Tepat 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005 ledakan bom meluluhlantakkan Pulau Dewata, tidak ada yang merasakan dampak bom Bali lebih dari korban, sektor pariwisata, dan masyarakat Bali itu sendiri.
Pengantar
Malam hari, 12 Oktober 2002, aksi terorisme membombardir beberapa titik wilayah di Bali, dua ledakan bom pertama terjadi di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali, pada pukul 23.05 WITA. Selang 10 menit, tepatnya pukul 23.15 WITA, ledakan bom terakhir terjadi di Renon, dekat kantor Konsulat Jenderal Amerika Serikat dan merenggut 202 korban jiwa serta 209 orang luka-luka. Mayoritas korban jiwa tersebut adalah turis yang berasal dari Australia dengan jumlah 88 korban jiwa (Adriyanto, 2022). Tragedi kemanusiaan tersebut jelas meninggalkan luka dan rasa takut bagi masyarakat Bali, termasuk para turis. Ironisnya, hal ini membuat Bali yang awalnya ramai pengunjung sontak kehilangan hingar bingarnya, kunjungan wisatawan domestik hingga mancanegara terjun bebas.
Dikutip dari Tempo, Bom Bali I merupakan rencana balas dendam dari peristiwa di Ambon dan Poso. Dalam hal ini para teroris tersebut melakukan balas dendam karena banyaknya umat muslim yang terbunuh akibat konflik tersebut. Tidak hanya itu, dipilihnya Bali sebagai tempat pengeboman karena Bali memiliki daya tarik Internasional dan pandangan dunia akan lebih tertuju ke Bali dibandingkan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Sementara itu, para pelaku Bom Bali I ini juga tergabung dalam jaringan Darul Islam (DI), organisasi penerus Negara Islam Indonesia (NII). Ali Imron, salah satu pelaku Bom Bali I menyatakan bahwa rencananya bom akan diledakkan tepat 1 tahun tragedi WTC, 11 September 2002. Namun, Amrozi yang juga terlibat dalam aksi tersebut tidak menyanggupi keinginan Ali Imron karena belum memiliki kesiapan yang matang.
Anggapan itu tidak salah, sebab Bali memang menjadi salah satu destinasi tersohor di dunia. Sejak dulu, Bali memiliki hubungan erat dengan dunia barat. Melihat ke belakang, menurut Picard (2020), jauh sebelum pariwisata menjadi pelumas roda ekonomi masyarakat. Julukan Bali sebagai “Surga Terakhir” punya andil besar bagi promosi Bali pada abad ke-20, pengaruhnya bagai gema dari ketakjuban pengunjung-pengunjung di akhir abad ke-16. Sementara itu, wisatawan baru mulai berdatangan ke Bali pada tahun 1924, setelah pelayaran mingguan antara Singapura, Batavia, Semarang, dan Surabaya, ke Buleleng (pelabuhan Singaraja) dan ke Makassar dibuka.
Tidak dapat dipungkiri, para pemukim asing di Bali telah mengambil peran dalam promosi wisata Bali ke ranah internasional, melalui kisah-kisah perjalanan, foto-foto, serta film-film yang dibawa pulang, semuanya telah membentuk citra Bali sebagai pulau sorgawi dan citra tersebut dengan cepat diambil alih oleh sektor promosi dari industri pariwisata yang berkembang saat itu, MacRae (dalam Pichard, 2020). Dengan demikian, mulai tahun 1920-an, Bali digambarkan secara terus menerus, hingga menjenuhkan sebagai Taman Firdaus, tempat bertahtanya suatu kebudayaan tradisional yang terlindungi dari modernitas dan masalah-masalahnya.
Citra itu kemudian menjadi magnet yang menarik turis datang setiap tahunnya. Namun, insiden terorisme yang menjadi salah satu peristiwa teror terbesar di Indonesia pada 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005 itu sejenak melumpuhkan Bali. Sesuai rencana, aksi teror tersebut untuk berhasil merebut perhatian dunia. Bali benar-benar disorot hingga turis takut untuk bertandang. Bom tidak hanya meluluhlantakkan gedung-gedung di pusat keramaian Legian atau kawasan Renon, tetapi juga merenggut nyawa ratusan orang, membuat hidup beberapa orang tidak lagi sama sebab kehilangan keluarga atau bagi para penyintas mimpi terburuk adalah cacat seumur hidup. Dalam skala yang lebih besar menimbulkan dampak sosial, ekonomi, hingga psikologis masyarakatnya terguncang hebat. Butuh waktu bagi Bali untuk bangkit dan menghidupkan kembali sektor pariwisata yang sempat mati suri. Menyikapi hal tersebut, segenap stakeholder terkait bersinergi untuk mengembalikan citra dan reputasi Bali di mata dunia, salah satunya melalui strategi branding “Bali Shanti”.
