PILU WBD SUBAK JATILUWIH
“Konsepnya dia kan duit, namanya pariwisata pasti duit, sedangkan kita kan pelestarian, kan beda.”
– Ketua Tim Pemetaan Subak I Wayan Alit Artha Wiguna
Pendefinisian Subak

Windia dalam Mulyati (2019) menjelaskan, subak merupakan organisasi pengairan tradisional di bidang pertanian yang berlandaskan atas seni dan budaya serta diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat di pulau dewata. Lebih lanjut, subak dapat dilihat melalui tiga subsistem, antara lain: (1) subak sebagai subsistem budaya; (2) subak sebagai sistem fisik dan subsistem sosial; (3) subak sebagai subsistem kebendaan (Windia, et al., 2005). Di samping itu, masyarakat Bali percaya subak merupakan cerminan dari filosofi Tri Hita Karana (harmoni hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan). Ini kemudian menjadi bukti nyata bahwa budaya lokal Bali mampu menciptakan tatanan hidup yang selaras dan bernilai universal.
Dasar UNESCO Menetapkan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia
Subak ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh UNESCO pada tahun 2012. Penetapan ini didasarkan pada tiga kriteria Nilai Universal Luar Biasa (Outstanding Universal Value):
Kriteria (iii)
“….the ancient philosophical concept of Tri Hita Karana… aim to sustain an harmonious relationship…”, menunjukan sisi filosofi dan spiritual yang berakar pada Tri Hita Karana yang menjaga keselarasan antara dunia spiritual, alam, dan manusia.
Kriteria (v)
“…a democratic and egalitarian system… supporting a dense population…”, menelisik aspek sistem sosial dan teknis subak yang unik dan efektif sebagai sistem pengelolaan air yang demokratis dan adil. Selama ribuan tahun, sistem ini terbukti mampu membentuk lanskap sekaligus menopang kehidupan masyarakat di Bali.
Kriteria (vi)
“… Balinese water temples are unique institutions… crystallise the ideas of the Tri Hita Karana philosophy… “, menekankan pura air sebagai pusat perpaduan antara keyakinan spiritual dan praktik pengelolaan air yang secara berkesinambungan mewujudkan filosofi Tri Hita Karana.
Alasan Subak berpotensi dicabut sebagai Warisan Budaya Dunia
Penyusutan Lahan Jatiluwih

Dilansir dari IDN Times Bali (2025), Jatiluwih mengalami penyusutan lahan seluas 33 hektar (ha), yang dari awalnya 303 ha menjadi 270 ha. Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tabanan I Gusti Nyoman Omardani menjelaskan, penyusutan lahan tersebut sebagai akibat dari rusaknya bendungan Jatiluwih yang berimplikasi terhadap terganggunya saluran irigasi. Lahan-lahan sawah yang tidak mendapatkan cukup air, kemudian berubah menjadi sawah tadah hujan.
Wisatawan Membludak

Tabel 1. Jumlah Kunjungan Wisatawan ke DTW Jatiluwih

Sumber: Diolah dari berbagai sumber.
Pelanggaran Tata Ruang di Jatiluwih

Dilansir dari baliexpress.jawapos.com, ada 13 titik pelanggaran pembangunan akomodasi pariwisata di Lahan Sawah Dilindungi (LSD) Jatiluwih, yakni Warung Metig Sari, Warung Anataloka, Warung Krisna D Uma Jatiluwih, Warung Nyoman Tengox, Agrowisata Anggur, Cata Vaca Jatiluwih, Warung Wayan, Gren e-bikes Jatiluwih, Warung Manik Luwih, Gong Jatiluwih, Villa Yeh Baat, Warung Manalagi dan The Rustic (sekarang bernama Sunari Bali).
Seperti dilaporkan atnews.id, pelanggaran pembangunan akomodasi bahkan bertambah menjadi lebih dari 20 titik. Warga setempat mengakui tidak adanya sanksi tegas membuat pembangunan liar terus bertambah.

