Di tengah menjamurnya destinasi hiburan malam di Bali Selatan, wisata spiritual “melukat” hadir laksana mata air yang merawat tubuh dan jiwa. Harmoni melukat memberi warna bagi pariwisata budaya yang mengingatkan kita untuk kembali terkoneksi dengan alam semesta.
Apa yang pertama kali terlintas di benak setiap orang ketika mendengar “Bali”, beberapa orang langsung memikirkan pantainya, budayanya, atau barangkali, gemerlap dunia hiburan malamnya. Bali menawarkan ragam pilihan bagi setiap insan yang menapaki bentalanya untuk menjelajah, dari hulu ke hilir, layaknya air yang mengalir. Ketenaran eksotisme Bali berhasil mendorong wisatawan bertandang untuk mencari hiburan, sehingga permintaan yang datang dari para wisatawan tentunya disambut hangat dengan penawaran yang menggiurkan, salah satunya dengan semakin banyaknya gemerlap hiburan malam khususnya di Bali selatan. Mengutip dari KumparanTravel mengenai wawancara Kepala Dinas Pariwisata Bali, Tjok Bagus Pemayun diketahui bahwa pada tahun 2022 terdapat 90 persen bangunan hotel dan villa serta 15 unit beach club di kawasan Canggu. Selain itu, berdasarkan hasil penelusuran mandiri dengan media Google maps, terdapat lebih dari 20 lokasi hiburan malam yang terdiri dari Beach Club, Night Club, atau Bar yang utamanya tersentral di Bali Selatan.
Bisa dikatakan, bahwa saat ini Bali sedang “mabuk” hiburan malam yang dibuktikan dengan masifnya pembangunan destinasi hiburan malam yang lazim terkonsentrasi di kawasan padat wisatawan seperti Canggu, Legian, dan Kuta. Bahkan, isu yang baru-baru ini sedang panas diperbincangkan seperti rencana pembangunan Beach Club di Sanur atau Kasino turut muncul di permukaan. Dengan semakin maraknya hiburan malam yang tersedia, tampaknya wajah Bali yang mengunggulkan Pariwisata Budaya bisa semakin terancam apabila terus-menerus berkiblat memenuhi dorongan dan kebutuhan gaya hidup wisatawan yang mencari hiburan semata daripada menyeimbangkan porsi destinasi wisata yang memanfaatkan sinergi dengan alam. Sehubungan dengan Bali sebagai destinasi Pariwisata Budaya, seperti yang tertuang pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2020 tentang Standar Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali yang menerangkan bahwasanya penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali meliputi pengimplementasian terhadap kearifan lokal yang bersumber dari nilai-nilai filosofi Tri Hita Karana berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal Sad Kerthi, perlindungan lingkungan alam dan budaya Bali secara berkelanjutan, membangun pemberdayaan potensi ekonomi masyarakat, pemenuhan standar keamanan, keselamatan dan kesehatan, serta menyongsong usaha Pariwisata yang berkelanjutan.
Menjamurnya pariwisata yang menawarkan hiburan malam tentu diciptakan untuk memberikan pilihan bagi wisatawan yang hendak mencari kesenangan, namun demikian masih ada pilihan wisata yang mengantarkan kita untuk kembali eling dengan alam, memaknai ketenangan dan hubungan sesuai dengan prinsip Tri Hita Karana. Salah satunya adalah Wisata spiritual, secara spesifik dengan kegiatan ritual Melukat. Dalam budaya Hindu Bali, Melukat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat lokal, karena melukat berkaitan dengan prosesi penyucian fisik dan batin. Uniknya, beberapa waktu terakhir muncul tren melukat yang justru lumrah dilakukan oleh wisatawan, baik lokal maupun asing bahkan publik figur. Destinasi-destinasi wisata yang menawarkan kegiatan melukat pun semakin lumrah ditemukan, alhasil muncul sebuah peluang baru dari pariwisata yang menawarkan perdamaian antara manusia dengan alam.
