Oleh Dela Pradnyani
Mahasiswa merupakan tahapan pendewasaan dari jenjang sekolah menengah atas. Kenaikan status dari seorang pelajar menjadi seorang mahasiswa sekaligus menambah kewajiban serta tanggung jawab di lingkungan yang baru. Kehidupan mahasiswa dihantui dengan beragam tuntutan dari tugas hingga permintaan dosen yang ‘unik’. Belakangan ini, seluruh dunia termasuk Indonesia sedang diserang oleh virus Covid-19 yang meradang. Penyebaran virus ini terbilang cukup gesit. Awal mulanya, Indonesia belum memiliki satupun kasus penduduk yang terpapar virus ini. Akan tetapi, semenjak 3 Maret 2020, Presiden Jokowi secara resmi merilis pengumuman seorang ibu dan anak positif tertular Covid-19 di Jakarta.
Semenjak pengumuman resmi tersebut diluncurkan, pemerintah tak tinggal diam. Berawal dari satu universitas yang mengesahkan untuk belajar dari rumah, hingga saat ini semua mahasiswa dari berbagai universitas pun dirumahkan. Universitas, sekolah, bahkan tempat nongkrong ikutserta dirumahkan. Berita ini tentunya menjadi berita baik sekaligus berita buruk. Selang berjalan sebulan, mahasiswa mulai menggerutu. Apakah hal tersebut sebagai gejala mahasiswa rawan depresif?
Gejala depresif merupakan gangguan yang terjadi apabila aktivitas kerja otak, yang terkadang muncul perasaan murung, sedih, atau gelisah yang mempengaruhi pola makan, pola tidur, berat badan, gangguan konsentrasi, kehilangan minat pada apapun, tubuh yang cepat lelah, perasaan putus asa hingga bunuh diri. Menurut sebuah asesmen yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung, menunjukkan bahwa 47 persen mahasiswa alami gejala depresif ditengah pandemi virus Covid-19.
Penekanan pada “Tugas”
Kecemasan serta kegelisahan sering muncul akibat kasus yang tak kunjung pulih. Kegiatan ketika #dirumahaja justru membuat mahasiswa kalang kabut. Label belajar di rumah kadang disalahartikan oleh dosen. Belajar di rumah seketika berubah menjadi tugas di rumah. Bahkan dosen memberikan tugas menumpuk dengan deadline yang cukup singkat. Terkadang, sering terjadi miskomunikasi antara dosen dan mahasiswa akibat penyampaian yang sulit dipahami. Keluhan mahasiswa tak hanya berhenti disitu, mahasiswa yang sulit sinyal belum tentu juga dapat mengikuti kelas dengan lancar. Selain itu, fasilitas masing-masing mahasiswa yang berbeda masih menjadi hambatan belajar di rumah. Tingkat pemahaman satu mahasiswa dengan mahasiswa yang lain tentunya berbeda. Biasanya mahasiswa apabila belajar seperti biasa di kampus dapat berbagi pendapat dan bersosialisasi dengan teman-teman. Di tengah masa pandemi ini, mahasiswa hanya terhubung dengan modal handphone dan sinyal. Sungguh membosankan, bukan? Mahasiswa juga kerap cemas apabila hasil belajar di rumah tidak memuaskan seperti kuliah seperti biasanya.
Dunia Berhenti, Mahasiswa Meringis
Kebiasaan berdiam diri dirumah saja juga bukan ciri khas sebagai seorang mahasiswa. Apabila mahasiswa dihadapkan dengan kondisi berdiam diri, tentunya mereka merasa asing. Rasa bosan pun kerap muncul serta bingung akan kegiatan yang harus dilakukan agar terhindar dari kebosanan. Berdiam diri juga menambah beban pikiran atau overthinking yang dapat menimbulkan konflik. Konflik yang tak lain seperti kesalahpahaman, ketidakjelasan, serta kurangnya komunikasi. Dikarenakan tidak ada kegiatan, pikiran saat berdiam diri dapat bercabang ke berbagai arah. Kesehatan mental dan kesehatan tubuh juga dapat berdampak. Terlalu banyak bermain sosial media saat dirumah akan menimbulkan rasa cemas dan ketidakpercayaan diri.
Lantas, mahasiswa juga cemas akan kondisi ekonomi yang kian menukik. Tak dapat dipungkiri, sebagai mahasiswa memiliki tuntutan hidup yang semakin tinggi. Kebutuhan pokok, biaya kuliah, serta biaya tugas yang terbilang tidak murah. Keadaan di tengah virus Covid-19 ini cukup menghalangi mahasiswa untuk meningkatkan pendapatan. Pendapatan dan permintaan masyarakat pun menurun drastis akibat seluruh masyarakat juga menahan pengeluaran demi bertahan hidup apabila virus ini tak berujung. Kecemasan juga ikut teralihkan mengingat hampir seluruh kegiatan perokonomian seakan berhenti sementara, pariwisata contohnya. Sebagian besar penduduk di Bali khususnya, menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata. Objek pariwisata di Bali yang mulanya tak pernah berhenti berputar, tiba-tiba secara mengejutkan sepi dan kosong. Para turis terpaksa pulang ke negara masing-masing, objek-objek wisata sudah banyak ditutup, beserta staff-staff pekerja yang ikut dirumahkan.
Tetap Produktif dan ‘Think Positif’ (TPTP)
Kasus positif virus Covid-19 tak menutup kemungkinan untuk kian bertambah apabila tidak diiringi dengan kedisiplinan masyarakat untuk tetap waspada dan mengikuti himbauan pemerintah. Penting bagi masyarakat untuk mengetahui cara-cara guna menghindari terpapar virus yang mematikan ini. Pandemi ini akan cepat berakhir bila masyarakat tetap menjaga jarak satu sama lain. Lakukanlah banyak hal yang kalian tidak bisa lakukan saat kuliah seperti biasa. Perbanyak ilmu seperti membaca buku, memulai pola hidup sehat, perbanyak waktu dengan keluarga, memikirkan rencana masa depan, serta tetap berpikir positif.
Penulis merupakan mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana.
Penyunting: Yuni Puspita