TPA Mandung di Titik Nadir: Krisis Sampah yang Kian Menghimpit

TPA Mandung di Titik Nadir: Krisis Sampah yang Kian Menghimpit

“Ini sudah sekarat, sudah kritis. Sudah mau mati TPA-nya. Gimana mau buang sampah?” ujar I Wayan Atmaja, kepala UPTD TPA Mandung, ketika ditemui di kantor Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tabanan (14/07/2025)

TPA Penuh, Sampah Tak Bisa Menunggu

Tabanan selama ini terkenal akan keindahan lanskap sawahnya yang hijau membentang ke berbagai penjuru wilayah. Tanahnya yang subur, menjadikan hasil perkebunan dan pertanian melimpah, bahkan Tabanan telah lama menjadi pusat produksi beras terbesar di Bali. Oleh karenanya, kabupaten ini kerap disebut sebagai “Lumbung Padi”. Namun, di tengah limpahan potensi agrikultur dan pariwisata ini, tersimpan sebuah paradoks yang samar-samar terbenam, padahal menyimpan persoalan mendesak yang terkesan dibekap. 

Saat ini, Tabanan secara resmi hanya memiliki satu Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) aktif, yakni TPA Mandung yang berlokasi di Desa Sembung Gede, Kecamatan Kerambitan. Sayangnya, TPA yang telah beroperasi sejak tahun 1995 ini, kini berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan. I Wayan Atmaja selaku kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) TPA Mandung, mengungkapkan bahwa saat ini TPA sedang dalam kondisi yang sangat kritis. “Untuk saat ini bukan kewalahan, sudah sekarat. TPA itu sudah sekarat. Tidak bisa seperti ini. Sudah sekarat. Kalau orang itu sudah kritis, sudah mau mati,” ujarnya saat ditemui di kantor Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tabanan (14/07/2025). Usia TPA-pun diprediksi hanya akan bertahan sekitar 2-3 tahun apabila terus dipaksakan menampung sampah dengan volume tinggi dan tanpa perbaikan sistem. “Kalau dipaksa menggunakan sistem open dumping mungkin satu sampai dua tahun. Tiga tahun masih bisa tapi kalau misalnya dialihkan ke control atau dibangun instalasi pengolahan dengan pengurugan sampah yang sekian mungkin bisa lebih banyak.”

Sejak awal berdiri, TPA ini memang menjadi tulang punggung penampung akhir sampah di Tabanan. TPA Mandung rutin menerima sampah dari berbagai kecamatan di Tabanan. “Tujuh desa, dua belas pasar yang ada di Kabupaten Tabanan. Bajra, Pupuan, itu kecamatan semua kita layani. Tapi desanya tidak semuanya,” ungkap Dwi, yang merupakan Kepala Bidang (Kabid) Pengelolaan Sampah dan Limbah B3, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Tabanan (31/07/2025). 

Berdasarkan pernyataan Wayan Atmaja, rata-rata TPA ini menerima kepungan sampah sekitar 150 ton per hari. “Kemarin karena lumayan tinggi volumenya hampir 150 sampai 200 meter kubik per hari, 150 ton per hari. Kalau kubiknya mungkin 4.500 kubik per harinya,” ungkapnya. Dengan kondisi lahan yang sudah semakin sempit dan sampah yang tidak terkendali, membuat situasi menjadi semakin sulit. Ia menjelaskan bahwa TPA tersebut hanya seluas 2,7 hektare, dengan area yang diisi sampah sudah sekitar 2 hektare. Jika dihitung dalam satuan kubik, sampah-sampah tersebut terus meninggi dan tidak bisa meluas ke samping, sehingga dengan luas yang terbatas, sampah akhirnya hanya ditumpuk ke atas. 

