Korupsi oleh elit Pertamina menyoroti buruknya tata kelola migas, tetapi di balik itu peluang Penguasa terbuka lebar untuk mempercepat transisi energi. Namun, apa daya ini melahirkan ruang bisnis baru dengan mengkomodifikasi krisis ekologi dan dapat memperparah kerusakan lingkungan.
Kasus korupsi di suatu negara memang menjadi ancaman yang serius, tak terkecuali di negara berkembang, Indonesia. Belakangan kita dikabarkan bahwa terdapat praktik korupsi yang dilakukan oleh sejumlah elit di Pertamina. Tak tanggung-tanggung jumlah kerugian keuangan negara ditafsir bisa mencapai Rp968,5 Triliun sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
Itu baru kerugian keuangan negara saja, nyatanya yang paling terdampak di sini adalah konsumen atau masyarakat itu sendiri. Beberapa laman berita sempat mengabari bahwa sejumlah masyarakat mengeluh karena kendaraannya yang tidak berfungsi dengan baik selepas mengisi bensin. Belum lagi kepercayaan masyarakat terhadap bahan bakar berbasis fosil ini yang terciderai sebagai akibat dari tindakan culas elit Pertamina yang melakukan pengoplosan.
Pada pembahasan di bab selanjutnya, sesungguhnya penulis mencoba mengajak rekan-rekan pembaca untuk memikirkan kemungkinan yang terjadi, dan apesnya dapat ‘dimanfaatkan’ oleh Penguasa dari tragedi pengoplosan bensin ini.
Bukan tidak mungkin bagi para Penguasa untuk mengolah tragedi menjadi peluang yang menguntungkan barisannya. Misalkan, tragedi pengoplosan bahan bakar minyak dari tindak korup elitnya diolah menjadi keuntungan untuk menaikan pamor wacana peralihan energi, bukan untuk kepentingan lingkungan, melainkan untuk mengukuhkan dominasi mereka dalam ekonomi ‘hijau’ atau yang selanjutnya kita sebut sebagai sistem ‘Kapitalisme Hijau’.
Pada tahun 1972, laporan ‘The Limits to Growth’ diterbitkan yang kemudian menjadi tonggak awal model pembangunan berkelanjutan. Di akhir abad ke-20, paham kapitalisme hijau mulai menjamur di beberapa negara. Paham ini tidak serta merta muncul begitu saja bak inisiatif revisi undang-undang yang muncul tengah malam, melainkan berangkat dari anggapan bahwa model ekonomi tradisional akan menimbulkan degradasi pada lingkungan mengingat sumber daya alam yang terbatas; kepentingan manusia yang tak ada batasnya.
Anggapan tersebut kemudian berkembang cepat di meja rapat layaknya obrolan di warung kopi, membuat para Penguasa tergerak hatinya untuk mewujudkan sistem ekonomi yang lebih ‘hijau’. Namun, bukan Penguasa namanya jika inisiatif ini tumbuh tanpa itung-itungan untung. Sistem kapitalisme hijau ini memungkinkan Penguasa, Korporasi untuk terus mengeruk sumber daya alam dengan legal karena dalih kepentingan nasional dan diperhalus dengan narasi keberlanjutan lingkungan.
Memasuki era transformasi energi, dari bahan bakar fosil ke energi hijau, kampanye keberlanjutan lingkungan semakin masif digaungkan di media massa sampai membanjiri khalayak dengan urgensi transisi menuju energi bersih dan program emisi nol karbon. Pemerintah juga mengambil langkah untuk semakin gencar mempromosikan inovasi ‘hijau’ yang sedang berkembang sekarang, kendaraan listrik. Wacana-wacana peralihan energi dan hilirisasi demi keberlanjutan lingkungan hidup kerap digaungkan oleh Penguasa seakan mencitrakan diri sebagai institusi yg peduli lingkungan. Namun, apa daya saat ini minat masyarakat untuk beralih ke kendaraan listrik masih minim.
Berdasarkan data Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) yang dilansir dari Bisnis.com, dalam tiga tahun terakhir, perkembangan mobil listrik di Indonesia walaupun meningkat, tetapi jika dibandingkan dengan penjualan mobil nasional jumlahnya masih sangat minim. Kita lihat saja di tahun 2024 kemarin, jumlah unit kendaraan listrik yang terjual hanya 4,98 persen dari total wholesales sebanyak 865.723 unit. Di tahun 2023 angkanya lebih kecil, yakni hanya 1,69 persen dari 1.005.802 unit. Sementara itu, tahun 2022 jumlah kendaraan listrik yang terjual bahkan hanya 0,98 persen dari total 1.048.040 unit.
Deretan angka tersebut menunjukkan masyarakat masih kurang antusias untuk beralih ke inovasi yang digadang-gadang berpihak pada lingkungan. Berbagai taktik pemikat telah digencarkan dari pemberian insentif kendaraan listrik hingga menamai ini proyek global dalam mengatasi kiamat ekologis. Namun, apa daya tak terlalu jitu untuk memikat masyarakat untuk teralihkan. Penguasa mungkin menyadari itu, lalu memilih menunggu momen yang pas untuk memulai kembali siasatnya.
Bagai mendapat durian runtuh, momentum Penguasa untuk menggembar-gemborkan inovasi ‘hijau’ kembali tercipta ketika terdengar kabar adanya korupsi di Pertamina. Entah bagaimana nanti pengemasan yang dilakukan oleh Penguasa untuk menarik untung dari pengadaan kendaraan listrik, tetapi perlu diingat juga bahwa apa yang dianggap menyelamatkan lingkungan bisa saja berujung petaka.
