Dari Belenggu Menuju Harapan: Dukungan Komunitas bagi Penyintas Skizofrenia
Bayangkan suatu pagi di hari Minggu yang cerah. Anda melihat seorang pria memarkirkan motornya di depan gerbang sebuah rumah, lalu memasuki gerbang dan disambut oleh orang-orang di dalamnya. Suasana terasa hangat. Beberapa orang terlihat sedang berbincang, barangkali hendak menanti jalannya sebuah acara. Tanpa disadari, orang-orang yang anda lihat adalah para penyintas skizofrenia—insan yang sedang berjuang menata kembali kehidupan normal. Jika demikian, apakah anda akan menjauh, atau justru memberi ruang untuk memahami dan mendukung mereka?
Skizofrenia dalam cara pandang masyarakat ibarat retakan di sebuah lukisan: ada, tetapi dihindari seolah tiada, atau retakan itu bahkan ditutupi dengan cat, karena dianggap mengganggu estetika dan keindahan lukisan. Orang skizofrenia, sering dilihat sebagai individu yang “tidak waras” atau “orang gila”, istilah yang selama ini disematkan sebagai penghakiman, sebagai stigma kepada penyintas yang dianggap berbeda dengan orang “normal”. Masyarakat membelenggu insan yang kemudian kerap dikenal sebagai Orang dengan Skizofrenia (ODS) ini dengan stigma dan ketakutan, sehingga mereka dijauhi dan dianggap ancaman. Padahal, penyintas merupakan manusia yang tengah berjuang untuk menata kembali kehidupannya setelah “terasing”, karena dianggap berbeda oleh dunia. Tantangan demi tantangan dialami oleh penyintas ketika menstabilkan gangguan seperti halusinasi dan delusi yang muncul. Tantangan lain juga dihadapi ketika berupaya kembali ke keluarga dan komunitas pasca dipulangkan dari instansi psikiatri yang rawan mengisolasi.
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III), gangguan skizofrenia didefinisikan sebagai gangguan psikotik berat yang memengaruhi cara individu dalam berpikir, mempersepsikan, serta berinteraksi terhadap realitas (1). Secara global, sekitar 1 dari 300 orang (0,32%) diperkirakan mengalami skizofrenia (2). Sementara di Bali pada tahun 2018, tercatat jumlah ODS mencapai 11,1 per 1000 rumah tangga, atau sekitar 4.509 rumah tangga (3). Angka tersebut menandakan bahwa skizofrenia bukan lagi suatu fenomena langka, melainkan kenyataan yang hidup di sekitar kita. Pada dasarnya, gangguan dengan gejala yang mengusik kehidupan sehari-hari ini memerlukan obat-obatan. Namun, perawatan medis saja tidak cukup untuk membantu proses pemulihan jangka panjang bagi penyintas.
Dalam membantu penyintas untuk reintegrasi dan memulihkan diri, diperlukan integrasi antara perawatan medis dan dukungan psikososial, agar penyintas skizofrenia kembali pulih dan produktif dalam menjalani kehidupan. Upaya ini sejalan dengan perubahan konteks layanan kesehatan jiwa dengan deinstitusionalisasi yang digagas oleh WHO. Sederhananya, deinstitusionalisasi mendorong perawatan kesehatan mental yang humanis dan berbasis komunitas untuk kembali beradaptasi di lingkungan sosial (4). Berbicara tentang kembalinya penyintas skizofrenia ke lingkungan sosial, tentu tidak terlepas dari konteks lapangan ketika stigma dan diskriminasi muncul sebagai hambatan. Adanya stigma dan eksklusi sosial pada konteks relasi, pendidikan, serta pekerjaan menjadi tantangan untuk kembali ke lingkungan sosial (5). Adapun bentuk stigma dan diskriminasi adalah dihindari, ditakuti, disalahkan, dianggap berbahaya, dan bahkan mendapatkan tindakan kekerasan seperti kekerasan fisik, pelecehan seksual, dan pemasungan. Padahal, penyintas yang terjun kembali ke lingkungan sosial memerlukan dukungan dan penerimaan.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) mengungkapkan bahwa satu dari tiga ODS akan dapat pulih sepenuhnya. Pemulihan ODS tidak hanya berkaitan pada menurunnya gejala, tetapi juga kembali sebagai insan yang bermartabat di lingkungan sosial. Keberhasilan pemulihan ODS ini dapat diupayakan demi menurunkan tingkat relaps atau kekambuhan berulang sehingga tidak kembali terisolasi. Terjadinya relaps pada penyintas diakibatkan beberapa faktor seperti kurangnya dukungan sosial, ketidakpatuhan pengobatan, penyalahgunaan zat, stigma, antipsikotik yang sulit diakses, serta keterlambatan dalam perawatan intensif (6).