Fenomena ini menjadi sebuah angin segar bagi pariwisata Bali, mengingat semakin jenuhnya wajah pariwisata yang hanya menyuguhkan hiburan malam semata. Padahal, Bali memiliki pesona kecantikan alam yang mengajak kita menjauhi hingar bingar kesibukan duniawi sejenak dan menikmati sensasi menyatu dengan alam. Dengan semakin merebaknya pariwisata yang menawarkan ketenangan dan berdamai dengan alam Bali, maka kini cakupan destinasi wisata yang dituju wisatawan menjadi semakin luas, sehingga terdapat beragam alternatif wisata yang dapat diperoleh dan wisatawan tidak hanya sekedar menikmati club atau bar, tanpa merasakan langsung seperti apa sensasi menyambangi wisata spiritual yang menawarkan kedamaian dan ketentraman hati.
Filosofi Air Sebagai Penyembuh dalam Tradisi Melukat di Bali
Wiranjana, selaku Dosen Filsafat dari Universitas Hindu Negeri (UHN) mengungkapkan bahwa melukat pada awalnya merupakan budaya khas masyarakat Bali yang diperuntukkan untuk pelaksanaan kegiatan spiritual. Namun, seiring berjalannya waktu ritual ini menjadi wisata yang menawan hati wisatawan, sehingga berkembang menjadi destinasi pariwisata yang digemari oleh berbagai kalangan “Awalnya dari masyarakat bali, sehingga seiringnya waktu berkembang, mulai dari wisatawan domestik sampai internasional ini, bermula dari wisata spiritual, sehingga ini mungkin berkembang berkembang, berkembang, disini menjadi destinasi” tuturnya ketika diwawancara di Fakultas Brahma Widya, UHN pada Kamis (18/7).
Tradisi melukat penting bagi umat Hindu karena menjadi media pembersihan jasmani dan rohani dengan ramuan utama dari ritual melukat selalu dilakukan di dekat sumber air dan medianya pun melalui air “Kalau bilang penting, ini sangat penting ya karena kita secara hindu itu pertama itu kan sebuah penyucian melukat itu adalah penyucian diri arti kata dilihat dari kata ‘lukat’ itu melukat itu kan ‘sulukat’ begitu, ‘su’ yang artinya baik dan ‘lukat’ itu penyucian, (artinya) penyucian yang baik”. Berkaitan dengan penyucian diri, dalam pelaksanaan ritual keagamaan manapun menurut Wiranjana pasti selalu berkaitan dengan pembersihan diri agar bersih secara jasmani dan rohani.
Air, yang menjadi media utama dalam pembersihan diri juga menjadi nilai paling substansial dalam ritual melukat. Sejatinya makna penggunaan air dalam ritual pun dapat dimaknai secara filosofis dalam sastra Hindu “Terkait dengan filosofi air, ini tentu ada. Filosofi air itu dalam hindu, bisa dilihat, air itu merupakan manifestasi dari dewa wisnu, dewa pemelihara. Ada juga sumber sastra yang menyebutkan, di dalam weda itu mengatakan bahwa air ini adalah merupakan penyembuh penyakit. Itu ada sastra yang menyebutkan begitu. Tidak semata mengatakan bahwa ini omong belaka ada memang sumber sastranya menyebutkan begitu” tuturnya.
Meninjau terkait sumber sastra tersebut, terdapat beberapa sloka dalam RgVeda (Salah satu dari empat kitab suci agama Hindu-red) yang menyebutkan bahwasanya penggunaan air memang diperuntukkan sebagai obat dan penyembuh penyakit. Dalam RgVeda I.23.20 menyebutkan bahwa “Air menyembuhkan segala penyakit”, sementara RgVeda X. 137.6 menyebutkan “Air adalah obat, ia mengusir penyakit-penyakit, ia menyembuhkan semua penyakit”, sehingga filosofi air yang tertuang di dalam sloka Veda digambarkan berperan sangat penting dan memiliki peranan utama dalam penyembuhan dan memberikan kesehatan secara fisik dan mental.
Penggunaan air dari segi kesehatan apabila ditinjau dari pandangan medis, tentunya berperan secara substansial terhadap kesehatan fisik utamanya berkaitan dengan homeostasis atau keseimbangan tubuh, karena tubuh memerlukan air untuk menjaga sistem kerja tubuh agar bekerja sesuai fungsi koridornya “ini kan dari tubuh kita manusia itu dua pertiganya terdiri dari air kan begitu. Nah jika lihat sedikit saja kita kekurangan air, kita akan mengalami gangguan keseimbangan, itu fakta itu, begitu kan misalkan. Kita dehidrasi ini otomatis secara tidak langsung konsentrasi kita akan melemah, penurunan kesadaran, kan begitu. Lama-kelamaan kalau berkurang-berkurang itu menyebabkan bisa, bisa atau menyebabkan kematian, kalau kekurangan air ini.” tutur Wiranjana.
