Kabar mengenai pemberhentian operasi Bus Trans Metro Dewata menggema sejak awal tahun 2025. Kabar yang disampaikan dalam akun resmi @transmetrodewata itu memantik pertanyaan sekaligus keresahan dalam benak masyarakat, salah satunya dari kalangan mahasiswa Unud.
Sejak Rabu (01/01), bus Trans Metro Dewata usai beroperasi menjadi transportasi publik di Pulau Dewata Bali. Mengutip dari kabar Kompas.com yang bertajuk “Kenapa Bus Trans Metro Dewata di Bali Berhenti Beroperasi?”, Koordinator bus Trans Metro Dewata, Budi menyebutkan bahwa pemberhentian tersebut disebabkan belum adanya kejelasan anggaran dari pemerintah daerah.
Polemik awal tahun ini menjadi kado tak terduga bagi pengguna setia Trans Metro Dewata. Per 08/01/2025 terdapat 18.732 masyarakat yang menandatangani petisi kembalikan operasional Trans Metro Dewata dalam situs change.org, yang menandakan keberatan mereka jika bus Trans Metro Dewata berhenti beroperasi. Terhentinya layanan bus yang kerap disebut bus tayo itu memantik pertanyaan, tak terkecuali dari mahasiswa Universitas Udayana (Unud-Red). “Kenapa harus diberhentikan?,” tanya Adinda Abigael, salah satu mahasiswa Unud kala diwawancarai pada (05/01). “Ga semua punya kendaraan gitu, apalagi kaya saya yang anak perantau,” tandas Adinda. Gadis asal Bekasi itu mengatakan bahwa dirinya kerap menggunakan layanan Trans Metro Dewata sebagai sarana untuk mobilisasi ke kampus, tempat ibadah, maupun tujuan rekreasi. Biaya yang terjangkau, rute yang lebih luas, serta interval kedatangan bus yang lebih singkat menjadi sebagian alasan Adinda memilih sarana angkutan umum bernuansa merah tersebut. Selain menghambat mobilisasi, terhentinya layanan bus tayo tersebut meluapkan dampak bagi Adinda dalam hal keuangan serta efisiensi waktu. Sebab, opsi transportasi umum lainnya hanya Trans Sarbagita yang jadwal operasionalnya lebih lambat dengan jumlah armada yang lebih sedikit. Sedangkan jika menggunakan ojek online, mahasiswa Unud itu mesti merogoh uang saku yang berkali lipat jumlahnya.
Adinda bukan satu-satunya mahasiswa yang bergantung pada Trans Metro Dewata. Terdapat pula teman-teman mahasiswa lainnya yang juga bergantung pada moda transportasi ini untuk mobilitas sehari-hari mereka, sehingga kabar ini cukup mengejutkan bagi beberapa orang. Berdasar pada hasil analisis data yang telah dilakukan oleh Tim Riset Akademika, sebanyak 266 mahasiswa menyatakan penghentian operasional bus ini sangat memberikan dampak. Salah satunya pada mahasiswa baru di Fakultas Ekonomi dan Bisnis bernama Reva Putri. Remaja perempuan asli Badung ini menuturkan peran bus Trans Metro Dewata selama ini, bagi Reva keberadaan Trans Metro Dewata bukan sekadar sarana transportasi semata, melainkan solusi mobilitas yang terjangkau dalam menghemat pengeluarannya. “Keberadaan TMD selama ini telah mempermudah mobilitas saya ke kampus dan daerah-daerah di Bali Selatan tanpa harus pusing memikirkan biaya transportasi yang mahal,” ungkap Reva ketika diwawancarai pada (06/01). “Saya bisa menghemat sekitaran 200 ribu dari pengeluaran seminggu,” lanjutnya. Meskipun masih ada Trans Sarbagita, Reva mengaku bahwa ada kalanya ia lebih memilih Trans Metro Dewata sebab jarak kedatangan tiap bus lebih singkat. Selain itu, perbedaan batas kapasitas penumpang juga membuat Reva merasa lebih nyaman menggunakan bus merah itu.
Menengok kabar pemberhentian layanan Trans Metro Dewata akibat belum adanya kejelasan anggaran, Adinda berharap agar pemerintah dapat mengalokasikan dana untuk kebutuhan angkutan umum. “Secara ekonomi juga kita tuh dibantu banget sebenarnya sama angkutan umum ini, jadi ga banyak polusi juga dan ga jadi macet,” jelas Adinda. Sependapat dengan Adinda, Reva turut mengharapkan pemerintah dapat menciptakan regulasi untuk meningkatkan jumlah armada kendaraan umum agar dapat menunjang aktivitas masyarakat dalam bepergian.
Penulis: Wira & Dita
Penyunting: Gung Putri
Sumber Foto: Balipost.com