Selain volume kiriman sampah yang tinggi, sampah-sampah tersebut memang tidak terpilah sejak awal, sehingga menyulitkan pengelola TPA untuk memilah jumlah sampah yang besar tersebut dalam waktu singkat. “Kalau sebenarnya kan kita cuma menerima sampah residu aja di TPA. Sekarang semua sampah masuk ke TPA, yang tidak terpilah semua masuk ke TPA. Makanya rusak jadinya,” ungkap Wayan Atmaja. Dengan adanya keterbatasan alat dan instalasi yang rusak akibat overload, tertimbun longsor, serta kebakaran yang sempat terjadi sebelumnya, menjadi penyebab dari rusaknya TPA tersebut. Sehingga untuk saat ini pengelola hanya bisa menggunakan fasilitas seadanya. “Kemarin karena sampah yang masuknya tercampur, di samping itu overload juga mesin-mesin semua dalam keadaan tidak berfungsi artinya sistemnya tidak normal makanya jadilah itu TPA-nya rusak,” tegas Wayan Atmaja.

Berdasarkan pernyataan Dwi, menggilanya si jago merah akibat akumulasi gas metana di TPA yang tidak terkendali, menyebabkan fasilitas-fasilitas di TPA rusak “Ya, karena terbakar sebenarnya. Sebelum tahun 2023 (terbakar), yang terakhir ini 2023 terbakar.” Kebakaran yang terjadi salah satunya merusak pipa-pipa penangkap gas metana, yang berperan penting untuk memerangkap gas tersebut sehingga tidak menimbulkan bahaya lingkungan, seperti kebakaran yang lebih besar. “Makanya banyak, dulu kan gas-gas metan itu diambil terus dialirkan ke dapur bisa (untuk) membakar masak-masak dulu. Sekarang, pas saya 2023 nggak ada sudah itu. Dah gudang komposnya, gudang pemrosesan terbakar, tertimbun,” imbuh Dwi.

Sistem Kolaps, Nasib Nahas TPA Mandung

Sebelum sampai pada situasi krisis seperti sekarang, nyatanya TPA ini dulu pernah berhasil menjalankan sistem pengelolaan sampah yang baik, bahkan sukses menerapkan metode sanitary landfill. “Kalau sanitary landfill 2017-an itu sanitary landfill jalan, terus pengolahan sampah jalan semua jalan itu masih bagus, TPA-nya masih bagus terus instalasi pengolahan lumpur tinjanya juga masih bagus, 2017-2020 itu masih bagus, berfungsi optimal,” ungkap Wayan Atmaja. Penting diketahui, bahwa metode sanitary landfill merupakan salah satu metode ideal dan disarankan untuk pengelolaan sampah di TPA, sebab metode ini dapat meminimalisir potensi pencemaran lingkungan. Dengan metode ini, sampah tidak hanya sekedar ditimbun secara terbuka, tetapi harus dilakukan pelapisan sampah dengan tanah setiap selesai pembuangan, pengendalian rembesan air lindi, pengelolaan gas metana, serta sistem drainase yang berfungsi optimal. Selain itu, pada masa tersebut TPA masih sangat tertata dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas serta instalasi penunjang yang lengkap dan masih bekerja optimal. “Di depan (TPA) taman-taman itu semua. Taman-taman, ada tempat bermain anak. Di TPA itu ada dua instalasi. Pertama ada instalasi pengolahan sampah, kedua instalasi pengolahan lumpur tinja,” jelas Wayan Atmaja. 