Menelisik lebih jauh terkait ritual melukat, Wiranjana menuturkan bagaimana suatu lokasi bisa dijadikan destinasi melukat. Pada umumnya, lokasi yang memiliki ciri khas utama berasal dari sumber mata air yang berasal langsung dari alam, terutama air jernih yang mengalir sangat cocok menjadi tempat melukat. Di samping itu, terdapat tempat suci yang disakralkan oleh masyarakat sekitar, sehingga lambat laun lokasi tersebut menjadi destinasi untuk ritual melukat, apalagi masyarakat meyakini bahwasanya mata air yang mengalir tersebut sebagai media penyembuhan “Mungkin awalnya ini adalah tempat pemandian biasa kan, lama kelamaan, lama kelamaan berkembang seiringnya waktu mungkin ada sebuah keyakinan dari seseorang terutama orang-orang sekitar yang pertamanya menyebarkan berita-berita ini begitu kan. Dia melakukan mandi di sana dengan menghaturkan sesajen mungkin kan, akhirnya dia mengalami kesembuhan misalnya kan begitu. Seiring waktu berkembang berkembang dari mulut ke mulut, akhirnya dari mulut itu sampai ke media sosial menjadikan tempat itu layak untuk dijadikan tempat melukat gitu ” tuturnya.
Tradisi Melukat sebagai Pariwisata Alternatif
Menilik lebih jauh terkait khasiat air dan bagaimana air diperuntukkan dalam ritual melukat, Tim Konvergensi Media menyambangi Taman Beji Griya Waterfall sebagai destinasi wisata melukat yang terletak di daerah Punggul, Kecamatan Abiansemal, Badung. Menurut penuturan I Dewa Gede Mas Yoga Astawa (52) selaku General Manager yang sekaligus bertugas sebagai Healer, ritual melukat ini memiliki segudang manfaat melalui interaksi dan konektivitas energi yang bersumber dari alam “Penglukatan digunakan untuk pembersihan diri untuk penyakit dan non medis. Energi yang tulus dibantu oleh alam untuk membersihkan. Selain itu dapat digunakan untuk memohon jodoh, rejeki, dan lain-lain,” tuturnya ketika diwawancara pada Sabtu, (29/06).
Dewa Gede juga menuturkan alasan mengapa saat ini banyak wisatawan non-Hindu bahkan wisatawan asing yang melaksanakan ritual melukat. Rupanya, hal tersebut dikarenakan kegiatan ini tidak memaksa seseorang percaya dari sudut pandang umat Hindu Bali, melainkan sebaliknya. Mereka bebas berdoa sesuai dengan kepercayaan yang mereka anut dan menggunakan bahasa yang mereka kuasai. Pada intinya mereka hanya harus memohon dengan hati yang tulus. “Kita menggunakan waterfall sebagai ikonnya. Kenapa waterfall? Karena waterfall sebagai daya tariknya,” imbuhnya.
Ketut Bagus Adi Saputra, seorang pemandu (Tour Guide) di Taman Beji Griya Waterfall memberikan gambaran singkat mengenai pelaksanaan ritual melukat ini. Adi menuturkan bahwa di Beji Griya Waterfall terdapat 25 pelinggih yang berstana di lokasi melukat ini. Ke-25 pelinggih memiliki peranan masing-masing seperti menjaga kawasan penglukatan, memberikan rezeki, kesehatan, pengobatan, keturunan dan sebagainya “beliau di sebelah kanannya adalah ratu lingsir, nah ratu lingsir atau manifestasi dari sanghyang Siwa atau disimboliskan sebagai ibu pertiwi, nanti kakak bisa meminta pengobatan apapun mau sakit medis maupun non medis, untuk keluarga, untuk diri sendiri, untuk siapapun boleh, serta meminta penglukatan sebagai (penyembuhan)”. Selain itu, Adi mengungkapkan bahwa terdapat pelinggih lainnya yang ditujukan untuk memohon pengobatan, pelinggih tersebut adalah tamba sunia istri dan tamba sunia lanang “tamba adalah pengobatan dan sunia adalah alam, pengobatan dari alam, nah nanti kakak bisa mendapatkan pengobatan dari yang lanang sama yang istri, kayak perempuan sama laki-laki” imbuhnya.