Management Plan
Kegagalan yang disorot UNESCO berakar pada tidak terimplementasikannya enam pilar utama Management Plan yang tertuang dalam Chapter Five: Protection and Management of the Property dari proposal pengajuan WBD, meliputi:
Tabel 2. Rencana Pengelolaan Warisan Dunia Subak
| No. | Manajemen Plan | Singkatnya |
| 1 | “Establishment of legal, institutional, and administrative structures to coordinate the adaptive co-management of the site among inter-sectoral policy makers and diverse stakeholders, by means of the Governing Assembly for Bali’s Cultural Heritage (Dewan Pengelolaan Warisan Budaya Bali)…” | Pembentukan struktur hukum, kelembagaan, dan administratif melalui Dewan Pengelolaan Warisan Budaya Bali. |
| 2 | “Comprehensive and participatory assessment of the cultural, social and ecological components of the property by the staff of the Governing Assembly, involving the broad spectrum of stakeholders and resource users. Continuing monitoring and assessments will consider the vulnerability and response capacities of local communities to potential internal or external threats…” | Penilaian komprehensif dan partisipatif aspek budaya, sosial, dan ekologi. |
| 3 | “Participatory planning and design of master plans for each of the sites within the broader cluster of World Heritage properties, which will be coordinated by the Governing Assembly. This includes land-use conservation strategies in the relevant protected areas, in consultation with stakeholders across scales…” | Penyusunan master plan tata ruang berbasis konsultasi lintas pemangku kepentingan. |
| 4 | “Implementation of activities to support Strategic Priorities for comprehensive and effective cultural and environmental conservation and livelihood enhancement within the proposed World Heritage site. Strategic priorities for implementation are: ongoing support for the role of subaks in sustaining Tri Hita Karana; livelihood protection and enhancement; conservation of ecosystem services and material culture; development of cultural tourism and education; infrastructure and facility development…” | Implementasi prioritas strategis: pelestarian Tri Hita Karana, konservasi ekosistem, peningkatan mata pencaharian, dan pengembangan pariwisata budaya. |
| 5 | “Capacity building for the Working Groups of the Governing Assembly, to enhance ongoing monitoring and evaluation and ensure implementation that is sensitive to social and ecological feedback” | Peningkatan kapasitas kelompok kerja untuk pemantauan dan evaluasi. |
| 6 | “Identification of possible serial sites in Bali based on their historical and cultural significance (outstanding universal value)” | Identifikasi situs serial potensial lain di Bali. |
Sumber: Nomination for Inscription on The UNESCO World Heritage List (2011)
Kritik dan Pandangan Sejumlah Pihak
Ketua Tim Pemetaan Subak I Wayan Alit Artha Wiguna, sekaligus sosok penting dibalik pengakuan subak sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO, mengkritik keras kegagalan implementasi management plan.
“Ya karena apa yang kita janjikan kepada UNESCO tidak kita lakukan. Bentang budaya itu. Ya salah satunya bagaimana kita memanajemen subak ini dengan konsep manajemen plan yang sudah kita submitted sebagai bagian daripada dosir ini. Itu yang tidak kita lakukan. Dengan ngeles-ngeles terus, baik pemerintah provinsi Bali maupun Indonesia, selalu ngeles,” tuturnya saat diwawancarai pada Ahad, 27 Juli 2025.
Lebih lanjut, Alit pun turut menyoroti perbedaan fundamental dalam konsepsi DTW dengan WBD. “Kalau sudah namanya Badan Pengelola Warisan Budaya Dunia, ini konsepnya adalah konservasi, pelestarian. Sedangkan DTW, daerah tujuan wisata, konsepnya industri pariwisata. Karena ini sudah berbeda…namanya pariwisata pasti duit, sedangkan kita kan pelestarian, kan beda.” ucapnya.
Dosen Fakultas Pertanian Unud I Ketut Suamba juga menyerukan agar pariwisata dan pertanian dapat hidup berdampingan secara sinergis, bukan eksploitatif. “Kembangkan pariwisata, gunakan dia view-nya tapi jangan mengorbankan akarnya, karena itu yang akan mengorbankan pertanian,” ujarnya saat diwawancarai pada Senin, 28 Juli 2025.
Mantan Wakil Delegasi Tetap Indonesia untuk UNESCO Prof. Ismunandar bahkan sempat menyinggung, “Dengan label UNESCO ada dua sisi, satu bisa membantu promosi, di sisi lain ada kewajiban memelihara, kalau tidak baik bisa kemudian status itu dicabut,” katanya dikutip dari Antara pada Kamis, 23 Mei 2024.
Sekretaris Manajemen Operasional DTW Jatiluwih I Putu Eka Saputra menjelaskan, “Kita seharusnya tidak terlibat karena di atas kita masih banyak orang yang lebih mempunyai kekuatan seperti itu. Intinya kita tupoksi di manajemen pengelolaan pariwisata, namanya saja pengelolaan pariwisata, kita tidak berhak melakukan ini dilarang, ini tidak,” ucapnya saat diwawancarai pada Selasa, 15 Juli 2025.
Dualisme Pengelolaan: Antara DTW dengan WBD
Tabel 3. Gambaran Konflik Mandat DTW dengan WBD
| DTW(Daerah Tujuan Wisata) | WBD(Warisan Budaya Dunia) |
| Fokus: Pariwisata dan Pendapatan Ekonomi | Fokus: Konservasi dan Pelestarian |
| Kegiatan: Ticketing, Promosi, dan Kebersihan | Kegiatan: Menjaga Keaslian dan Lanskap Subak |
| Logika: Industri Pariwisata (Kapital) | Logika: Pelestarian Budaya dan Lingkungan |
| Masalah Utama | |
| DTW memiliki badan pengelola resmi | WBD belum ada badan khusus dengan wewenang hukum kuat |
| Dampak | |
| Posisi tawar DTW lebih dominan daripada WBDPengelolaan kawasan mengarah pada logika kapitalManagement plan tidak berjalan efektif | |
Sumber: Diolah dari hasil lapangan
PUSTAKA
Nomination for Inscription on The UNESCO World Heritage List (2011) | bali.idntimes.com | antaranews.com | pantaubali.com | atnews.id | baliexpress.jawapos.com | jemt.ro | journal.polteksahid.ac.id | coverbali.com | radarbali.jawapos.com | bali.tribunnews.com
Penulis: Sinta
Editor: Adi Dwipayana
daftar slot
