Nyepi di tengah Pandemi: Melepas Rindu, Merawat Daya Hayat

Sudah dua tahun perayaan Nyepi di Bali berdampingan dengan pandemi Covid-19. Sebagian, merindukan suasana pra-Nyepi yang riuh rendah meramu kebersamaan muda-mudi membuat hingga mengarak ogoh-ogoh. Sebagian lagi, ketika pagi menjelang, mereka telah bersiap menyambut keheningan dengan penuh hayat.

 

Kisah angen (rindu) itu salah satunya membuncah dari penuturan Made Gede Satya Narayana Maharatha. Ketika ditanya adakah kerinduan selama dua tahun tanpa pawai ogoh-ogoh, Satya begitu ia akrab disapa pun menjawab mantap. “Pastinya ada, kita para pemuda di Denpasar banyak sekali kader-kader untuk melestarikan budaya. Apalagi kreativitas mereka sekarang sudah mulai terbentuk. Sehingga mereka menunjukkan kreativitas dan dijadikan pencaharian mereka,” ujar Satya pada Senin (28/2).

Satya yang mendapat kepercayaan sebagai Ketua Panitia Ogoh-ogoh Banjar Gemeh, Desa Dauh Puri Kangin, Denpasar Barat ini pun mengarahkan segenap muda-mudi Banjar Gemeh untuk mempersiapkan ogoh-ogoh dari tahap penggarapan hingga menjelang pawai. Ogoh-ogoh yang dipersiapkan sejak 10 Februari lalu ini melibatkan 25 panitia.

 

Bercerita – Ketua panitia ogoh – ogoh Banjar Gemeh menceritakan pendapatnya terkait pelaksanaan pawai ogoh – ogoh.

Meskipun pandemi Covid-19 masih menyertai dan Bali termasuk dalam wilayah PPKM level 3, Satya dan muda-mudi Banjar Gemeh tetap melanjutkan proses pembuatan ogoh-ogoh. Hingga angin segar pun menerpa bahwa Pemerintah Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) mengizinkan adanya pawai ogoh-ogoh dengan jumlah pengarak maksimal 25 orang, telah melakukan vaksinasi sebanyak dua kali, serta wajib menerapkan protokol kesehatan dengan ketat.

Sebelum pawai diizinkan, MDA sempat mengeluarkan surat edaran terkait larangan pawai ogoh-ogoh yang menimbulkan pro dan kontra. Hingga keputusan pun berada pada memperbolehkan pawai hanya sampai wilayah banjar (wilayah setingkat RT/RW) setempat. Perubahan kebijakan yang berlangsung cepat membuat Kelihan Banjar Gemeh,  Putu Marmar Herayukti turut mempertanyakan surat edaran tersebut.

Marmar menganggap keputusan MDA tidak memperbolehkan pawai ogoh-ogoh kurang tepat. “Sebagai majelis adat, MDA itu seharusnya memperjuangkan hak-hak adat. Ada bahasa di situ yang menurut saya kurang tepat, yaitu bahwa ini bukan bagian dari agama. Kemudian konteksnya di situ seolah-olah menyatakan bahwa ogoh-ogoh itu tidak penting. Tetapi kita tidak sedang membicarakan mengenai agama, melainkan adat istiadat,” terang Marmar.

Pria yang getol melestarikan kesenian ogoh-ogoh menambahkan bahwa kesenian ini berkontribusi besar terhadap kelangsungan adat di Bali. Sebab peradaban Bali yang kian terhanyut modernitas seperti sekarang, tetap membuat para pemuda dan masyarakat masih datang ke banjar untuk berkreativitas, berdiskusi, membentuk tim, dan saling menghormati.

Sosok – Beliau menyatakan bahwa ogoh-ogoh membawa kontribusi besar terhadap pelestarian budaya ditengah modernisasi.

