Ia jatuh cinta pada laut sejak belia. Lahir di keluarga penyelam, membuat Nyoman Swastika terus mengeksplorasi keindahan laut dalam. Panggilan hati untuk konservasi kemudian bertalu-talu. Langkahnya dimulai dengan melakukan aksi lingkungan dalam komunitas Rare Segara.
Suasana kantor Nyoman Swastika yang penuh deretan pigura hasil potret satwa dan terumbu karang di laut dalam menjadi bukti kecintaannya pada laut. Ia duduk santai pada bangku kayu di kantor sekaa selam “Tulamben Guardian” sore itu (24/7). Matanya memerah, Swastika baru saja usai menyelam. Aktivitasnya tersebut telah dilakoni Swastika sejak ia duduk dibangku Sekolah Dasar (SD). Paling tidak, Swastika kecil dapat menyelam hingga kedalaman 5meter dari permukaan air laut kala itu. Semuanya dipelajari pria kelahiran 1983 ini dengan otodidak. “Kakak tertua saya yang mengajarkan menyelam,” ucapnya. Hingga kemudian Swastika serius belajar menyelam di tahun 2008 dengan capaian menyelam mencapai kedalaman 40 meter.
Semakin dalam ia menyelam, Swastika menyadari, konservasi haruslah dilakukan. “Saya tau juga keindahan lautnya, jadi tidak tega liat rusak begitu saja,” ujarnya termenung melihat langit-langit kantor. Maka dimulailah dari gerakan kecil yang dibangun dalam hatinya untuk mempercantik kawasan tersebut, salah satunya dengan turut menyelam rutin untuk penanaman dan pemeliharaan terumbu karang.
Bentuk kecintaan dan kepeduliannya terhadap wisata laut tidak hanya sampai di situ. Pria kelahiran tahun 1983 ini telah mengambil langkah terdepan, bahkan ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai pegawai hotel agar dapat dengan bebas mengelola dan mengembangkan potensi yang ada di desanya. Kerja kerasnya banyak menuai apresiasi dari masyarakat ditempat tinggalnya sehingga Swastika kemudian dipercaya menjadi kepala Dusun Tulamben. “Karena merasa terpanggil kalau saya harus membenahi dusun ini. Saya ingin mengembangkan apa yang saya dapatkan di luar desasaya,” tandasnya.
Selanjutnya, sebelum Gunung Agung meletus di tahun 2017, Nyoman Swastika mencetuskan berdirinya Komunitas Rare Segara Tulamben. Nama ini diambil dari kata Rare yang berarti anak-anak dan Segara yang berarti dekat dengan laut. Rare Segara merupakan sebuah komunitas yang anggotanya berasal dari Banjar Dinas Tulamben, yang dimana kelompok anak remaja sudah ditananmkan nilai-nilai kebaikan serta tekad yang kuat bergerak demi tanah tercinta. Komunitas Rare Segara terbentuk setelah melihat banyaknya anak-anak yang tidak memiliki kegiatan pada hari libur sekolah, khususnya dihari Minggu. Kesempatan inilah yang digunakan Nyoman Swastika agar anak-anak Tulamben dapat mengisi waktu luang dengan kegiatan yang lebih positif, yaitu menyisir beberapa tempat di Tulamben untuk membersihkan sampah. “Pertama kali yang (pembersihan sampah-red),” ungkap Swastika.
Seiring dengan berjalannya waktu, Swastika pun berhasil merangkul lebih banyak anak-anak dari desanya untuk ikut berpartisipasi dalam Komunitas Rare Segara. Pada awalnya hanya terdapat sekitar 30-35 anak dan angka ini terus mengalami peningkatan sampai menjadi sekitar 50 orang. Rentang umurnya pun bervariasi dari setiap anggota. “Kalau yang dari luar desa, saya belum berani ajak. Mereka yang ikut bahkan paling kecil umur 5 tahun, itu anak saya sendiri, mulai dari pendidikan TK sampai SMA,” tambahnya.
Kegiatan pemungutan sampah yang dilakukan komunitas Rare Segara ini tidak hanya berfokus pada wilayah pantai, tetapi juga kawasan sekitar desa. Hal ini menyiratkan bahwa harus adanya keseimbangan antara wilayah daratan dan juga wilayah lautan. “Kalau kita bicara sampah, tidak mungkin di laut menghasilkan sampah, pasti dari darat. Kita di darat dulu benahi, nanti di laut kalau memang perlu dibenahi, kita benahi,” jelasnya dengan tegas.
Nyoman Swastika juga memberikan pengarahan dalam pengelolaan kawasan wisata laut ini agar pemberdayaannya dapat lebih terfokus pada tujuan bersama. Selain itu, kawasan wisata yang ada di Desa Tulamben ini juga mendorong masyarakat desa untuk tetap menjaga dan mengelola desanya dengan baik. “Karena kita juga kawasan pariwisata, siap tidak siap harus benahi secara lokal dulu, tidak mungkin orang luar yang harus memperbaiki,” ujar Swastika.
Rasa peduli yang tinggi terhadap potensi desa, tidak membuat pria 38 tahun ini pantang menyerah dan putus asa. Sebagai kepala dusun, beliau tetap ingin memberikan dukungan dan support bagi warga desa terutama komunitas Rare Segara untuk tetap menjalankan kegiatan konservasi rutinnya, yaitu pemungutan sampah. “Kalau masalah lingkungan, saya berusaha untuk buat tempat yang berbeda. Ada darat dan laut, coba kita menjaganya dengan baik,” jawabnya.
Beliau juga mengungkapkan jika selama ini pendanaan untuk komunitas Rare Segara masih berasal dari dana pribadi. “Biasanya setelah kegiatan saya kasih teh botol, teh gelas, kalau ada snack ya saya juga kasih.”
Terbentuknya komunitas Rare Segara ini tentunya membawa dampak dari berbagai sisi, baik dari sisi kawasan objek wisata maupun sisi anak-anak yang tergabung dalam komunitas Rare Segara. “Pencapaiannya sih, mungkin lingkungan kita jadi bersih. Tidak terlalu besar untuk capaiannya. Itu bagaimana biar mereka bisa diedukasi lebih tinggi, bagaimana lingkungan kita juga bersih dari sampah plastik, mereka juga diedukasi bagaimana cara membuang sampah yang benar, membuang sampahnya tidak dibuang begitu saja,” tandasnya.
Terakhir, Swastika juga mengharapkan kerjasama yang baik dari semua pihak agar kawasan desa maupun objek wisata yang ada di Desa Tulamben ini tetap terawatt serta terjaga dengan baik. “Harapan kedepannya adalah semua pihak bisa bekerja sama dengan baik dalam menjaga lingkungannya. Kemudian, kelompok-kelompok kecil di sekitar bisa diperhatikan dengan membantu secara moral dan material agar bisa eksis kedepannya.” Tutup Swastika dengan mata yang masih merah itu.
Reporter: Putri, Salya, Galuh
Penulis: Tara, Salya
Penyunting: Galuh