Tahun 2017 memang menjadi titik balik bagi TPA Mandung saat upaya revitalisasi mulai dijalankan. Pada periode ini, dibangun beberapa tambahan instalasi pengolahan sampah yang mencakup fasilitas pengomposan, pengolahan biji plastik, dan produksi pupuk organik. Menurut Wayan Atmaja, proses tersebut berlangsung optimal hingga tahun 2019. Sehingga, pada tahun-tahun tersebut TPA berhasil mencapai metode sanitary landfill, setelah sebelumnya masih menerapkan control landfill. “Ya, yang tahun-tahun sebelumnya masih menggunakan control landfill,” ungkapnya. Ia menambahkan, saat masih menggunakan control landfill, sampah yang masuk kemudian akan ditumpuk dengan tanah, hal ini memungkinkan karena volume sampah yang masih kecil pada saat itu.  Hal ini kemudian dipertegas oleh Kadek Diana Harmayani, salah seorang dosen Teknik Lingkungan Universitas Udayana yang sempat melakukan penelitian dan mengamati langsung keadaan di TPA Mandung pada tahun-tahun ketika TPA masih berfungsi optimal. “Pengelolaan limbah tinjanya itu dulu sempat jadi nomor satu di Indonesia. Iya, seluruh Indonesia itu ke sana buat studi banding gitu karena disitu bagus banget,” ujarnya ketika ditemui di Fakultas Teknik Universitas Udayana (30/07/2025).

Kemudian, mengenai instalasi pengolahan sampah, Wayan Atmaja pun menjelaskan bahwa TPA Mandung sempat memiliki beberapa instalasi modern yang bekerja dengan baik pada masa-masa tersebut. “Semua sudah lengkap sebenarnya. Untuk fasilitasnya ada sumur pantau, ada pengolahan air leacheate (air lindi), ada penangkapan gas metan.” 

Setelah sempat menyentuh periode emasnya, sangat disayangkan saat memasuki tahun 2019, TPA mulai kelebihan beban dengan masifnya jumlah ton sampah yang harus ditampung setiap harinya. “Terus 2019 karena overload, karena overload sana, semua sistem di sana tidak bisa bekerja dan salah satu bangunan komposting yang ada di TPA itu tertimbun. Mesin-mesin semua tertimbun sampah karena overload nya,” ungkap Wayan Atmaja. Menggambarkan kondisi tersebut, dirinya mengaku kesulitan mengontrol jumlah sampah sebab laju sampah sama dengan laju pertumbuhan penduduk. “Kalau misalnya semakin banyak penduduk, semakin banyak sampah yang dihasilkan. Sehingga kita yang punya instalasi pengolahan cuma segitu saja, jadinya setiap hari itu, terus overload jadinya,” imbuhnya. 

Selain itu, lemahnya regulasi dan kurang optimalnya pengendalian jumlah sampah yang masuk masih menjadi persoalan. Upaya pengendalian pun masih bergantung pada keberadaan TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah dengan prinsip 3R: Reduce (Mengurangi), Reuse (Menggunakan Kembali), dan Recycle (Mendaur Ulang)) sebagai pintu penyaringan awal sebelum sampah masuk ke TPA. “Untuk mengendalikan jumlahnya itu ada. Itu ada dengan cara membangun TPS3R,” ungkap Wayan Atmaja. 

Mengamini pernyataan Wayan Atmaja, Diana Harmayani pun menyatakan bahwa seharusnya hanya sekitar 30% dari total 150 ton sampah per hari yang masuk ke TPA untuk menjaga daya tampung sanitary landfill. Perhitungan tersebut dibuat agar landfill bisa bertahan lebih lama. “Mestinya 30% dari 150 aja yang masuk. Itu hitung-hitungan untuk sanitary landfill-nya. Sehingga sanitary landfill itu bisa berusia panjang. Nah sekarang kalau setiap hari masuknya segitu. Ya dimana-mana usia landfill kita buat 20 sampai 25 tahun. Kita buat perencanaanya. Tetapi kenyataan 2 tahun sudah penuh,” jelasnya.

