Kampung Bugis di Tanah Serangan Tak Ramah, Tunggu Saja Punah

Dua agama hidup di satu lahan itu tak mudah. Inilah kelurahan Serangan. Diantara komunitas kampung Bugis (islam) dan masyarakat setempat (hindu). Mampukah, bertahan jika warganya tak ramah

“Kampung Bugis adalah wujud masuknya keragaman ke Bali. Dimana Bugis bagian dari dinasti sistem kerajaan di Bali,” ungkap I Wayan Geriya, seorang antropolog budaya, Tim Ahli Lembaga Pelestarian Kebudayaan Bali dan Kelompok Ahli Pemerintah Kota Denpasar. Secara etnis, etnis Bali sangat dominan (sekitar 67%). Keseluruhan etnis yang tergabung dalam etnis nusantara di Kota Denpasar dalam tahun 2007 berjumlah 22 etnis. Etnis Bugis salah satunya.

Sementara, untuk bentuk kerukunan antar umat beragama di Kelurahan Serangan, tak perlu diragukan lagi. “Persaudaraan umat islam dengan saudara hindu sudah ditanamkan dari zaman nenek moyang bahkan lebih akrab lagi. Pada waktu itu mereka saling mengisi, jika umat hindu ada upacara di pura, maka yang menjaga baik untuk keamanan sellu melibatkan umat islam. Begitu juga dengan perayaan umat islam,” terang M. Mohadi, Kepala Lingkungan Kampung Bugis Kelurahan Serangan Kecamatan Denpasar Selatan.

Wayan Geriya menambahkan juga bahwa pada saat umat islam di Kampung Bugis melaksanakan ibadah haji, maka yang mengurus masalah  keberangkatan dan kepulangan para haji adalah masyarakat setempat di Serangan. “Spirit di atas orang Bali dan Bugis mewujudkan spirit multikultural. Hal itu modal bersama untuk menguatkan Bhineka Tunggal Ika,” jelas Wayan Geriya yang beralamat di Desa Batubulan, Gianyar.

Begitu juga dengan upacara piodalan di pura Sakenan, masyarakat kampung Bugis akan melakukan kegiatan ngayah dalam membantu pembuatan penjor maupun keamanan. “Bahkan tak tanggung-tanggung mereka akan ngejot. Baik islam maupun hidu sama-sama member makanan,” tegas Wayan Karma, Kasi Pemtrantib (Pemerintahan dan Ketertiban) Kelurahan Serangan.

Namun, apa yang terjadi kala masyarakat Kampung Bugis tak ramah menyambut kedatangan masyarakat luar kelurahan Serangan? Fifin Diah Olivianti, salah seorang siswi SMA N 3 Denpasar  mengaku jengkel atas sikap warga bugis tersebut. “Waktu nyari narasumber untuk penelitian karya tulis, kita bertemu ketua adatnya. Kita bilang mau wawancara, tapi bapaknya mikir lama banget, pake nanya-nanya lagi. Padahal kita sudah bilang dari SMA 3 mau observasi.  Setelah kita yakinin, baru bapaknya mau kita wawancara,” ujar Fifin.

“Hal yang sama juga terjadi saat wawancara dengan kepala lingkungan Kelurahan Bugis. Padahal kita sudah dapat ijin dari kelurahan,” tambah Fifin. Tak jauh beda dengan pengalaman tersebut, pihak pencari berita ini juga turut merasakannya. Pihak narasumber selalu memberi alasan untuk tak diwawancarai hingga penolakan keras dari narasumber. Bagi Fifin, sikap tertutup masyarakat kampung Bugis ada dengan alasan untuk melindungi penduduk asli kampung Bugis agar tak tergeser dengan penduduk islam pendatang.

Wayan Geriya mengkaji hal tersebut dari sisi potensi dan hambatan multikultural. “Multikultural masih dihadapkan pada berbagai masalah, dari kecenderungan gerak eklusivisme kelompok (sikap tertutup), ketidakadilan, facktor sejarah, kultural, ekonomis. Sedangkan yang menjadi potensi rukun dalam konsep kultural yaitu kesederajatan dalam keragaman, kebersamaan, saling menerima dan menghargai dalam keragaman dan perbedaan, demokrasi budaya,” jelas Wayan Geriya.

Untuk eksis di lokasi geografis, teori peradaban mengemukakaan, jika mengedepankan teori eklusiv maka akan punah. Begitu juga dalam pelajaran biologi, speies yang tak mampu beradaptasi akan  mudah punah. Jadi, jika masyarakat Kampung Bugis tak merubah sukap tertutupnya dengan masyarakat luar, maka kita sudah tahu jawabannya beberapa tahun yang akan datang.

Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi kadar eklusive warga Kampung Bugis? Wayan Geriya menjelaskan beberapa solusi yang bisa diangkat. “Menguatkan prinsip multikultural, mengeliminasi ketersekatan yang menghambat multikulturalisme dan mengadakan FGD (Focus Group Discussion) dengan masyarakat di lingkungan kampung Bugis maupun di luar Serangan,” terang Geriya.

Untuk  menentukan keselarasan konsep, multikultural diperlukan analisis dari bidang ekologi, spiritual, ekonomi, kultural, komunikasi dan birokrasi. Multikultural bukanlah masalah, melainkan solusi untuk menebarkan harum persaudaraan. Nah, jika terus menutup diri dengan lingkungan, mampukah Kampung Bugis bertahan? Jawabannya, jelas tidak. (okta)

You May Also Like