Pariwisata Bali Pra-Bom Bali
Indonesia dilanda krisis moneter pada 1997, hal ini mengakibatkan perubahan besar terhadap kiblat program pembangunan nasional. Dengan mendayagunakan potensi sumber daya alam dan lanskap geografis, pariwisata digunakan sebagai alat untuk mempercepat pemulihan perekonomian nasional (Idriasih, 2016). Meski demikian, keterpurukan akibat krisis moneter yang melanda Indonesia tidak berpengaruh signifikan terhadap Bali dalam bidang pariwisata, ini karena Bali tetap ramai pengunjung. Merujuk statistik BPS Provinsi Bali yang menunjukan jumlah kunjungan wisatawan asing ke Bali dalam lima tahun terakhir (1997-2001) sebelum adanya ledakan bom Bali I berjalan normal meskipun fluktuatif.
Tabel 1. Kunjungan Wisatawan Asing pada Tahun 1997-2001
Tahun | Indonesia | Bali | ||
Total | Growth (%) | Total | Growth (%) | |
1997 | 5.184.486 | 2.98 | 1.230.316 | 8.03 |
1998 | 4.606.416 | -11.15 | 1.187.153 | -3.51 |
1999 | 4.600.000 | -0.14 | 1.355.799 | 14.21 |
2000 | 5.064.217 | 10.09 | 1.412.839 | 4.21 |
2001 | 5.153.620 | 1.77 | 1.356.774 | -3.97 |
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali (2023)
Rincian tersebut menunjukan selama lima tahun terakhir sebelum tragedi Bom Bali I, kondisi pariwisata Bali tergolong stabil. Bahkan Bali di tahun 1998 mendapat predikat sebagai “The Best Island” yang diberikan oleh Conde Nast Traveler. Survei itu telah dilaksanakan sepanjang tahun tersebut dan sebanyak 60.184 wisatawan mengisi angket untuk memilih pulau pariwisata mana yang paling membuat nikmat untuk dikunjungi. Dominasi wisatawan memilih Bali sebagai pulau pariwisata yang sangat nikmat untuk dikunjungi (Elizabeth, 2015).
Pariwisata Bali Pasca Bom Bali I dan II
Banyaknya pemberitaan terkait tragedi kemanusiaan yang terjadi di Bali membuat banyak negara mengambil sikap dengan mengeluarkan larangan atau peringatan berkunjung (travel warning) untuk warga negaranya agar tidak melakukan perjalanan wisata ke daerah-daerah di Indonesia (Elizabeth, 2015). Peringatan atau travel warning tersebut membuat sejumlah wisatawan enggan untuk berkunjung ke Indonesia, terkhususnya Bali. Larangan tersebut jelas berimbas pada kurva kunjungan wisatawan yang merosot tajam, situasi ini juga memengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat, sebab, sebagian besar perekonomian Bali ditopang oleh industri pariwisata.
Tabel 2. Kunjungan Wisatawan Asing pada Tahun 2002-2006
Tahun | Indonesia | Bali | ||
Total | Growth (%) | Total | Growth (%) | |
2002 | 5.033.400 | -2.33 | 1.285.842 | -.5.23 |
2003 | 4.467.021 | -11.25 | 993.185 | -22.76 |
2004 | 5.321.165 | 19.12 | 1.472.190 | 48.23 |
2005 | 5.002.101 | -6.00 | 1.388.984 | -5.65 |
2006 | 4.871.351 | -2.61 | 1.262537 | -9.10 |
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali (2023)
Sajian data diatas menunjukan penurunan kedatangan wisatawan setelah terjadinya peristiwa Bom Bali I dan Bom Bali II. Tragedi Bom Bali I yang terjadi di bulan Oktober 2002, menyebabkan penurunan jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia di tahun 2003 sebesar 11.25% dari tahun sebelumnya. Kemudian, perjalanan wisata yang dilakukan oleh wisatawan asing ke Bali juga mengalami penurunan sebesar 22.76% dari jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Bali di tahun sebelumnya. Kemudian saat ledakan Bom Bali II yang terjadi pada Oktober 2005, diikuti pola yang serupa dimana terdapat penurunan kunjungan wisatawan asing ke Indonesia di tahun 2006 sebesar 2.61% dari jumlah kunjungan di tahun sebelumnya. Linier, kunjungan wisata ke Bali juga mengalami penurunan sebesar 9.10% dari tahun sebelumnya.
