Melacak Kepak Sayap Kedis Cak: Sang Penyelaras Harmoni Pertanian Masa Silam di Desa Adat Bedha

Melacak Kepak Sayap Kedis Cak: Sang Penyelaras Harmoni Pertanian Masa Silam di Desa Adat Bedha

Di Desa Adat Bedha, Tabanan, kisah sang penyelaras harmoni pertanian seperti lentera yang kian meredup, tersimpan dalam kantung-kantung lisan yang perlahan pecah oleh peradaban. Kedis Cak simbol harmoni agraris yang diyakini melindungi ladang dari hama dan menjaga kesucian ruang tani tradisional, kini namanya hanya tinggal bisik lirih dalam obrolan para tetua. Generasi muda tak lagi mengenal siapa ia, dan ladang-ladang kehilangan penjaganya. 

Langit siang bercorak mendung kelabu menjadi alas apik Meru Tumpang Solas (bangunan suci bertingkat sebelas-red). Tegur sapa para petani perihal kabar ladang garapannya mengalun lembut di pinggir jalan setapak subak milik Desa Adat Bedha siang itu. Harmoni alam Bedha hari itu menampakkan wujud asli Tri Mandalaning Subak ke permukaan—Pura Ulun Suwi berdiri kokoh, para petani membungkuk menitip harap helai-helai winih (bibit padi-red) pada Sang Pertiwi, dan hamparan sawah yang membentang hijau.  

Membaca ikonografinya, Bali dengan tradisi, mitologi, dan budayanya ibarat pustaka yang makin digali, makin tak terukur kedalamannya. Di dalamnya, figur-figur yang berakar dalam kehidupan masyarakat disebut sebagai Dewa-Dewi, sosok yang berperan demi amerta sekaligus memercikkan tirta anugerah bagi lingkungannya. 


Desa Adat Bedha yang berlokasi di Kabupaten Tabanan memiliki bentang persawahan yang luas dengan menggandeng enam (6) subak di wilayahnya. Dalam ruang pertanian tradisional Bali, subak tak hanya dipandang sebagai sebuah organisasi yang mengatur perihal irigasi semata, subak kerap bertaut dengan mitologi, harmoni dan tradisi. Masa atita (Bali tempo dulu-red) tutur lisan mengenai sang penjaga pertanian merebak di tengah riuh penduduk desa—Kedis Cak, begitu mereka menyebutnya.

(Pura Puseh Luhur Bedha yang berlokasi di Desa Adat Bedha)

“Kalau Kedis Cak itu memang istilahnya selalu kita bicara due-nya pura Puseh. Karena setiap cerita yang kita dengar burung itu keluar, keluar itu kalau dari dulu itu, masyarakat yang di Bedha khususnya itu akan selalu memberikan sesajen. Karena ada pesan yang diberikan itu istilahnya melalui burung Cak itu,” ucap I Ketut Mertayasa selaku patengen (bendahara-red) Desa Adat Bedha ketika diwawancarai di Santha Graha pada 15/07/2025.  I Dewa Putu Karta—Petajuh (wakil-red) Pura Puseh Luhur Bedha juga menuturkan perihal due—Kedis Cak ketika diwawancarai di kediaman beliau (27/06/2025), “sebelum merenovasi Kahyangan Puseh di tahun 75, memang ada istilahnya burung Cak itu, burung hantu yang lebih besar. Dianggap nika kedis due, dalam artian jaman dumun (dulu-red), kan, tikus nika (itu-red) banyak, itulah yang memburu tikus malam-malam hari. Lalu dia tidurnya di Meru Tumpang Solasnya dulu sebelum di renovasi. Banyak itu bangkai-bangkai tikus di sana dulu di atas.”

(Kedis Cak—jenis burung hantu Tyto Alba, dimuliakan di Desa Adat Bedha disebut sebagai due)

Tak ada literatur jelas yang menjadi sumber tutur ini, sehingga perlahan lisan akan lesap dilahap udara peradaban. “Nah, itu yang sudah berjalan dari dulu. Itu dari Pura Pusehnya dan itu memang dari Penebel pun juga mendapatkan informasi begitu entah siapa yang menyebarkan, nah itu cerita dari mulut ke mulut. Tidak ada literatur mungkin yang bisa dihaturkan. Itu percaya atau tidaknya, ya begitulah yang berjalan selama ini,” lanjut I Ketut Mertayasa (15/07/2025). Karena setiap hembusan nafas yang mengepul di langit Bali senantiasa bertumpu pada warisan kearifan yang suci, luhur, dan agung. 

I Dewa Putu Karta yang merupakan Petajuh Pura Puseh Luhur Bedha itu menatap bangunan Meru Tumpang Solas yang tampak jelas dari kediamannya. Pandangan itu seakan membawanya kembali ke masa lalu, saat ia mengenang kejayaan Kedis Cak. “Sebelum tahun 70an itu masih belum ada merana tikus, karena beliau itulah yang memangsa setiap malam. Sebelum tahun 70 jumlahnya itu puluhan ekor, banyak itu. Keluar pada saat sandikala (Perubahan waktu dari senja menuju malam-Red). Itu ciri, kalau sudah itu keluar mungkin dia makanannya ndak ada, ayamnya kena virus grubug (wabah-red) kemudian mati—ayam peliharaan masyarakat.” Ia menambahkan, peran Kedis Cak sangat penting. Burung ini bahkan tidak pernah sampai memburu ternak warga meskipun kesulitan mendapatkan mangsa. Justru, kehadirannya membantu para petani.