Pada tahun 2004, pawai ogoh-ogoh sempat dilarang dengan alasan dapat mengundang perselisihan, yang pada masa itu berdekatan dengan pemilihan umum. Namun, seiring waktu ogoh-ogoh pun menebar sisi positif yang mengundang kreativitas muda-mudi, salah satunya dengan menggunakan bahan ramah lingkungan untuk pembuatan ogoh-ogoh. “Layaknya budaya yang terus berkembang, ogoh-ogoh diminati semua kalangan. Mestinya ogoh-ogoh menjadi suatu yang membanggakan bagi kita semua,” ungkap Marmar.

Banjar Gemeh menggarap ogoh-ogoh bertajuk Pasung Maya yang pada hari Senin lalu telah rampung 90 persen dengan makna filosofi di dalamnya. “Ogoh-ogoh ini menceritakan masa sekarang, orang-orang sebenarnya kakinya susah untuk bergerak karena terpasung oleh sesuatu yang tidak ada,” jelas pria yang membuat karya patung Ratu Mas Melanting ini.

Persiapan – Proses pembuatan ogoh – ogoh bertajuk Pasung Maya oleh pemuda Banjar Gemeh.

Penjelasan tentang Pasung Maya dari Marmar berlanjut bahwa dirinya mengamati manusia masa kini menganggap media sosial sebagai satu-satunya sumber berita yang valid. Hingga melalui media sosial mulai mempeributkan hal-hal dari data hingga lainnya yang terkadang melenyapkan logika. “Maka penggambaran salah satunya adalah tanpa kepala. Mata dan telinga terdapat di perutnya, semua berbicara dan bergerak mengumpulkan data hanya mengikuti nafsunya saja. Mereka melihat, mendengar, tetapi tidak berpikir karena tidak ada kepalanya,” terangnya mantap.

Daya Hayat terhadap Nyepi 

Tradisi ogoh-ogoh hingga saat ini masih dapat mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat karena kentalnya faktor kepercayaan orang Bali akan hal-hal agama dan spiritual. Hal ini sesuai dengan yang dimaksud oleh Clifford Geertz dalam Jurnal Makna Simbolik Tradisi Ogoh-Ogoh (2018: 130), bahwa agama adalah sebuah sistem yang dipenuhi simbol-simbol, berlaku dalam meyakinkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat dalam diri manusia, yang dapat meresapi, dan bertahan lama dalam diri manusia, sehingga tampak khas dan realistis.

Peradaban manusia memang tak dapat terlepas dari simbol-simbol. Alhasil dalam koridor simbol itu, maka manusia disebut Homo simbolicum, yang selalu bersentuhan dengan simbol-simbol, akan kerap hadir dalam kehidupan sehari-hari. Manusia Bali akrab dengan simbol. Keberadaan simbol ini menyentuh ke setiap aspek kehidupan manusia Bali utamanya dalam ritual maupun adat istiadatnya.

Lahirnya simbol tidak terlepas dari kegelisahan manusia untuk memaknai diri dan apa yang dilihat dalam alam semesta yang luas. Meskipun terkungkung dalam keterbatasan analisisnya, justru menjadi sarana manusia untuk berfilsafat, memaknai segala yang ada di semesta dengan simbol-simbol. Fenomena yang terjadi di masa kini, simbol-simbol buah pemikiran masa lampau, menjadi daya hayat penciptaan karya baru, salah satunya karya seni budaya.

Simbol, rasa, dan seni ibarat proses fotosintesis. Simbol yang tercipta dihayati dengan rasa, ibarat matahari dan unsur hara yang membantu seni tumbuh dan berkembang. Kehadiran ogoh-ogoh sebagai tradisi baru sekitar era 70-an / 80-an adalah perwujudan dari pengembangan daya hayat terhadap perpaduan agama dengan tradisi di Bali. Hal tersebut dipertegas dalam Jurnal Prabangkara (Jurnal Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar) yang menyebutkan ogoh-ogoh merupakan tradisi baru. Pada awalnya berakar pada tradisi lampau. Sumber lainnya menyebutkan, tradisi pawai ogoh-ogoh di Bali disebutkan sebagai luapan rasa suka-cita setelah Presiden Soeharto menetapkan hari Raya Nyepi sebagai Hari Libur Nasional sejak tahun 1983.

