditemukan bangunan di tempat yang tidak semestinya. Hal ini dikarenakan pemda tidak memiliki akses ke sistem OSS untuk memantau titik mana saja yang sudah terjadi perubahan. “Kalau gitu gak tahu, karena prosesnya di sana semua, karena kita gak ikut lagi, orang sudah sehari jadi kan. Memang sudah di-close akses kita. Gak ada, kita gak lihat permohonan, gak ada di OSS, langsung potong.”
Hal ini juga mempersulit pihak Satpol PP ketika harus turun untuk melakukan pengecekan hingga penertiban di kawasan yang melanggar. Tidak jarang, ketika didatangi oleh Satpol PP, masyarakat yang memiliki bangunan di kawasan atau jalur yang tidak seharusnya untuk membangun, misalnya jalur P-1, akan menunjukkan surat izin yang dimiliki, salah satunya adalah NIB mereka. Padahal kepemilikan NIB ini tidak serta merta menjadi acuan bahwa seseorang bebas mendirikan bangunan dimanapun tanpa memiliki izin mendirikan bangunan juga. Dalam tindakan penertiban, Satpol PP hanya bisa memberikan sanksi administratif, tidak sampai melakukan pembongkaran meskipun suatu bangunan memang terbukti melanggar. “Kalau tindakan yang kita lakukan ada lah, tapi itu hanya sebatas administratif. Contoh, kita panggil, kita buatin surat pernyataan membongkar sendiri, bersedia membuka sendiri di surat pernyataan itu tertulis. Contohnya kayak gini, jadi disini tertuang mereka-mereka mengakui melanggar perda sekian, terus mereka akan bersedia membongkar sendiri. Jadi, administratif kayak gini aja jadinya yang bisa kita lakukan.”
Pihak Satpol PP, terkhususnya di bidang Linmas Kasi Penyidik dan Penyelidikan juga menyarankan peraturan mengenai LSD ataupun LP2B sebaiknya ditinjau kembali melihat situasi dan kebutuhan masyarakat di lapangan. “Satu, saran saya (kepada Bidang Tata Ruang), perda-nya ditegaskan. Jangan kayak gini. Aturannya dijelaskan. Kemudian, yang kedua, kalau kita nggak mau terjadi permasalahan carut-marut seperti ini berkepanjangan, pemerintah itu buat jalur hijau, jangan tanahnya orang diklaim-klaim, dipatok-patok seperti itu. Kalau mau, rubah aturannya. Beli tanah, atau tanahnya orang dibebaskan dia, dibayar, dijadikan jalur hijau. Clear, nggak akan ada permasalahan seperti ini. Kalau mau pemerintah harus seperti itu, ga akan seperti ini terus. Kalau mau membeli tanah seperti itu, nggak akan begini terus. Perda nggak berani menegaskan, tanahnya orang dipatok-patok, nggak boleh dibangun, harganya jatuh, dipaksa orang untuk bertani. Akan terus permasalahannya, akan terus terjadi.”
Komitmen Mempertahankan Tanah Sawah di Tengah Huru Hara Alih Fungsi Lahan
Di tengah banyaknya masyarakat yang memilih untuk mengontrakkan tanah sawahnya untuk dijadikan villa, masih ada masyarakat yang bertekad untuk mempertahankan sawah mereka sebagai lahan pertanian, salah satunya adalah I Made Kongsa (75). Kongsa telah menjadi petani sejak tahun 2003, meskipun pada masa itu ia fokus bekerja di perusahaan swasta. Kongsa mengaku bahwasanya menjadi petani sekarang sudah maju karena ketika akan mengolah sawah, dulu ia menggunakan cangkul dan memakan waktu yang cukup lama, sedangkan sekarang sudah bisa dipercepat dengan adanya traktor. Ia juga berkata bahwa alasannya bertahan sebagai petani adalah karena pergi ke sawah itu obat.