(Meru Tumpang Solas di Pura Puseh Luhur Bedha)

Melacak jejak sang penjaga pertanian di Desa Adat Bedha cukup sulit, tak banyak orang yang mengetahui sejarahnya, tak banyak orang yang paham keberadaannya, dan tak banyak orang yang mendalami maknanya. Ironi pun menggelayut pelan di antara kisah-kisah yang nyaris luput dari ingatan. Namanya masih hidup, namun hanya sebagai tutur lisan yang pelan-pelan memudar di sela obrolan para tetua. Keberadaan Kedis Cak seolah larut dalam derasnya arus zaman. Tak banyak anak muda yang tahu bahwa burung ini dulu disebut due, penjaga sawah yang dihormati dan dijaga. “Sekarang ini anak-anak muda nggak tahu dia burung apa. Mungkin tidak dikasih tahu oleh orang tuanya,” lanjut I Dewa Putu Karta. Sang agung kini mangkir dari tugasnya, tak ada yang tahu pasti ke mana dan di mana saat ini Kedis Cak itu. 

Kedis Cak mangkir seolah-olah tak pernah hadir lagi, petani merasa kewalahan menjamu Jero Ketut—tikus yang menyerbu ladang mereka. “Kalau dulu mungkin burung ini mampu dia membasmi. Tapi setelah tidak mampu membasmi akhirnya masih juga banyak tikus yang ada. Maka itulah dilakukan upacara ngaben tikus itu, diubah jadinya pembasmian itu. Diubah polanya, kalau kemarin itu burung itu sudah cukup dia,” ungkap I Nyoman Arnaya, Bendesa Adat Bedha (Kepala Desa Adat-Red) ketika diwawancarai di Santha Graha (15/07/2025).

Berefleksi pada perannya sebagai sang penyeimbang di tengah-tengah masyarakat agraris sejak puluhan tahun silam, sudah seyogyanya masyarakat masa kini juga memberikan perhatian hingga pelestarian penuh pada burung yang disebut-sebut sebagai due itu. Etik pertanian Bali kian berubah seiring zaman, tata cara pengolahan tanah dengan teknik tradisional ditinggalkan. Ureanisasi mengoyak sari-sari lahan, memusnahkan seluruh binatang sawah tanpa pandang bulu. 

“Nah kalau di sawah itu, sawah nih petani, petani ini punya subak apa, dia berkomitmen untuk menggunakan burung hantu untuk membunuh tikus. Ternyata berbatas sama orang yang tidak mau tahu dengan itu, kemudian menggunakan racun tikus. Burungnya nggak pergi, mati saya yakin, ya dia melihat tikus dimakan, yang kena racun, yaudah burungnya mati juga. Dia agak tricky juga di saat itu,” pungkas I Wayan Gede Wirawan, beliau merupakan pendiri Owl Tower Bali (OTB) sebuah wahana breeding burung Hantu yang bertempat di Banjar Pengosekan Kaja, Desa Mas, Ubud, Gianyar.  

Tak heran bila satu per satu penyeimbang itu mulai menghilang. Kedis Cak, yang dahulu hadir tanpa diminta, perlahan tak kembali lagi ke tempat ia pernah dipuja. Kala Meru direnovasi pada tahun 1975, jejak kehadirannya semakin jarang terlihat. Bangunan suci bertingkat sebelas yang dulu menjadi tempatnya berteduh, tak lagi disinggahinya. Tanpa disadari, jejak sang penjaga malam itu ikut terkikis dari ingatan. Sekali waktu, suaranya masih sempat menyela malam—datang sendiri, hinggap sekejap, lalu pergi sebelum fajar. “Sekarang masih ada, cuma satu. Dia tidur di wantilan, tapi diganggu anak-anak. Entah ke mana sekarang,” tutur Petajuh Pura Puseh Luhur Bedha, lirih.

Namun, di balik surutnya kehadiran Kedis Cak di Bedha, sesungguhnya ia belum benar-benar hilang dari alam Bali. Dalam pandangan I Wayan Gede Wirawan selaku owl lover, Kedis Cak, acap orang Bali menyebut dengan nama itu, tetapi ia sejatinya merupakan jenis Tyto Alba dan bukan burung yang sulit ditemukan. “Di Bali sih namanya yang dikenal Cak, kalau di Jawa, ada yang nyebut namanya Dares. Kalau di Bali, kenapa Cak? Karena memang suaranya gitu kalau malam Cak, Cak. Tyto Alba itu cepat berkembang. Bahkan satu pasang bisa sampai sebelas telur,” ungkapnya. Koloni-koloninya masih bisa dijumpai di sejumlah titik, asalkan syarat-syarat dasar kehidupannya terpenuhi. 