Coba kita ingat-ingat sudah berapa juta hektar hutan yang dikorbankan untuk pembangunan smelter dan tambang nikel yang notabene-nya untuk memproduksi baterai kendaraan listrik? Bahkan hutan adat pun tak ketinggalan untuk dibabat, sungguh tak ada takutnya memang Penguasa di negeri ini.
Maka perlu dipertegas lagi, apa yang dikemas baik belum tentu niat dan praktiknya baik. Itulah mengapa Smith (2016) berpendapat bahwa prinsip ekonomi tak sepantasnya digabungkan dengan upaya keberlanjutan lingkungan karena apapun pengemasannya, pada dasarnya kapitalisme tetap akan mengejar keuntungan yang dinikmati pemilik modal.
Terlebih lagi, inovasi ‘hijau’ yang diklaim ramah lingkungan justru menghadirkan kontradiksi baru karena sangat bergantung pada baterai lithium-ion (LIB). Umur LIB yang relatif singkat, 8 hingga 10 tahun, menimbulkan risiko pencemaran lingkungan jika tidak didaur ulang dengan baik. Diperkirakan pada tahun 2030, limbah LIB mencapai 11-16 juta ton dan akan terus meningkat seiring bertambahnya teknologi hijau tersebut.
Ironisnya di sini adalah teknologi daur ulang saat ini hanya mampu memulihkan tidak lebih lima puluh persen dari sel baterai sehingga membuat ekstraksi besar-besaran terhadap sumber daya alam tidak terelakan. Alih-alih menjadi solusi dalam mengurangi eksploitasi, konsep kapitalisme hijau ini justru memperpanjang siklus ekstraksi dengan dalih transisi energi ramah lingkungan.
Professor of Sociology University of Huddersfield, Nick J. Fox, dalam jurnalnya berjudul ‘Green capitalism, climate change and the technological fix: A more than human assessment’ menjelaskan transisi inovasi mengarah ke keberlanjutan lingkungan pada akhirnya juga akan menghasilkan energi dan materi buangan. Limbah akan selalu dihasilkan selama industri masih bergantung pada bahan mentah yang diperoleh dari kerak bumi, karena pada akhirnya semua bahan tersebut akan kembali ke lingkungan dalam kondisi yang telah mengalami kerusakan.
Pengaktualisasian dari kapitalisme hijau bagi suatu negara menjadi bahaya apabila digunakan sebagai legitimasi untuk membenarkan praktik culas Penguasa dalam mengeksploitasi alam dengan berlindung di balik kata ‘hijau’.
Dalam lingkup yang lebih kecil, korporasi juga melakukan taktik yang sama melalui wacana Corporate Social Responsibility (CSR) dengan mengklaim peduli lingkungan, meski tidak dapat dipungkiri hal tersebut dilakukan semata-mata hanya untuk mempertahankan profitabilitas dengan terus berusaha memperluas jangkauan dan pangsa pasar.
Kita telah sampai pada bab terakhir pada tulisan ini. Pada akhirnya, opini tetaplah opini, memang tidak ada garis yang nyata dalam menghubungkan korupsi elit Pertamina dengan percepatan transisi energi. Namun, kita juga harus tetap berpikir jika kemungkinan-kemungkinan tersebut tidak begitu mustahil terwujud, terutama jika Penguasa punya momentum. Sama dengan tindak-tanduk lainnya dari Penguasa yang tiba-tiba muncul karena sebelumnya telah menunggu momentum.
Referensi
Akbar, A. (2024). Di Ambang Kepunahan karena Akumulasi Modal. URL: Di Ambang Kepunahan karena Akumulasi Modal – IndoPROGRESS. Diakses pada 30 Maret 2025.
Fox, N. J. (2023). Green capitalism, climate change and the technological fix: A more-than-human assessment.
Laily, I. N. (2022). Kapitalisme Adalah Sistem Ekonomi Bebas, Pahami Sejarahnya. URL: Kapitalisme Adalah Sistem Ekonomi Bebas, Pahami Sejarahnya – Nasional Katadata.co.id. Diakses pada 30 Maret 2025.
Mahardika, G. (2023). Narasi Kapitalisme Hijau: Ramah di Luar, Tetap Bahaya di Dalam. URL: Narasi Kapitalisme Hijau: Ramah di Luar, Tetap Bahaya di Dalam – IndoPROGRESS. Diakses pada 30 Maret 2025.
Rajendra, R. (2025). Segini Total Penjualan Mobil Listrik 5 Tahun Terakhir di RI. URL: Segini Total Penjualan Mobil Listrik 5 Tahun Terakhir di RI. Diakses pada 30 Maret 2025.
Rosa, M. C. (2025). Kerugian Negara akibat Korupsi Pertamina Bisa Tembus Rp 968,5 Triliun? URL: Kerugian Negara akibat Korupsi Pertamina Bisa Tembus Rp 968,5 Triliun? Halaman all – Kompas.com. Diakses pada 30 Maret 2025.
Salong, A. (2024). Sejarah Ekonomi Hijau: Mengurai Asal-Usul Dan Perkembangan Pemikiran Ekologis Dalam Ekonomi.
Smith, R. (2016). Green capitalism: The god that failed. WEA/College Publications.
Penulis: Adi Dwipayana
Penyunting: Putri Wara