Bali kami bukanlah pulau besar. Tapi pembangunan dan modernisasi terus bergulir seiring zaman dengan cepat di sini. Setiap saat sawah, hutan dan kebun berganti tiang-tiang beton. Sampai kapan ia mampu mendukung kehidupan modern yang tamak ini?
Bali hanya sebuah pulau kecil yang luasnya hanya 5.636,66 km2. Meski lautan luas mengelilingi pesisir pulau Bali yang ramai, tanpa disadari penduduk Bali tengah mengalami defisit air. Parahnya, di tahun 2015, diperkirakan Bali akan mengalami jumlah defisit air yang jauh lebih besar, yaitu 27,6 miliar m3 per tahun. Lalu berapa m3 Bali mampu menyediakan air untuk warganya dalam 20 tahun ke depan? Nah, silakan berhitung!
Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Bali (WALHI Bali) kepadatan penduduk pulau Bali rata-rata 576 jiwa per km2. Data Biro Pusat Statistik (BPS) Bali tahun 2005 pun menunjuk jumlah penduduk di Bali tercatat sebanyak 3.247.772 jiwa. Angka yang cukup besar untuk sebuah pulau yang sangat kecil. Namun luas hutan di Bali hanya mencakup 23,20% dari luas wilayah, yang terdiri dari kawasan Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan kawasan Hutan Produksi. Diperkirakan di masa mendatang, konversi lahan pertanian akan semakin meningkat sehubungan memenuhi kebutuhan kegiatan pariwisata, kebutuhan pemukiman dan kegiatan usaha.
“Di Bali ada sekitar 400 aliran sungai. Namun sekarang saja hanya sekitar 140 aliran sungai yang masih mampu mengalir hingga bermuara ke laut. Selebihnya ada yang telah kering, ada juga yang mengalir hanya jika musim hujan tiba,” ujar Agung Wardhana, direktur eksekutif WALHI Bali dalam diskusi bersama sejumlah mahasiswa Universitas Udayana (Unud).
Dari tahun 2006 – 2007 saja, WALHI telah mencatat beberapa daerah di Bali telah mengalami kesulitan air. Daerah-daerah tersebut diantaranya Tirta Mas Mampeh di Kintamani, Denpasar, Negara, Batu Agung, Singaraja, Besakih (Karangasem), Semarapura (Klungkung), dan Nusa Penida.
Masih menurut Agung Wardhana, persoalan tak hanya berakar dari kian menipisnya sumber air akibat aktivitas pariwisata yang melibatkan hutan di bagian hulu, tetapi juga masalah distribusi. Air akan lebih lancar dialirkan menuju falisitas-fasilitas pariwisata dibandingkan dengan tempat lain.
“Membangun instalasi air di daerah Kubu misalnya tentu membutuhkan biaya yang jauh lebih besar dibandingkan hanya mengalirkan air ke sebuah lapangan golf. Maka distribusi air di Bali pun tidak merata. Terlebih lagi kegiatan pariwisata kini banyak berpusat di pegunungan karena daerah pesisir sudah crowded. Hutan-hutan tak lagi banyak berfugsi sebagai water catcher. Belum lagi di perkotaan sendiri dilaksanakan papingisasi sehingga air hujan run off, langsung ke laut. Tidak lagi ada daerah resapan air,” papar alumni fakultas hukum Atmajaya ini.
Ironisnya permasalahan defisit air ini tak menuai banyak perhatian publik di Bali. Bahkan sengketa-sengketa antar subak dan sengketa air lainnya yang selama ini beredar tak pula ditanggapi serius. Boleh saja pelajaran geografi di sekolah menyebutkan air, tanah dan udara adalah sumber daya alam bebas dan tak terbatas. Namun jika perilaku lingkungan kita tak hendak diubah, dalam 10 tahun sumber kehidupan utama yang tampak melimpah itu akan menjadi barang langka. Selebihnya, selayaknya sifat manusia, kita hanya bisa berebut!(dian)