(Wawancara dengan I Made Kongsa, 11/7)
“Pertama, rasanya, menurut saya itu obat. Karena asal dapat ke sawah kan pandangannya bebas sehingga kita kerja dan tidak kerja datang dari sawah, kita makan. Biasanya makan ini yang susah untuk orang tua seperti saya. Kedua, itu sawah saya tidak tahu siapa yang punya, saya kan hanya punya hak mengelola karena itu warisan, saya tidak tahu itu (milik) leluhur saya. Tapi itu harus disayang karena pemberian leluhur, ada atau tidak ada hasil, harus dijaga. Ketiga, sekarang kerja semua ada kemudahan, cuma sawah itu bisa dijadikan sambilan, satu bulan itu paling satu minggu sekali, jadi tidak serius-serius lah. Jadi adalah yang perlu diseriusin. Yang biasanya diseriusin itu pas nandur, lalu nyiang, pas dia mejukut itu, dan nunggu hasil. Cuma kalo di sawah itu kan ada padang (rumput), ya perlu ngabas gitu kan. Tapi sekarang kan sudah ada mesin.” ucap Kongsa.
Lebih lanjut, Kongsa berpendapat bahwa pekerjaan pengelolaan sawah sebenarnya tidak berat, melainkan pada harga atau biaya keperluannya yang memberatkan. “Sementara untuk pengelolaan nya seperti yang saya bilang itu tidak berat, yang berat sebetulnya itu kita kan beli rabuk (pupuk), keperluan semprot hama, itu yang tidak bisa turun harganya, malah naik. Termasuk ongkos kerja itu kan naik. Itu kalo beras naik dikit saja sudah ribut itu di tv ya. Saya lihat juga belum ada yang kompeten disana. Petani juga selalu ditekan. Tidak ada yang memberi bantuan. Jika gabah turun dibiarin, kalo naik dia ribut. Di sisi lain rabuk naik dibiarin, obat-obatan hama naik tidak ada yang peduli. Itu yang tidak sinkron nya.” jelasnya.
Kongsa juga menyampaikan bahwasanya rabuk atau pupuk seharusnya digratiskan saja kepada para petani sebagai upaya agar petani tetap bersemangat untuk mengolah dan mempertahankan sawah mereka. “Menurut saya rabuk itu digratisin saja karena petani sekarang sudah hampir tidak ada karena mereka sudah ilang semangat. Obat-obatan juga, jika tidak ada, ya tidak bisa apa-apa. Dikira bertani itu cuma tanah saja ya, (padahal) lebih daripada itu. Jika jadi pegawai, mungkin banyak yang kita urus. Kalo bertani kan itu tanah kita sendiri yang kita urus.” tuturnya.
Melihat banyaknya masyarakat bahkan sesama petani yang memilih untuk mengontrakkan tanah mereka, Kongsa merasa prihatin dengan bagaimana masyarakat dan Bali untuk kedepannya. “Semisal tanah semua dikontrakkan, atau tanah itu dijual, sekarang dia banyak punya uang. Jika itu nanti 20 tahun, itu sudah jadi villa, kita paling jadi satpam, kita yang diperintah atas hal milik kita. Dan lebih banyak pasti orang-orang luar berduyun-duyun kesini. Negara kita apalagi Bali akan dikuasai oleh mereka. Budaya Bali bisa luntur karena mereka. Sekarang saya lihat di tv, turis-turis brandal-brandal itu. Itu kan baru sekian persen itu. Padahal itu dia dikasi kontrak, tapi seakan-akan itu malah jadi hak milik.” tutur Kongsa sekaligus menyisipkan sekilas mengenai turis asing di Bali.
Kongsa berharap agar tidak semua tanah dikontrakkan, cukup beberapa saja. Ia juga menyarankan agar kontrak tanah tidak terlalu panjang agar kita sebagai masyarakat Bali tidak dianggap remeh, terutamanya oleh investor luar. “Misalnya sudah 1 2, biar lah. Tapi harapan saya, kalo kontrak jangan terlalu panjang misalnya 10 tahun. Jangan lebih. Kalo lebih keliatannya gampang sekali melempar. Kalo lama mereka mengontrak, mereka merasa mereka yang punya, kita sudah pasti dianggap babu itu. Karena saya tidak mau dijadiin babu makanya saya tidak mau kontrakan. Nah semoga anak-anak saya bisa mengelola.” tutup Kongsa dalam wawancara kami pada (11/7).