Chaos-nya situasi pasca ledakan membuat industri pariwisata Bali mengalami keterpurukan. Di sisi lain kejadian traumatis masih menghantui setiap orang serta berdampak ke mata pencaharian masyarakat sekitar. Beberapa orang yang bekerja di dekat kejadian perkara masih merasa khawatir akan ada ledakan susulan. Pasalnya, banyak bangunan yang berada dalam radius 10-20 meter mengalami kerusakan berat, bahkan ledakan masih jelas terdengar sampai Denpasar yang mana jaraknya sekitar 11 kilometer dari tempat kejadian perkara (Darmawan & Pratiwi, 2023). Tentunya ini menimbulkan rasa takut untuk melakukan aktivitas seperti biasanya. Setelah berlangsungnya tragedi tersebut, orang-orang yang menggantungkan hidup melalui pariwisata seperti para pedagang, art shop, perajin dan lain sebagainya harus berhenti ataupun mencari pekerjaan lain.
Adapun Presiden Megawati Soekarnoputri yang kala itu menjabat melakukan beberapa upaya diplomasi dengan negara-negara asing melalui event internasional yang diselenggarakan di Nusa Dua, Kabupaten Badung, seperti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN IX dan Iklan Cable News Network (CNN) yang berlangsung pada 7-8 Oktober 2003 (Hidayah, et al., 2022). Melalui event internasional tersebut, Presiden Megawati Soekarnoputri menghimbau kepada para kepala negara agar membatalkan travel warning untuk Indonesia sebab hal ini sangat berpengaruh terhadap pendapatan devisa negara Indonesia yang dominan didukung oleh sektor pariwisata. Dengan adanya larangan tersebut berdampak pada penurunan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Indonesia maupun ke daerah-daerah destinasi wisata di Indonesia sehingga secara langsung berpengaruh pada pendapatan devisa negara dan pendapatan asli daerah (PAD).
Namun, 3 tahun berselang setelah Bom Bali I, persisnya ketika Bali yang masih berupaya pulih dan memperbaiki citra di mata Internasional, peristiwa pengeboman kembali terjadi pada 1 Oktober 2005, ledakan itu terjadi di dua lokasi yakni di Rajas’s Cafe Kuta Square, Menega Cafe dan Cafe Nyoman Jimbaran. Tragedi yang kemudian disebut bom Bali II ini menimbulkan 23 korban jiwa dan 196 orang luka-luka (Karlinanti & Saputra, 2023).
Imbasnya di sektor ekonomi
Tragedi pengeboman yang dilakukan di sejumlah titik vital itu turut berimbas pada aktivitas ekonomi masyarakat, lebih-lebih bagi mereka yang tinggal atau bekerja di sekitar lokasi ledakan. Perlu diketahui juga bahwa dalam skala yang lebih besar bom ini telah berdampak pada menurunnya aktivitas perjalanan wisata menuju Indonesia khususnya Bali. Sebagai negara yang salah satu pendapatan tertingginya berasal dari sektor pariwisata, hal ini berpengaruh terhadap penurunan pendapatan devisa negara. Dilansir dari Badan Pusat Statistik Nasional Bali, pendapat asli daerah Bali mengalami penurunan sebesar 17,96%. Tercatat bahwa di tahun 2002, pendapat asli daerah Bali sebanyak Rp465.749.519, sedangkan di tahun 2003 menurun menjadi Rp382.092.277. Hal ini disertai dengan penurunan yang drastis pada tingkat hunian kamar di November 2002 yakni hanya sebesar 25,24%. Persentase ini merupakan persentase terkecil tingkat hunian kamar di Bali sepanjang tahun 2000-2002. Dikutip dari Lokadata, jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Bali menurun dari 1,28 juta menjadi 99 ribu orang.