Lampu Merah TPA Open Dumping

Dengan segala fasilitas yang telah rusak, instalasi yang tidak bekerja optimal, dan pengolahan sampah yang minim, maka berakhirlah TPA Mandung pada kondisi seperti sekarang, yaitu open dumping. “Kalau sekarang masih open dumping, masih ditumpuk menuju control landfill,” ungkap Wayan Atmaja. Padahal, metode ini telah dilarang sejak lama, bahkan tertulis dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, khususnya Pasal 44 dan 45, yang mengamanatkan penutupan TPA yang masih menerapkan praktik ini, paling lambat lima tahun sejak undang-undang tersebut berlaku. Open dumping sendiri adalah pembuangan sampah langsung ke lahan terbuka tanpa diolah terlebih dahulu. Metode ini membiarkan sampah menumpuk tanpa lapisan, sehingga dapat memicu masalah lingkungan seperti pencemaran tanah dan air dari rembesan air lindi, asap dan bau tidak sedap, peningkatan gas metana yang mudah meledak, serta munculnya hama dan penyakit. Praktik ini bukan hanya dapat merusak lingkungan, tetapi juga membahayakan kesehatan masyarakat di sekitarnya. 

Keadaan mengenaskan TPA Mandung tampak dari gunungan sampah yang menjulang di berbagai sudut TPA akibat keterbatasan lahan yang semakin parah. Sampah plastik, organik, dan limbah lainnya tercampur tanpa proses pemilahan yang memadai. Kehadiran hewan-hewan liar turut menjadi pemandangan yang kian lazim. Dari tumpukan sampah, asap kerap kali mengepul, berasal dari gas metana yang terperangkap di dalamnya, tidak terjangkau dan berpotensi meledak sewaktu-waktu. Untuk saat ini, tim pers Akademika belum dapat mempublikasikan gambaran TPA Mandung akibat tidak adanya izin dari pihak DLH. Kekhawatiran akan penyalahgunaan informasi yang tersebar pada sosial media menjadi alasannya. 

Beberapa masyarakat yang ditemui tim pers Akademika di sekitar TPA, membenarkan bahwa TPA memang kerap kali mengeluarkan asap yang tidak jarang sampai ke pemukiman warga. Ketut Suka, salah seorang warga yang tinggal di perumahan dekat TPA, menjelaskan bahwa asap biasanya menyebar pada pagi hari ketika arah angin berhembus dari utara menuju kawasan pemukiman. “Kalau pagi baru kena. Anginya kan arahnya dari utara anginnya ini dah,” ucapnya. 

Bagi orang dewasa yang sudah terbiasa, paparan asap mungkin tidak terlalu berdampak. “Kalau aku nih jaranglah gitu. Karena apa ya udah terbiasa dari baunya. Gak terbau gitu,” imbuhnya. Namun, bagi anak-anak, terutama balita, kondisi ini jauh lebih berisiko. “Ada beberapa anak-anak balita di dalam itu menghirup bau asapnya. Jadinya sesak,” ujar Made Sukarena, seorang warga dari desa Kukuh yang kebetulan berada di lokasi.

Mengingat instalasi penangkap gas metana di TPA Mandung sudah tidak tersedia, sehingga gas yang dihasilkan dari timbunan sampah dibiarkan terlepas begitu saja ke udara. Kondisi ini tidak hanya meningkatkan risiko ledakan dan kebakaran, tetapi juga memperburuk pencemaran udara di sekitar lokasi. Apabila dibiarkan terus-menerus tanpa penanganan, akumulasi gas metana dapat menimbulkan dampak yang lebih serius terutama jika menyentuh musim kemarau. 

Ketika ditanya lebih lanjut soal kualitas pencemaran di TPA, Wayan Atmaja menyatakan tidak memiliki data pasti. Hal ini karena pengujian kualitas pencemaran dilakukan oleh UPTD Laboratorium (UPTD Lab) Daerah yang mana belum terakreditasi. “Kalau itu kan kami tidak mengetahui, karena yang mengetahui adalah UPTD Lab untuk kadar tingkat pencemaran udara itu di UPTD lab. Tapi UPTD lab yang ada di kita belum terakreditasi dia. Belum, untuk Kabupaten Tabanan belum terakreditasi”

Diana Harmayani yang sempat meneliti kondisi TPA, mengungkapkan pernah mendapatkan temuan pencemaran terhadap air tanah. “Ya ibu sempat tes tanah di sana. Jadi air tanahnya sudah tercemar. Ya itu bahaya buat daerah pertanian di sana. Itu kan pertanian tuh selatannya itu semua. Ya dan juga air minum penduduk kalau mereka ngambil dari kan air tanah itu ya mengalirnya ke situ. Kalau itu diambil ya udah kena tercemar,” ungkapnya.  

