Membaca Ulang Makna Hari Kemenangan dalam ‘Megalungan Iklim’
Galungan dirayakan sebagai kemenangan kebenaran melawan kebatilan. Namun perkembangan zaman membawa perubahan dalam pelaksanaan, begitupun pemaknaannya. Melalui Megalungan Iklim, netra diajak melihat perayaan tradisi yang tak terlepas dari persoalan iklim di hari ini. Ia bukan/bukan sebagai ruang penghakiman, melainkan ruang refleksi sekaligus perayaan yang menata inklusivitas di dalamnya.
Bicara perihal perubahan iklim rasanya cukup berat di kepala. Mengingat kondisi dan permasalahannya yang kian pelik. Hari ini persoalan iklim sejatinya ibarat dentingan alarm peringatan. Sudah mulai berdentang kencang tatkala/lewat bencana tak terduga bahkan lebih besar, menyambangi beberapa daerah yang diusik kedamaian lingkungannya.
Namun, membangun narasi pasal masalah dan dampak iklim tidak selalu mudah. Adakalanya, bagi beberapa pihak pembahasan ini terlalu berat dan kurang melekat dalam pemahaman. Terlebih tak semua paham membahas masalah iklim yang erat kaitannya dengan lingkup saintis. Bukan soal kemampuan otak, melainkan cara berpikir dan kedekatan dengan masalah iklim yang berbeda. Belum lagi perbedaan usia, pekerjaan, dan lain-lain, seperti pedagang makanan, serati banten (pembuat sarana upacara Bali-red), dan anak sekolah, tentu memiliki perbedaan dalam memandang dan memahami masalah iklim.
Kendati demikian, perbedaan itu bukan alasan untuk melupa dan mengabaikan. Bukan alasan untuk menjadikannya eksklusif dan dibahas sendiri-sendiri. Untuk itu, perlu ada benang merah yang menjadi pemersatu dalam merajut diskusi mengenai persoalan iklim. Salah satu hal yang dapat menjadi benang merah adalah tradisi dan budaya. Sebuah harta sekaligus napas yang melekat dalam nadi setiap insan nusantara. Kira-kira seperti itulah konsep yang dicanangkan dalam sebuah upaya menghidupkan narasi dan aksi peduli iklim yang disematkan pada acara bertajuk ‘Megalungan Iklim’. Sebuah kegiatan dari Matangi Bali yang diinisiasi oleh Nexus New Energy Indonesia. “Megalungan Iklim kami konsep dengan sesederhana mungkin sesuai dengan budaya Bali, tapi kami sisipi dengan aspek-aspek narasi dan iklim. Melalui perayaan yang memang sudah jadi kehidupan orang Bali,” tutur I Kadek Alamsta Suarjuniarta selaku program associate Nexus New Energy Indonesia, kala ditemui pada (13/12/2025).
Gambar 1. Penjelasan terkait rangkaian Galungan
Melalui balutan tradisi dan budaya yang melekat dengan kehidupan orang Bali, Megalungan Iklim mencoba menyentuh kesadaran dan pemahaman masyarakat lewat berbagai kegiatan yang dilakukan orang Bali saban menyambut hari Galungan.
Lalu, jika Galungan adalah perayaan kemenangan darma melawan adarma, lantas di manakah posisi isu iklim dalam narasi itu?
Alamsta menerangkan bahwa Megalungan Iklim mengajak peserta yang hadir di dalamnya untuk memandang isu iklim dengan menarik dari akar budaya Galungan di masa lalu. Tatkala masih dirayakan dengan kemurnian, memetik dan mempersembahkan dari apa yang alam semesta beri nan limpahkan, tanpa plastik, dan tanpa emisi. Karena kegiatan terbuka untuk umum, esensi tersebut menjadi pembuka netra bagi masyarakat Bali sekaligus mengenalkannya kepada masyarakat luar, tentang Galungan yang sarat makna dan berpihak pada kelestarian lingkungan.