Dalam konteks inilah, kehadiran komunitas rehabilitasi sosial ibarat oase yang melegakan. Rehabilitasi psikososial hadir menjadi ruang aman bagi penyintas untuk kembali berfungsi di lingkungan sosialnya, melalui berbagai pelatihan dan aktivitas sosial yang menguatkan kepatuhan pengobatan dan pemulihan personal. Salah satu cerita datang dari Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Simpul Bali. Bertajuk kegiatan “Peer Support”, agenda yang telah dilaksanakan di Sekretariat KPSI Simpul Bali di Petulakan, Denpasar Utara pada Minggu, (30/11/2025). Kegiatan yang dinakhodai dosen Psikologi Universitas Udayana sekaligus Ketua KPSI Simpul Bali ini menjadi pemulihan berbasis komunitas dalam suasana hangat. Ruang aman bagi sesama penyintas skizofrenia ditata kembali di dalamnya.
Kegiatan diawali dengan perkenalan yang mempertemukan penyintas lama dan wajah-wajah baru dalam suasana inklusif, lalu berlanjut pada ruang berbagi pengalaman tentang kekambuhan, keluarga, pengobatan, hingga pekerjaan, di mana para penyintas saling menguatkan sebagai sesama yang menempuh jalan pemulihan. Kehadiran komunitas menjadi harapan bagi pemulihan psikososial penyintas skizofrenia; sebagaimana diungkapkan seorang penyintas dalam wawancara pada kegiatan “Peer Support” KPSI Simpul Bali (7), komunitas menyediakan ruang aman dan teman seperjuangan ketika hari-hari terasa berat.

Gambar 1. Peserta penyintas skizofrenia yang mengikuti kegiatan “Peer Support” di KPSI Simpul Bali
Dalam memastikan keberhasilan pemulihan bagi penyintas, diperlukan banyak tangan yang saling menopang. Keterlibatan dokter, perawat, psikolog, psikiater, keluarga, dan sesama penyintas di komunitas berperan penting dalam hal ini. Selain itu, kita sebagai masyarakat turut ambil andil dengan sepatutnya menerima, mendukung, dan mendorong dalam upaya pemulihan orang skizofrenia, agar mampu kembali ke lingkungan sosialnya dengan produktif dan bermartabat. Kegiatan “Peer Support” di KPSI Simpul Bali adalah satu contoh dari sekian banyak cara yang bisa dilakukan untuk memberikan dukungan bagi penyintas mencapai reintegrasi sosial dan pemulihan.
Demikian, pemulihan bukan hanya berkutat kepada kapan penyintas siap untuk kembali ke lingkungan sosialnya, melainkan juga kepada kita sebagai masyarakat yang siap membuka ruang empati untuk menerima penyintas tanpa penghakiman dan stigma, sesuai dengan apa yang diharapkan melalui konteks deinstitusionalisasi sebagai paradigma yang memusatkan kesehatan jiwa. Kita bisa mengambil peran, memulihkan kehidupan sosial bagi penderita gangguan jiwa berat untuk selayaknya, sebaik-baiknya manusia.
Daftar Pustaka
- Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa menurut PPDGJ III. Jakarta: FKUI; 2013.
- World Health Organization. Schizophrenia [Internet]. 2025 Oct 06 [cited 2025 Dec 03]. Available from: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/schizophrenia.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Riskesdas 2018 Nasional [Internet]. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2020 [cited 2025 Dec 03]. Available from: https://www.litbang.kemkes.go.id/laporan-riset-kesehatan-dasar-riskesdas/World Health Organization.
- Deinstitutionalization of people with mental health conditions [Internet]. Geneva: World Health Organization; 2024 [cited 2025 Dec 03]. Available from: https://iris.who.int/server/api/core/bitstreams/bbcc442d-67a6-4cda-b445-e47c31e42a6e/content.
- Thornicroft G, Mehta N, Clement S, Evans-Lacko S, Doherty M, Rose D, et al. Evidence for effective interventions to reduce mental-health-related stigma and discrimination. Lancet. 2016;387(10023):1123–32.
- Afolabi V, Esther E, Obinna C, Joanna O, Okelue O, Linda AM, et al. Multiple relapse in schizophrenia: possible causes and prevention. ASEAN J Psychiatry. 2024 Jul;1–10. doi: 10.54615/2231-7805.674.
- Tatkala.co. Ketika komunitas menjadi obat kedua [Internet]. 2025 Nov 30 [cited 2025 Dec 03]. Available from: https://tatkala.co/2025/11/30/ketika-komunitas-menjadi-obat-kedua/
Penulis: Maya Angelika Praba Astuti
Penyunting: Debitasari