Secara nasional, berdasarkan data Kementerian Pariwisata yang dikutip dari laman resmi Menko Polhukam, menerangkan bahwa pada tahun 2012, dalam dua tahun berturut-turut setelah pemboman, kunjungan wisatawan turun lebih dari 40 persen. Kemudian, lebih dari 200 ribu pekerjaan yang berkaitan dengan pariwisata tutup. Pendapatan devisa juga menurun 10,21 persen setelah pemboman 2002 dan 2,61 persen setelah pemboman 2005 dengan total kerugian setengah miliar dolar AS pada kedua tahun tersebut.
Maka, tidak ada yang merasakan dampak bom Bali lebih dari korban, sektor pariwisata, dan masyarakat Bali itu sendiri. Selaras dengan hal tersebut, sepanjang tahun 2003 telah terdapat penurunan persentase pendapatan rumah tangga mencapai angka 23%. Ini berimplikasi pada penurunan jumlah konsumsi rumah tangga sebesar 9% akibat dari banyaknya masyarakat di Bali yang menggantungkan hidupnya pada pariwisata (Suriastini, 2011). Berdasarkan wawancara dengan Eka selaku pemilik UMKM daerah Legian-Kuta menyatakan bahwa efek dari letupan bom tersebut adalah vakumnya kegiatan dagangannya hampir selama sebulan lamanya. Tentunya ini sangat berimbas pada ekonomi keluarganya. Dengan banyaknya penduduk di daerah Legian-Kuta yang terjun di sektor pariwisata, efek vakumnya perekonomian masyarakat tidak dapat dihindarkan. Sehingga memaksa mereka untuk beralih mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Dampak Sosial
Pengeboman ini bermotif rencana balas dendam atas konflik yang terjadi di Ambon dan Poso hingga menewaskan banyak umat muslim. Karenanya, Bali jadi sasaran yang ideal sebab dinilai memiliki daya tarik Internasional dan pandangan dunia akan lebih tertuju ke Bali dibandingkan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Adapun pelaku Bom Bali I tergabung dalam jaringan Darul Islam (DI) organisasi penerus Negara Islam Indonesia (NII). Ali Imron, salah satu pelaku Bom Bali I ini menyatakan bahwa rencananya bom akan diledakkan tepat 1 tahun tragedi WTC, 11 September 2002.
Peristiwa yang mengatasnamakan agama itu kemudian memercikkan ketegangan antara umat Islam dan umat Hindu di Bali yang semula harmonis. Lebih lanjut, dikutip dari Tempo, pasca kejadian aksi sweeping gencar dilakukan terhadap para pendatang muslim, terutama dari Jawa. Para pendatang yang tak memiliki kartu identitas Bali atau hanya ber-KTP Jawa diinterogasi pengurus banjar setempat. Diskriminasi terhadap warga muslim pun tak terelakkan, beberapa orang bahkan sampai harus dikeluarkan dari pekerjaannya. Sejumlah Mushola di daerah Denpasar pun disegel warga, hingga warga muslim tak berani mengenakan peci dan sarung serta menenteng sajadah. Peristiwa traumatis itu telah memantik pergeseran karakter masyarakat lokal Bali menjadi penuh perasaan curiga atau skeptis, ini kemudian membuat masyarakat Bali melakukan pemilihan antara penduduk asli (pribumi) dan dengan pendatang.
Dampak Psikologis
Dampak selanjutnya menjadi yang paling sulit disembuhkan, yakni dampak psikologis. Korban yang selamat dari tragedi tersebut dapat mengalami trauma mendalam yang kemudian berkembang menjadi gangguan psikologis yang parah dan berkelanjutan. Dampak psikologis merupakan dampak yang paling besar dirasakan oleh wisatawan, para penyintas, maupun keluarga korban. Berdasarkan penelitian mengenai kesehatan mental dan fisik pasca bom Bali yang dilakukan oleh Steven, dkk (dalam Raya, et al., 2023) menyebutkan bahwa sebanyak 68% dari 115 responden mengalami trauma psikologis tinggi dengan gejala traumatis seperti stres, kerentanan terhadap ketahanan pribadi, dan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Faktor kehilangan keluarga atau rekan dalam suatu tragedi yang amat tragis merupakan pemicu munculnya kerentanan mental seseorang.