Selain memohon penyembuhan dan pengobatan kepada dewa-dewi serta pelinggih yang berstana di lokasi penglukatan, kegiatan melukat di Beji Griya Waterfall juga menyuguhkan pengobatan mental dengan media air terjun. Terdapat dua air terjun utama yang disebut penglukatan Dewi Gangga yang terletak di posisi bawah dan atas. Kedua air terjun memiliki tujuan masing-masing, yakni air terjun di bagian bawah yang digunakan untuk mengeluarkan energi negatif dengan menempelkan tangan di dinding dan merasakan kucuran air terjun yang mengenai sekujur tubuh “ (orang) yang memiliki rasa unek unekan rasa iri hati rasa dendam apapun yang ga enak bisa teriak di sana 3 kali, atau nangis 3 Kali sepuasnya keluarkan saja semuanya rasa negatif apapun yang nggak enak” Tutur Adi. Sementara air terjun di bagian atas digunakan sebagai media penarik energi Positif dari alam seperti menarik kebahagiaan, keuntungan serta kesejahteraan “di sana boleh tertawa, nyanyi, atau nari silakan” imbuhnya.
Lorraine, seorang wisatawan yang datang dari USA membagikan pengalamannya setelah melakukan ritual melukat di Taman Beji Griya Waterfall. Wisatawan asing yang sudah menetap sejak empat hari sebelumnya itu mengaku mendapatkan rekomendasi untuk melakukan ritual pembersihan ini. Sebelumnya, ia hanya melihat proses ritual ini melalui media sosial, namun melakukannya secara langsung adalah pengalaman baru baginya. “I mean I just, the people I guess, the areas cool, the waterfall are cool (Maksud saya, orang-orangnya saya rasa, tempatnya keren, air terjunnya juga keren -red).” Berbekal dari pengalamannya itu, ia bahkan mengaku akan merekomendasikan Taman Beji Griya Waterfall ke teman dan keluarganya yang hendak berlibur ke Bali. Jika ditanya pandangannya mengenai perbedaan antara tempat ini dengan tempat-tempat wisata hiburan lainnya, Lorraine lebih menyukai tempat tenang seperti ini. “I like this, like you learn alot more versus just the other type of tourism (Saya suka ini, seperti Anda belajar lebih banyak dibandingkan dengan jenis pariwisata lainnya -red),” ungkapnya mengakhiri wawancara.
Terkait dengan kegiatan ritual Melukat, Wiranjana mengungkapkan bahwa kegiatan ini harus dilestarikan oleh semua pihak dan perlunya pemberian informasi dan pemahaman bagi wisatawan untuk menjaga dan memahami etika dalam kegiatan melukat sesuai dengan pakem yang berlaku “Karena ini penting sekali, banyak yang kita lihat atau kejadian-kejadian itu pelecehan di tempat melukat itu, di tempat corak itu mudah-mudahan kedepannya tidak akan jadi lagi di bali” Tuturnya (18/7).
Wiranjana juga menambahkan bahwasanya memang terdapat target biaya tertentu untuk melukat yang menurutnya masih wajar, namun apabila kegiatan melukat justru hanya menjadi sarana komersialisasi semata tentunya hal tersebut bisa mengakibatkan penyimpangan dari Tradisi Melukat yang seharusnya berasal dari keyakinan dan keikhlasan setiap insan “Bagaimana kedepannya itu sebuah tantangan nanti biar lama-lama ya gak ribut ini kan, karena ini (Wisata melukat) baru kan baru-baru berkembang, lama-kelamaan sudah mulai menjadi materialistis menjadi sebuah omset, ketika omset itu sudah mulai mempengaruhi lama kelamaan kan ritual ini akan ribut bisa begitu. Mudah-mudahan tidak, itu harapan saya kan secara pribadi gitu” Pungkasnya.
Penulis : Maya, Tegar
Penyunting : Dyana, Gung Vita