Balada Reformasi: Masihkah Kita ‘Merdeka’?
Indonesia pernah mengalami masa kelam yang terekam pada benak setiap insan yang merasakan, tercatat pada rezim yang kelak dikenal dengan nama Orde Baru (Orba). Masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto sebagai kepala negara menggantikan Soekarno dipenuhi lika liku yang pelik. Pembahasan soal bagaimana keadaan Indonesia saat itu diulas kembali dalam pelajaran Sejarah saat di bangku sekolah, membekali seluruh generasi Indonesia agar tak lupa akan sejarah Indonesia, sebelum akhirnya mencapai titik reformasi. Tak lupa bagaimana pada saat itu masyarakat dibuat ketakutan hanya untuk bersuara dan menyampaikan aspirasi. Tak lupa bagaimana pers dibredel, koran-koran dengan isi yang dianggap mengancam penguasa ditarik, tak diizinkan untuk terbit dan beredar. Setelah peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) misalnya, sebanyak 12 penerbitan kehilangan Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Izin Cetak (SIC), seperti koran Indonesia Raya, Harian KAMI, Pedoman, dan Abadi. Masih pada rezim yang sama, Tempo pun tak luput dari pembredelan yang dilakukan negara saat itu. Per 21 Juni 1994, Majalah Tempo dilarang untuk terbit kembali. Berbagai bentuk pembungkaman pada media pers saat itu cukup masif, dirasakan oleh hampir seluruh jurnalis yang dengan berani mengkritik mereka dan kemudian dianggap sebagai pengusik, menyingkap seluruh cacat yang sudah sepatutnya diketahui masyarakat.
Kondisi saat itu diperparah dengan situasi pemerintahan yang lekat dengan militer. Tentara Nasional Indonesia (TNI) diberikan kebebasan untuk mengambil peran dalam bidang sosial-politik, menduduki jabatan yang seharusnya diisi oleh aparatur sipil negara. Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1982 (atau yang saat ini Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002) dikatakan bahwa angkatan bersenjata sebagai kekuatan sosial bertindak selaku dinamisasi dan stabilisator. Guna mengimplementasikan fungsi tersebut, angkatan bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkokoh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan. Pemberian kewenangan pada angkatan bersenjata untuk menduduki posisi pemerintahan kemudian memberikan berbagai dampak signifikan. Menguatnya kedudukan militer di tengah kericuhan negara menjadi boomerang saat itu, untuk menjalankan fungsi stabilisator mengharuskan mereka untuk menekan segala gerakan yang dianggap menjadi pengganggu bagi jalannya pemerintahan saat itu. Menekan dalam hal ini bermakna membatasi akses dan ruang gerak dari masyarakat sipil, terutama kelompok massa dan media yang memiliki pemikiran yang bertentangan dengan pemerintah. Hingga akhirnya muncul pertanyaan baru, kepada siapakah sebenarnya mereka berpihak? Rezim yang menyiksa atau rakyat yang hampir binasa?
Menyaksikan apa yang terjadi hari ini, boleh dikata amat memilukan. Pemandangan yang terjadi belakangan ini bak serpihan-serpihan kayu dari lukisan usang dengan goresan cerita yang masih tergambar jelas. Seperti kisah lama tentang orde baru. Usianya boleh rapuh nan lapuk dirayap waktu. Namun memori berwarna hitam kelam yang pernah terjadi, takkan memudar seperti jejak di pasir pantai. Kemunduran reformasi, mungkin ini adalah frasa yang tepat untuk menggambarkan kondisi saat ini. Hal itu tentu berdasar, dilihat dari bagaimana para peninggi dan penguasa di Indonesia dengan seenaknya menginjak mereka yang dianggap tak dapat bertindak. Satu per satu, kebijakan di era kepemimpinan baru ini membuat rakyat menggelengkan kepala. Baru-baru ini, perdebatan mengenai Revisi Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 (atau yang sekarang sudah sah menjadi Undang-Undang), menarik perhatian. Terdapat beberapa bunyi pasal yang diduga akan menjadi masalah jika dijalankan, seperti Pasal 7 yang menyoal tentang operasi militer untuk perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP). Sejak 20 Maret 2025, saat UU TNI disahkan di Gedung Senayan, TNI memiliki dua tugas pokok tambahan dalam operasi militer selain perang, yakni membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber dan membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri. Sebetulnya, Indonesia sudah memiliki lembaga sendiri yang berperan dalam menjaga keamanan siber secara nasional, yakni Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Patut menjadi perhatian tentang bagaimana dua lembaga ini nantinya tidak akan tumpang tindih dalam menjalankan tugasnya? Kekhawatiran selanjutnya, sejauh mana makna ‘menjaga keamanan negara di ruang siber’ akan berjalan? Apakah ketika kita memberikan kritik secara terbuka di sosial media maka akan dianggap mengancam keamanan negara? Apakah ketika rakyat berbondong-bondong untuk bersatu dan bersama-sama melawan akan dianggap seperti lalat dalam makanan mereka?
Tak hanya pasal tersebut yang diprediksi akan menjadi masalah, tetapi juga Pasal 47 yang membahas soal kementerian/lembaga yang dapat diduduki oleh TNI aktif. UU TNI sebelumnya sudah menentukan terdapat sepuluh kementerian/lembaga yang dapat diduduki oleh TNI tanpa perlu mengundurkan diri dari jabatannya. UU TNI yang baru menambahkan empat lembaga/kementerian yang dapat diduduki oleh prajurit aktif. Pemberian wewenang dan keleluasaan pada TNI untuk menduduki kursi pemerintahan dapat menjadi pilihan yang gegabah. TNI dilatih untuk menjaga keamanan negara, menjadi garda terdepan dengan berbekal senjata. Bukan menjadi hal yang tidak mungkin akan terjadi intimidasi dan operasi berbasis kepentingan pribadi jika wewenang tersebut diluaskan. Bahkan tidak ada yang dapat menjamin kebijakan tersebut tidak akan jauh lebih diperluas di masa yang akan datang, seperti wewenang untuk menjabat sebagai kepala daerah atau mungkin kepala negara.