Penutup
Dinamika kompleks alih fungsi lahan yang tengah berlangsung di Desa Buduk, Kabupaten Badung. Pergeseran penggunaan lahan dari pertanian ke pariwisata menciptakan tantangan serius bagi ketahanan pangan, kesejahteraan petani, dan pelestarian lingkungan. Sektor pertanian yang dahulu menjadi tumpuan pendapatan masyarakat kini menghadapi ancaman akibat alih fungsi lahan menjadi villa dan properti pariwisata, yang mempengaruhi produktivitas dan keberlanjutan sawah. Meskipun pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan oleh sektor ini membawa kemakmuran dan kesempatan baru, tidak dapat dipungkiri bahwa dampak negatifnya juga signifikan. Konversi lahan pertanian yang masif telah menyebabkan hilangnya area hijau yang vital serta mengancam keberlanjutan sumber pangan lokal. Selain itu, keberlangsungan dari sektor pertanian dan profesi petani di desa Buduk juga kian tergerus kedepannya.
Dengan berbagai regulasi yang telah tersedia, diperlukan kesadaran masyarakat serta penegakan hukum yang lebih ketat guna menanggulangi permasalahan alih fungsi lahan tersebut.
Penulis: Cahya, Mili, Rezha, Wulan
Penyunting: Cyn
Daftar Pustaka
Awig-Awig Desa Adat Buduk Pawos 72.
Awig-Awig Subak Ayung Pawos 24.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (n.d.). Profil Desa Buduk. URL: https://kampungkb.bkkbn.go.id/kampung/1749/desa-buduk. Diakses pada 9 Agustus 2024.
Badan Perizinan. (n.d.). Cek Nomor Induk Berusaha (NIB). URL: https://www.badanperizinan.co.id/nib.html#manfaat-nib. Diakses pada 12 Agustus 2024.
Badan Perizinan. (n.d.). Formulir Pengajuan Perizinan. URL: https://www.badanperizinan.co.
id/pengajuan-izin-form.html?c=izin&opt=nib_usaha. Diakses pada 12 Agustus 2024.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. (n.d.). Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2023 – Tahap I Provinsi Bali. URL: https://bali.bps.go.id/publication/2023/12/15/cecfc4610849376
a3e0658d3/hasil-pencacahan-lengkap-sensus-pertanian-2023—tahap-i-provinsi-bali.html. Diakses pada 13 Agustus 2024.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. (n.d.). Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Jenis Pekerjaan Jabatan Dalam Pekerjaan Utama di Provinsi Bali. URL: https://bali.bps.go.id/id/statistics-table/2/Mjk3IzI=/penduduk-usia-15-tahun-ke-atas-yang-bekerja-menurut-jenis-pekerjaan-jabatan-dalam-pekerjaan-utama-di-provinsi-bali–orang-.html. Diakses pada 3 September 2024.
buduk.desa.id. (n.d.). Struktur Organisasi Lembaga Desa. URL: https://buduk.desa.id/page/
read/26/lembaga-desa.html. Diakses pada 9 Agustus 2024.
Dewi, A. A. M. P. & Yasa, I. G. W. M. (2024). Analisis Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Subjektif Petani Padi Di Subak Tegal Kabupaten Badung. INNOVATIVE: Journal Of Social Science Research, 4(4).
Keputusan Bupati Badung Nomor 382/048/HK/2022 tentang Penetapan Peta dan Sebaran LP2B.
oss.go.id. (n.d.). Frequently Asked Question (FAQ): NIB berlaku sebagai apa saja?. URL: https://oss.go.id/informasi/faq/62e0241dd4c14c2600ff6cdb. Diakses pada 12 Agustus 2024.
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Larangan Mendirikan Bangun-bangunan pada Daerah Jalur Hijau di Kabupaten Tingkat II Badung.
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2019 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2019 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang.
Suryawan, I. G. A. J. (2019). Arsitektur Bali Berkonsepkan Asta Kosala Kosali dan Asta Bumi sebagai Daya Tarik Wisata. Maha Widya Duta, 3(1), 36.
Undang-Undang RI No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian pangan Berkelanjutan