Gambar 2. Peserta diajak membuat penjor
Hampir serupa dengan kali pertamanya dilaksanakan pada 2024 lalu, Megalungan Iklim tahun ini hadir dengan misi yang sama, membangun narasi tentang iklim dan capaian Bali net zero emission yang didambakan. Masih dengan melibatkan hadirin untuk membuat penjor yang sangat identik dengan Galungan. Membuat gebogan dari buah lokal, melilit sate, hingga permainan memotoh (judi, dalam acara ini uang diganti dengan daun kelapa-red), dan duduk bersama untuk megibung (menyantap makanan bersama-red).

Gambar 3. Peserta turut membuat sate lilit
Sederet rangkaian tersebut bukanlah keseruan semata. Di balik penjor yang menjulang, peserta diingatkan bahwa di masa lalu, warga Bali membuat penjor yang merupakan simbol gunung yang dihiasi dengan berbagai hasil alam, seperti padi, kelapa, buah-buahan. Untuk dipersembahkan dengan penuh syukur dan rasa cukup tanpa memberatkan lingkungan lewat dampaknya. Begitu pun dengan rangkaian membuat gebogan dengan buah lokal, untuk menghargai hasil pangan di tanah sendiri, serta menyemai kebersamaan lewat megibung dan serangkaian acara yang diadakan itu.
Di lain sisi, nuansa Galungan tersebut tak hanya bertujuan mengenalkan, tetapi juga menyadarkan. Dewasa ini, di tengah arus globalisasi yang menyeret kita pada segala yang serba cepat dan instan, kita mencoba tetap menggenggam tradisi warisan nenek moyang. Namun, dalam praktiknya secara sadar maupun tidak, kita merayakan Galungan dengan membawa beban bagi lingkungan. Tuntutan dari beragam kesibukan terkadang memaksa kita membeli buah-buahan impor dan menggunakan bahan-bahan anorganik yang lebih praktis dalam sarana upacara. Alamsta menjelaskan bahwa penggunaan produk buah impor dalam menyambut Galungan turut berkontribusi dalam menyumbang emisi. “Banyak orang memilih buah impor karena murah, cepat dan tahan lama, padahal di sisi lain ada dampak lingkungan yang tercipta itu namanya carbon footprint (jejak karbon-red).” Alumnus Universitas Udayana itu memaparkan bahwa pengiriman buah impor memerlukan waktu yang lama dan menggunakan kapal yang menyumbang emisi dengan angka yang cukup tinggi. Kendati demikian, pada titik ini Megalungan Iklim berperan bukan sebagai ruang untuk menghakimi, tetapi merefleksi. Menyadarkan masyarakat untuk meruwat kembali perayaan Galungan di masa lampau. Sesuai tutur dan titah leluhur tentang bagaimana kemenangan kebajikan itu dirayakan dengan berpihak sekaligus tidak mengorbankan lingkungan, sesuatu yang sekiranya dirindukan pula oleh semesta. Hal ini senada dengan pernyataan seorang peneliti bernama Stuart Robson yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang bernilai penting bagi nenek moyang dan leluhur, pasti juga bernilai penting untuk generasi saat ini. Dengan demikian, melalui kegiatan ini, membaca ulang dan memaknai kembali esensi hari kemenangan itu menjadi cara kita untuk berbenah dari laku yang salah.
Namun, dalam implementasinya tentu masyarakat akan bertemu tantangan. Sebab beradaptasi dari segala yang sudah instan dan berbalik pada proses yang tidak singkat tentu tidak mudah. Ada ketergantungan yang sudah lama mengikat. Terlebih hari ini perempuan tidak hanya bergulat dengan tugas rumah tangga tetapi juga karir. Maka sudah semestinya pula perayaan tidak hanya membebankan satu pihak, contohnya perempuan. Diperlukan kerja sama yang baik dari semua yang ‘merayakan’ untuk sama-sama ‘mempersiapkan’. Berkaca pada hal tersebut, kembali ada refleksi bahwa isu iklim memang bukan masalah tunggal, sebab ada berbagai aspek lain yang lekat dalam kehidupan turut memengaruhinya.