Sementara itu, Dwi pun turut membenarkan dampak lingkungan dari keberadaan tempat pembuangan sampah, sudah tentu tidak bisa dihindari. Namun dirinya menegaskan kondisi saat ini masih dalam batas wajar dan belum mengkhawatirkan. “Air lindi itu kan kotor, mencemari. Namun untuk sementara ini, belum sampai mengkhawatirkan, kemarin pernah di cek.” Hal tersebut dikarenakan air lindi dari rembesan sampah telah diproses terlebih dahulu pada kolam air lindi. Air tersebut akan didiamkan pada kolam selama beberapa saat sebelum dialirkan menuju saluran irigasi. Mengenai dampak yang ditimbulkan, Dwi menegaskan bahwa air lindi tersebut belum begitu berbahaya selama jumlahnya tidak berlebihan.  

Beberapa masyarakat yang ditemui di sekitar TPA menjelaskan tidak merasakan dampak langsung terhadap kualitas air di rumahnya. Hal ini disebabkan karena mereka menggunakan pasokan air dari PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), dan PAM (Perusahaan Air Minum), bukan dari air tanah atau air sumur. “Enggak untuk perumahan-perumahan itu enggak. Kan PDAM jauh juga,” ungkap Ketut Suka.  Selain itu seorang warga dari perumahan Mandung Permai Residence juga memaparkan kualitas air di rumahnya tidak terpengaruh sebab dirinya menggunakan air PAM. “Air PAM. Bikin sumur bor, tapi diminum gak (tidak diminum).”

Meskipun dianggap belum terlalu membahayakan, potensi pencemaran air tanah ini tetap menjadi kekhawatiran bersama, terutama dalam jangka panjang. Mengingat instalasi kolam air lindi di TPA saat ini tidak berfungsi optimal. Apalagi air lindi biasa dibuang ke lahan terbuka seperti sawah dan sungai, yang mana sewaktu-waktu dapat merusak lingkungan, seperti menurunkan kualitas tanah, mempengaruhi kesehatan tanaman, hewan maupun masyarakat yang tidak sengaja menggunakan air tanah tersebut. 

Urgensi Penataan Sistem Sampah Tabanan

Permasalahan sampah di Tabanan tidak hanya sekedar soal tumpukan sampah yang terus menggunung di TPA Mandung, tetapi lebih dari itu, menyangkut sistem yang belum terhubung dengan baik sejak dari hulu. Dalam skema ideal, pengelolaan sampah seharusnya dimulai dari pemilahan di tingkat sumber yaitu rumah tangga. Kemudian sampah anorganik yang dapat dimanfaatkan diproses melalui TPS3R. Sehingga hanya sampah residu yang seharusnya berakhir di TPA. Namun dalam praktiknya, skema ini belum berjalan secara efektif. Di tingkat rumah tangga, pemilahan sampah yang menjadi langkah dasar pengelolaan belum menjadi kebiasaan umum. Bahkan, sampah-sampah masih banyak ditemukan di titik-titik pembuangan liar “Entah sampah apa, yang di tempat-tempat terlarang ada yang membuang kita ambil padahal sebenarnya itu sudah dilarang,” ungkap Dwi. Padahal, pemilahan sejak dari sumber merupakan titik krusial yang menentukan keberhasilan tahap-tahap pengelolaan berikutnya. 

TPS3R sebenarnya disiapkan untuk memperkuat fungsi pengolahan sampah di tingkat desa. Dari 43 titik TPS3R yang ada di Tabanan, nyatanya belum sepenuhnya mampu menyaring dan mengolah sampah secara maksimal, terlebih jika sampah-sampah yang masuk masih tercampur. “Kadang TPS3R juga kewalahan ya, pas mungutnya karena sampahnya masih tercampur, langsung lah diangkut ke TPA,” ujar Wayan Atmaja.