Kembali tergores cerita itu, dalam lembar perjalanan Indonesia, yang saat ini disebut-sebut bernama Reformasi. Alurnya kembali lagi, begitupun konflik dan kebrutalan rezimnya. Busuknya, kembali lagi merebak dan menjebak hak yang dituankan dengan nama kebebasan. Di tengah riuh konflik penolakan UU TNI, pers hadir membersamai perjuangan masyarakat dalam menjaga demokrasi dalam negeri agar tak kian memudar marwahnya. Boleh juga disebut, bagai nafas dalam kehidupan demokrasi yang kini sedang terengah-engah. Bagaimana tidak? Kebebasan yang menjadi nafas kehidupan demokrasi kini sedang dijerat kuat oleh penguasa. Dikekang dan dipukul mundur. Seruan perlawanan rakyat Indonesia dan kritik serta pemberitaan pers mengenai kebijakan-kebijakan bobrok yang disahkan bukannya dijadikan pertimbangan malah langsung ditendang.
Teror kepala babi dan enam bangkai tikus yang ditujukan kepada Media Tempo adalah bukti nyata penindasan dan intimidasi terhadap kebebasan pers yang kini terulang kembali, bahkan lebih keji. Merampas kehidupan dari makhluk bernyawa demi menindas dan mengancam wartawan perempuan. Luka kebebasan itu kian menanah kala mendengar tanggapan Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi terkait teror kepala babi tersebut. “Sudah dimasak saja,” begitu katanya. Jelas terlihat bahwa sikap tersebut menunjukkan nihilnya empati atas pelanggaran terhadap kebebasan pers yang tersematkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Pada sederet aksi perlawanan yang disemarakkan oleh mahasiswa dan masyarakat di beberapa daerah, sebagian besar tak lepas dari jerat kekerasan aparat dan sosok-sosok tanpa seragam. Padahal, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Tampak kontradiktif, bukan? Lucunya lagi pelakunya merupakan pihak yang diamanatkan tugas untuk mengayomi masyarakat. Masih seperahu dengan yang dialami massa aksi, paramedis dan pers mahasiswa yang turut hadir dalam aksi juga tak luput dari kebrutalan aparat. Lagi-lagi UU tentang perlindungan pers dipertanyakan penerapannya. Belum lama ini, muncul kabar tentang kekerasan yang dialami beberapa anggota pers mahasiswa kala melakukan liputan dalam aksi #TolakRevisiUUTNI di Gedung DPR RI (20/03) dan Gedung DPRD Kota Malang, serta di berbagai titik aksi lainnya yang mungkin tak terlepas dari tindak represi aparat, tetapi tak seluruhnya terpublikasi luas. Meskipun pegiat pers telah menggunakan tanda pengenal sebagai jurnalis, tetapi sepertinya aparat tak paham fungsi kerja jurnalis. Bahkan alat komunikasi yang merupakan ranah privasi turut dirampas. Tindak represi yang dilakukan semakin kuat membuktikan bahwa kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia telah terkikis, bahkan nyaris habis. Tak hanya menyasar pers, tim paramedis yang menjalankan tugasnya pun tak luput dari kebobrokan aparat tersebut. Padahal dalam medan perang sekalipun, sang kesatria tak boleh menodongkan senjatanya kepada musuhnya yang tak bersenjata (dalam keadaan tangan kosong).
Kebebasan pers adalah kebebasan masyarakat. Harapan terakhir bagi suara-suara yang tak pernah didengar sampai ke permukaan. Selayaknya anjing pelacak yang selalu sigap dan peka mengendus aroma-aroma ketidakadilan dan melantangkannya. Berirama pula dalam jemari yang selalu berkutat dengan mesin tik dan pena yang tak pernah habis tintanya dalam menorehkan cerita pelik yang terjadi. Namun hari ini, kebebasan berekspresi seolah-olah hanya seonggok daging segar yang ingin dikoyak habis oleh mereka yang bersenjata. Jika kebebasan jurnalis dihantui belenggu fasis, bagaimana keresahan masyarakat dapat disuarakan dengan lantang?
Dalam situasi remuk redam ini, diam bukanlah menjadi pilihan. Perjuangkanlah hak kebebasan ekspresi yang tengah diguncang badai. Jangan biarkan ia perlahan padam karena kalian hanya bungkam. Jika memang ada kesibukan diri untuk menggapai mimpi yang dicita-citakan. Jangan lupakan tanah tempat di mana benih mimpimu itu ditanam dan diperjuangkan untuk tumbuh. Jangan lupa untuk menjaga ibu pertiwi yang kini sedang lara dibelenggu luka pengkhianatan terhadap kemerdekaan. Perjuangan tidak hanya dengan turun ke jalan, ada banyak cara untuk memperjuangkan kebenaran. Terlebih sekarang kita dikaruniai kemajuan teknologi digital dan media sosial yang memudahkan arus penyebaran informasi. Mungkin tampaknya hanya hal kecil, tetapi sekecil apapun perjuangan tetaplah perjuangan. Jangan lupa bahwa pohon besar yang menjulang tinggi nan tumbuh besar juga berawal dari sebuah biji kecil.