Nuansa perayaan Galungan yang diadakan mengundang kesan bermakna bagi beberapa peserta yang hadir. Oka, seorang relawan dalam komunitas Plastik Detox yang hadir kala itu menuturkan, “Yang paling berkesan bagi saya adalah bagaimana nilai dari setiap budaya Bali yang ada dalam Galungan, diambil intisari nilai luhurnya dan dikemas dalam bentuk yang kreatif sebagai bahan refleksi kita bersama.” Oka juga berpandangan bahwa penting bagi masyarakt untuk selalu menjaga hubungan harmonis dengan alam. Terlebih, hampir seluruh laku hidup masyarakat Bali berkaitan dengan alam. “Pemahaman saya terkait hubungan manusia dengan alam, pentingnya komitmen bersama dalam menghadapi perubahan iklim, dan merayakan Galungan dengan memperhatikan dampaknya ke lingkungan menjadi semakin kuat,” imbuh Oka (13/12/2025).
Setali tiga uang, Khamila yang merupakan seorang mahasiswa turut mengutarakan hal serupa. Narasi iklim yang dibangun dengan sentuhan tradisi, budaya dan dikemas dengan keseruan membawa kesan yang positif dan pemahaman yang lebih mudah diserap.
Mematri Peran Semua Pihak Lewat Inklusivitas

Gambar 4. Start Up-Salah satu pameran start up dalam acara
Tak hanya menjadi ruang refleksi, Megalungan Iklim juga menjadi jembatan untuk merangkul semua pihak duduk bersama membicarakan persoalan iklim. Selain menggaet start up yang berinovasi dengan isu iklim, pintu juga terbuka bagi para stakeholders serta pemangku kebijakan, dan berbagai pihak lainnya tanpa memandang usia, gender, dan latar belakang lainnya.
Tak sekadar mengundang tetapi juga mewadahi. Dalam dialog dan diskusi bertajuk “Akselerasi Bali Net Zero: Inovasi, Komunitas, dan Aksi Nyata” penyelenggara menghadirkan juru bahasa isyarat (JBI-red) sebagai langkah inklusivitas agar penyandang Tuli juga dapat memahami apa yang disampaikan. “Menuju net zero emission 2045 nanti kami harapkan tidak ada orang yang tertinggal karena kan kita sama-sama di bumi ini menuju net zero itu. Baik teman-teman tuna wicara, tuna rungu, dan lain-lainnya juga bisa bertransaksi secara lancar dan tanpa dicederai,” imbuh Alamsta. Ia turut mengingatkan bahwa isu iklim tak hanya menjadi urusan sebagian pihak, melainkan suatu tanggung jawab bersama. Dengan gabungan pihak dari berbagai latar belakang, diharapkan mampu mendorong misi net zero emission menjadi hal yang nyata dan terwujud tentunya, bukan hanya sebatas regulasi tanpa adanya action plan yang clear untuk menuju ke sana. “Agar bumi ini bisa lestari dan kita bisa memiliki bumi yang berumur panjang,” ujar Alamsta.
Lewat narasi dan aksi tentang iklim dalam Megalungan Iklim, tersemat berbagai refleksi serta gulat pertanyaan. Sadar ataupun tidak, di hari ini perayaan Galungan tak terlepas dari persoalan iklim. Perubahan zaman yang mendorong segalanya bergerak cepat, mengharuskan berbagai hal turut berubah dan bergeser. Tak terkecuali dalam hari raya Galungan. Jika nyatanya perayaan itu terus membawa dampak bagi iklim, dan kita tetap saja tutup mata, lantas kemenangan apa yang sejatinya kita sedang rayakan hari ini? Lekas membuka kembali memori perayaan Galungan di kemarin hari, yang bersahabat karib dengan alam semesta.
Penulis: Gung Putri
Penyunting: Maya