Pengelolaan sampah di Kabupaten Tabanan saat ini berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Menjadi satu-satunya TPA yang masih aktif, TPA Mandung telah mendekati batas kapasitasnya dan tidak lagi mampu menampung timbulan sampah yang terus berdatangan tiap harinya. Sebagai respon dari kondisi yang semakin mendesak, disebutkan adanya rencana perluasan lahan yang nantinya diperuntukkan bagi instalasi pengolahan tambahan. “Makanya kemarin melakukan pelebaran ke samping selatan ke utara, untuk bisa membangun instalasi pengolahan sampah,” tutur Wayan Atmaja. Perluasan area TPA bisa menjadi langkah awal, selama tidak berhenti sebagai respon jangka pendek semata.

Hal serupa juga diamini oleh Diana Harmayani. Salah satu kunci pemulihan TPA Mandung terletak pada penataan ulang sistem pembuangan dengan pendekatan teknis yang tepat. Dibutuhkan strategi pembuangan yang tersegmentasi, yakni melalui pembangunan sel (sektor atau bak) baru yang memungkinkan proses revitalisasi secara bertahap. “Sekarang kalau kita mau memfungsikan dia lagi, seharusnya kita harus mencari tempat yang baru terlebih dahulu. Kemudian disini baru kita revitalisasi (sel yang lama), baru ini ke sini (sel berikutnya secara bertahap). Sebelumnya itu sempat direncanakan seperti itu. Nah mereka bilang ada lahan beberapa are yang bisa dibangunkan tambahan lagi. Misalkan tambah 1 sel, nah disitulah kita bisa membawa yang baru (sampah yang baru) ke sana, yang ini (TPA/sel yang lama) bisa direvitalisasi,”jelasnya.

Menyikapi peliknya persoalan sampah, Diana Harmayani juga menambahkan, bahwa kunci utama pengelolaan sampah yang efektif terletak pada lima aspek utama yang saling berkaitan. “Kalau kita mengelola sampah itu sebenarnya ada lima hal, lima hal yang paling penting. Ini aja sebenarnya kuncinya, jadi pertama itu dari sisi peraturan, kedua dari sisi kelembagaan, ketiga dari sisi operasionalnya, keempat bagaimana tingkat keaktifan SDM lah masyarakat juga di situ, terus kelima biaya,” paparnya.  

Dirinya juga menekankan bahwa gerbang perbaikan terletak pada pembenahan menyeluruh dari titik awal, bukan hanya sebagai tanggapan terhadap persoalan yang muncul di tahap akhir pengelolaan. Tanpa kesadaran dan disiplin di tingkat rumah tangga, sebaik apapun sistem pengolahan yang disiapkan akan tetap kewalahan. Maka, penting untuk memastikan setiap aspeknya berfungsi sebagai satu kesatuan yang saling bergerak selaras dan saling menopang, bukan berjalan terpisah satu sama lain. 

Menarik menanti langkah strategis Tabanan ke depan dalam mengelola sampahnya. Sebab, jika TPA sudah sepenuhnya mati. Maka ke mana dan bagaimana Tabanan akan mengelola kepungan sampahnya masih menjadi pertanyaan. Ditambah lagi pembangunan TPA baru dalam waktu dekat tampak belum memungkinkan. Berdasarkan pernyataan Wayan Atmaja, tidak ada masyarakat yang ingin wilayahnya dijadikan TPA. “Kalau TPA baru sudah tidak mungkin. Karena semua menolak.” Kondisi genting yang ditegaskan langsung oleh pihak UPTD TPA Mandung tersebut menggambarkan betapa daruratnya situasi pengelolaan sampah saat ini. 

Penulis: Gita dan Christin

Penyunting: Putri Wara

kampung bet kampungbet kampungbet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

perihoki perihoki perihoki perihoki perihoki duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76