Jalan panjang demokrasi Indonesia sedang berada di titik nadir. Demonstrasi terjadi di sana sini sampai mendorong gelombang aksi di media sosial, menyerukan reformasi yang dikorupsi. Entah benar dikorupsi atau kita memang tidak pernah ada di titik reformasi. Berbagai elemen masyarakat turun ke jalan, menyerukan aspirasi hingga mencaci-maki di media sosial dengan harapan bisa mengetuk dan mengutuk rezim hari ini.
Mahasiswa adalah satu dari bagian elemen yang turut menggugat kebijakan konyol penguasa hari ini. Salah satunya soal revisi RUU TNI, lebih tepatnya sudah disahkan menjadi UU TNI. Memang sudah seyogyanya mahasiswa menjadi garda terdepan. Ini tak sekadar persoalan historis tentang bagaimana mahasiswa dulu berhasil meruntuhkan rezim orde baru, melainkan sebuah tanggung jawab akademik dan moral sebagai insan yang terpelajar.
Namun bagaimana jadinya kalau universitas sebagai institusi pendidikan turut melanggengkan kebijakan yang tak berpihak pada demokrasi? Seperti kabar yang baru saja ramai beredar, perjanjian kerja sama institusi pendidikan dengan institusi militer dalam aspek pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaiknya kita tak buru-buru berburuk sangka, kan? Sebab segala perjanjian haruslah dilandasi itikad baik, bukankah begitu asasnya? Tak buru-buru berburuk sangka juga tak berarti harus berdiam dan menganggap ini biasa-biasa saja. Sebab bom tak selalu meledak dalam hitungan detik. “Eling, eling, eling,” maka begitu tetua dahulu mengingatkan. Tentu akan ada banyak pertanyaan, perihal apa yang menjadi urgensi untuk kerja sama?
Runtuhnya Kemerdekaan Institusi Pendidikan.
Kehadiran universitas sebagai institusi pendidikan, tidak boleh melupakan tuntutan dan tanggung jawab moralnya sebagai sebuah wadah untuk mahasiswanya mengembangkan gagasan dalam rangka mencari kebenaran dengan memerdekakan manusia sebagaimana dalam filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara.
Masuknya militer ke institusi pendidikan, bisa menjadi penanda padamnya pendar kebebasan akademik di lingkungan kampus. Pertama, ini akan menjadi pukulan telak bagi marwah universitas sebagai laboratorium peradaban. Pemenuhan Tri Dharma yang semestinya bernapaskan kreativitas dan integritas, bisa celaka kalau terjerembab dalam sistem yang homogen dan satu komando. Kecemasan itu berkewajaran, sebab dalam ruang-ruang kelas dan organisasi, mahasiswa belajar berpendapat dan berdebat. Bukan tunduk pada kata “siap” dan meminta “izin”. Sungguh disayangkan, kalau gagasan harus patuh pada batas-batas kesopanan dan ketakutan. Mungkin, nanti, kita tidak (berani) mengemukakan pertanyaan, kenapa militer belajar ketahanan pangan? Atau mengapa mahasiswa harus ikut pendidikan militer? dan setelahnya, kita akan terkungkung dalam pertanyaan di benak masing-masing, sebab kepatuhan sudah menjadi budaya di institusi pendidikan.
Merefleksi sedikit, budaya universitas kebelakang memang selalu ingin seragam. Lewat berbagai kecaman terhadap nalar kritis mahasiswa yang telah diupayakan secara sistematis dengan berbagai kebijakan pragmatis seperti ancaman IPK dan waktu kelulusan, membawa mahasiswa hanya berorientasi pada nilai di atas kertas. Juga akreditasi kampus. Jelas, apa yang terjadi hari ini menunjukkan kegagapan dan kegagalan universitas dalam menyikapi situasi saat ini.
Patriotisme semu.
Kedua, dalih pendidikan dan pelatihan untuk bela dan cinta negara adalah sebuah paham patriotisme yang semu. Kita seringkali dipertontonkan serominal ala patriotis dalam bernegara.
Ini menjadi komoditas yang digaungkan dan diperjual belikan agar sepaham dengan cara-cara mereka yang berkuasa. Sayangnya, bela dan cinta negara tidak sesederhana juga tidak selalu serumit itu.Cinta dan bela negara bisa lahir dan hadir dimana saja, dalam bentuk dan rupa yang tidak selalu harus diprediksi dan diseragamkan wujudnya. Maka biarkan saja, seperti merawat hubungan, cinta tanah air itu akan mengalir dengan caranya masing-masing, termasuk dengan terus mengkritik dan mengingatkan yang berkuasa.
Di tengah huru-hara seruan TNI kembali ke barak, memberikan ruang leluasa bagi militer masuk institusi pendidikan, tentu adalah sebuah kebijakan yang tidak bijak. Lebih dari itu, jadi itikad baik yang dinilai buruk. Apabila nanti perjanjian ini tak terpenuhi, apakah mahasiswa bisa menggugat atas dasar wanprestasi? Kalaupun jawabannya iya, sayangnya tak ada harga yang pantas untuk ganti rugi atas kemerdekaan institusi pendidikan yang dikebiri.
Penulis: Dayu
Penyunting: Put