Oleh karena itu, ogoh-ogoh bukanlah suatu rangkaian wajib apabila menyentuh ke ranah ritual Tawur Kasanga (upacara penyucian berskala besar). Akademisi Putu Eka Guna Yasa menjelaskan dalam pustaka Sundarigama, ogoh-ogoh tidak disebutkan sebagai sarana upacara dalam Tawur Kasanga.

Perayaan Tawur Kasanga adalah usaha untuk melakukan harmonisasi dengan energi destruktif semesta. “Memaknai inilah energi destruktif itu diwujudkan dalam bentuk ogoh-ogoh. Jadi, tidak harus atau wajib, tetapi dengan ogoh-ogoh kita seharusnya sadar bahwa semesta punya wujud Rudrarupa,” jelas Guna Yasa. Menurutnya jika hubungan manusia tidak harmonis dengannya (semesta dengan wujud Rudrarupa), maka hal itu dapat mendatangkan berbagai bentuk bahaya.

Guna Yasa mengungkapkan baginya pawai ogoh-ogoh sangat memungkinkan apabila dengan menaati protokol kesehatan. Hal itu ia sampaikan lantaran segenap masyarakat Bali sudah mulai beradaptasi dengan pandemi. “Berbagai upacara yang dilakukan dengan antusias oleh masyarakat seperti Ngaben, Pawiwahan, dan yang lainnya berjalan seperti biasa. Tampaknya, sudah ada semacam kesadaran dari masyarakat untuk melakukan protokol kesehatan dengan ketat sebagai pencegah penularan,” jelas Guna Yasa.

Nyepi tak hanya sebatas memperingati pergantian tahun Saka. Nyepi lebih dari itu, Catur Brata Penyepian adalah sarana pengendalian diri dalam keheningan ruang dan waktu. Laut, menjadi tujuan dari Melasti, sebuah ritual beberapa hari sebelum berlangsungnya Hari Raya Nyepi. Lantas, menurut petunjuk lontar Sang Hyang Aji Swamandala, Tawur Agung Kesanga merupakan upacara Bhuta Yadnya. Yadnya ini dilangsungkan manusia dengan tujuan membuat kesejahteraan alam lingkungan. Sehingga, keberadaan Nyepi merupakan bentuk netralisir setelah berlangsungnya upacara yang besar.

Tak banyak media yang menuliskan realita Nyepi di Bali. Tampak luar, Nyepi begitu tenang dan tentram. Namun, tidak ada yang dapat menjamin pelaksanaan Nyepi ditiap-tiap rumah tangga telah terjamin sesuai dengan Catur Brata Penyepian. Sebab, pada akhirnya bhakti terhadap Sang Pencipta adalah rahasia antara manusia dengan Sang Pencipta pula.

Meskipun demikian, sudah selayaknya dalam keheningan yang sempurna, manusia Bali merenungi segala pikiran, perkataan, dan perbuatan. “Orang-orang lebih suka mengkaji pengertian upacara sebuah hari raya tinimbang menghayati falsafahnya”. Jangan sampai kita berakhir seperti yang diutarakan penulis Gde Aryantha Soetama dalam esaynya yang bertajuk Ning Nol.

Pada akhirnya, keberadaan ogoh-ogoh adalah suatu kebolehan dalam menyambut Nyepi. Namun, jangan sampai memaknai Nyepi identik akan kemeriahan semata tinimbang kesederhanaan. Boleh saja banyak yang tak setuju dengan pernyataan tersebut. Namun, bila bertanya dari lubuk hati terdalam, sudahkah kita menyepi dengan penuh daya hayat?

 

Reporter: Manogar, Restu, Lia, Wahyu, Lefira, Ayu, Rimba, Yuko, Siti, April, Nadya

Penulis: Yuko, Restu, Pandea

Penyunting: Kamala

You May Also Like