“Bali Shanti” Strategi Bali Pulihkan Reputasi
Peristiwa Bom Bali di tahun 2002 dan 2005 tidak hanya menghancurkan sumber pencaharian masyarakat, tetapi juga meruntuhkan reputasi atau citra Indonesia dan Bali di mata Internasional, terlebih Bali yang mulanya dipromosikan sebagai “Surga Terakhir”. Untuk segera lepas dari kondisi keos itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah Bali saling berkoordinasi untuk memulihkan sektor pariwisata Bali dan mengembalikan citra atau reputasi Indonesia dan Bali di kacamata dunia. Upaya diplomasi dalam bentuk soft diplomacy merupakan strategi yang dilakukan oleh suatu negara untuk mencapai kepentingannya melalui pendekatan sosial dan budaya (Slamet, M. W., 2015), salah satu bentuk soft diplomacy adalah national branding.
Dalam hal ini, soft diplomacy melalui national branding lebih mengedepankan upaya damai yang bukan dengan tekanan politik, instrumen militer, atau tekanan ekonomi, tetapi mengedepankan pendekatan kebudayaan. Kebudayaan digunakan untuk menjembatani upaya perdamaian sebab kebudayaan adalah instrumen yang menampilkan kelembutan, keindahan serta keunikan suatu negara sehingga dapat memperbaiki citra bangsa serta memperkenalkan keunikan dan ciri khas suatu negara (Ardiansyah, 2022).
Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2008 meluncurkan branding “Visit Indonesia” dengan logo berbentuk siluet burung Garuda, yang kemudian diikuti beberapa daerah di Indonesia, salah satunya Bali (Wibawanto & Nugrahani, 2015). Kepala Seksi Promosi Dinas Pariwisata Provinsi Bali, I Ketut Yadnya Winarta, mengatakan Pemerintah Daerah Provinsi Bali (Pemda Prov. Bali) melalui Dinas Pariwisata Provinsi Bali bersinergi dengan semua stakeholder dalam sektor pariwisata, seperti ASITA (Asosiasi Biro Perjalanan Wisata Indonesia), HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia), Asosiasi Hotel, PUTRI (Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi Indonesia), dan asosiasi-asosiasi lainnya untuk melakukan strategi komunikasi ke khalayak luas, khususnya wisatawan asing melalui branding Bali Shanti Shanti Shanti.
Branding ini divisualisasikan dengan gambar segitiga bertuliskan Bali Shanti Shanti Shanti yang merupakan semangat dari Tri Murti dan Tri Hita Karana. Shanti yang berarti damai tertulis tiga kali memiliki makna mengalirkan semangat kedamaian dan keharmonisan. Konsep ini sejalan dengan implementasinya dengan memanfaatkan seluruh media, baik melalui kanal berita, media cetak, maupun sosial media untuk menggemakan bahwa di Bali tetap aman-damai. Video promosi pariwisata Bali juga dibuat dengan menampilkan wisata budaya, adat-istiadat di setiap daerah yang ada di Bali, serta keindahan dan panorama alam di Bali guna menggaet kembali wisatawan untuk berkunjung ke Bali. Upaya mem-branding Bali sebagai destinasi tujuan wisata yang aman juga dilakukan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Bali dengan mengundang jurnalis dan travel agen dari luar untuk mengunjungi dan melihat secara langsung kondisi Bali.