Namun, keberadaan yang masih tersisa itu pun tidak sepenuhnya aman. Di balik sisa-sisa koloninya, ancaman yang tak kasat mata perlahan menggerus kehidupannya. Bukan alam liar yang menjadi bahaya terbesar, melainkan tangan-tangan manusia itu sendiri. Habitat yang tergerus pembangunan, minimnya ruang berteduh, serta penggunaan racun tikus yang kian masif, menjelma menjadi kombinasi yang perlahan tapi pasti mematikan. “Kalau tempatnya tidak ada, makanannya tidak tersedia, dan kita asal lepas saja, jangan harap dia bertahan,” ujarnya..  

Lebih dari itu, Tyto alba adalah penjaga malam yang mencintai ketenangan. Ia butuh ruang yang tak terlihat, dan tak ingin melihat. Sunyi adalah aman, dan aman adalah syarat mutlak untuk bertahan. “Mereka itu merasa tenang kalau tidak bisa melihat manusia, dan tidak dilihat oleh manusia juga,” jelas pria yang telah lama menaruh perhatian pada pelestarian burung hantu itu. Sejatinya Kedis Cak memang tak menuntut banyak. Ia tak minta dipuja, tak pula ingin dilihat. Tapi ia menuntut syarat yang tak bisa dikompromikan: ruang yang damai dan perlindungan yang berkesinambungan. Maka ketika tempat itu rusak, atau manusia tak lagi peduli, ia pun pergi diam-diam, tanpa pamit.

Bagi para tetua di Desa Adat Bedha, Kedis Cak bukan sekadar burung pemangsa tikus, hadirnya bagai penjaga yang datang tanpa diundang, tapi dirindukan saat tak lagi nampak. Harapan pun masih terpatri. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi agar ladang-ladang kembali mendapat penjaganya. “Kalau itu masih utuh burung itu dulu, cepet dia. Tiang (saya-red) membuktikan sendiri nika, sampah-sampah bekas tikus di meru itu aduh banyak sekali,” ujar Petajuh Pura Puseh Bedha I Dewa Putu Karta. Bukan kelakar nostalgia, tapi pengakuan bahwa Kedis Cak pernah begitu aktif dan efektif menekan hama di ladang warga. Tumpukan sisa mangsa di meru adalah saksi bisu akan besarnya jasa yang pernah ia berikan.

Kini, setelah renovasi dan geliat zaman perlahan menghapus jejaknya, upaya untuk mengembalikan ekosistem itu belum benar-benar menyentuh akar. “Belum ada dari pemerintah, baru dari masyarakat Bedha. Kalau ada burung itu jangan diganggu, cuma begitu aja seruannya,” papar I Dewa Putu Karta, mengenang saat Kedis Cak masih berjaga. Tanpa dukungan yang benar-benar mengakar, seruan itu tak lebih dari gema yang perlahan meredup. Masih terdengar sesekali, tapi tak benar-benar dijalani. Maka yang tersisa hanyalah ingatan samar,  sementara ruang hidup yang dulu dijaga perlahan tergantikan oleh kebiasaan baru yang tak lagi mengenal siapa penjaga malam itu.  

Barangkali karena itulah Kedis Cak tak lagi datang, bukan semata karena sarangnya hilang atau malam terlalu bising. Yang lebih mengusirnya adalah lupa—lupa bahwa dulu ia dijaga seperti saudara, dipercaya sebagai penjaga desa. Ketika ingatan itu tak lagi diwariskan, bahkan yang paling setia pun bisa pergi tanpa jejak. Jika kelak ia kembali, semoga bukan karena dipaksa hadir, melainkan karena kita telah belajar hidup berdampingan, dengan ingatan yang tak dibiarkan hilang, dan kebiasaan yang tahu cara menjaga.

Penulis: Friskila dan Gusti Ayu

Penyunting: Dayu Dyana

Sumber foto: Dokumentasi pribadi

kampung bet kampungbet kampungbet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

perihoki perihoki perihoki perihoki perihoki duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 abc1131 Slot Gacor pola main paling gampang gacor mahjong wild 2 dari duta76 kebanjiran cuan dari mahjong ways 2 pgsoft berkat bocoran duta76 ikuti trik rtp tinggi mahjong wins 3 duta76 dapat scatter hitam teknik strategi mahjong king royal auto menang versi perihoki perihoki panduan menang besar mahjong ways 2 pgsoft strategi rtp pola mahjong wins 3 masih valid dipakai pemain perihoki mahjong phoenix pakai teknik slow spin terbukti bikin saldo naik perihoki perihoki mahjong ways 2 pgsoft server resmi gacor jaminan gacor mahjong ways 3 perihoki lagi full scatter hitam pasti profit gila duta76 taktik untuk mudah menang mahjong wild deluxe jaminan jackpot rumus teruji supaya cuan main mahjong ways 2 di duta76 auto sultan tips trik main mahjong wins 3 gunakan pola paling efektif duta76 mahjong ways1 fantastis mahjong ways mahjong buka jalan game mahjong ways mahjong wild deluxe rezeki mahjong wins3 mahjong ways3 mahjong ways strategi rtp rahasia tempo mahjong