Strategi komunikasi melalui branding Bali Shanti memiliki cukup peran dalam upaya mengembalikan kepercayaan wisatawan terhadap kondisi Bali aman-damai untuk dikunjungi. Sejak diberlakukannya strategi branding tersebut di tahun 2008, lalu berakhir di tahun 2017 sebab telah digantikan dengan strategi branding yang lain, yaitu “The Island of Gods” (Tenaya & Salma, 2023) terlihat peningkatan signifikan jumlah kedatangan wisatawan asing yang disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 3. Kunjungan Wisatawan Asing pada Tahun 2008-2017
Tahun | Indonesia | Bali | ||
Total | Growth (%) | Total | Growth (%) | |
2008 | 6.234.497 | 13.24 | 2.085.084 | 24.97 |
2009 | 6.323.730 | 1.43 | 2.385.122 | 14.39 |
2010 | 7.002.944 | 10.74 | 2.576.142 | 8.01 |
2011 | 7.649.731 | 9.24 | 2.826.709 | 9.73 |
2012 | 8.044.462 | 5.16 | 2.949.332 | 4.34 |
2013 | 8.802.129 | 9.42 | 3.278.598 | 11.16 |
2014 | 9.435.411 | 7.19 | 3.766.638 | 14.89 |
2015 | 10.406.291 | 10.29 | 4.001.835 | 6.24 |
2016 | 11.519.275 | 10.70 | 4.927.937 | 23.14 |
2017 | 14.039.799 | 21.88 | 5.697.739 | 15.62 |
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali (2023)
Merujuk data Badan Pusat Statistik tahun 2023, terdapat peningkatan jumlah kunjungan wisatawan asing secara signifikan tiap tahunnya. Dari tahun 2008 dengan jumlah 6.234.497, semakin progresif hingga tahun 2017 menjadi 14.039.799 wisatawan asing. Begitu pula yang terjadi di Bali, peningkatan nampak lebih dari dua kali lipat yang awalnya hanya 2.085.084, di tahun 2017 menjadi 14.039.799 wisatawan asing berkunjung ke Bali. Tidak hanya nampak dari peningkatan wisatawan, keretakan Hindu dan Muslim juga perlahan pulih. Seiring dengan pulihnya kehidupan ekonomi Bali sekitar 2009, sentimen atas agama Islam mulai pupus.
Penutup
Aksi terorisme melalui tragedi Bom Bali I dan Bom Bali II menimbulkan dampak sosial, ekonomi, hingga psikologis bagi masyarakat. Adanya travel warning hingga menurunnya tingkat kunjungan wisatawan ke Bali merembet pada aktivitas ekonomi masyarakat yang tersendat-sendat utamanya bagi mereka yang menggantungkan hidup di sektor pariwisata, dalam skala yang lebih besar dibombardirnya Bali berimpak pada merosotnya pendapatan devisa negara. Selain itu, pengeboman yang mengatasnamakan agama ini juga menimbulkan ketegangan antara umat Islam dan umat Hindu di Bali yang semula harmonis.
Dua kali dibombardir, Bali jatuh bangun membangkitkan kembali reputasinya, melalui national branding bertajuk Bali Shanti Shanti Shanti setiap stakeholder terkait bahu-membahu mengembalikan citra Bali. Konsep ini mengalirkan semangat keharmonisan dan kedamaian dengan memanfaatkan seluruh media, jurnalis, dan travel agent dan didukung oleh beberapa asosiasi yang terdapat dalam sektor pariwisata. Dengan mempublikasikan video dan visualisasi budaya, adat-istiadat, dan panorama alam, Bali Shanti mampu mengembalikan kepercayaan wisatawan terhadap kondisi Bali yang aman dan damai untuk dikunjungi. Keretakan Hindu dan Muslim juga perlahan pulih dan stigma-stigma negatif mulai pudar.
Dalam parade sejarah Pulau Dewata, tragedi kemanusiaan Bom Bali I dan Bom Bali II menjadi mimpi buruk bagi masyarakatnya, peristiwa ini sekaligus menjadi ”pengingat” bagi pemerintah Indonesia untuk menangani terorisme melalui proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan sehingga teror-teror serupa dapat dicegah. Di sisi lain, masyarakat juga punya peranan besar untuk turut ambil bagian dalam membentengi diri dari paham radikal terorisme.
Penulis: Adi Dwipayana, Dian Purnami, Cahya Ananda
Editor: Trisna Cintya
[Daftar Pustaka]
Adriyanto, S. D. (2021). Bom Bali 12 Oktober 2002 Tewaskan 202 Orang, Amrozi Mengaku sebagai Pelaku. URL: https://nasional.tempo.co/read/1516501/bom-bali-12-oktober-2002-tewaskan-202-orang-amrozi-mengaku-sebagai-pelaku. Diakses pada 11 Agustus 2024.
Ardiansyah, A. (2022). Hubungan Bilateral Indonesia–Amerika Serikat Melalui Kerjasama Kebudayaan (Soft Diplomacy). Journal Social Society, 2(1), 1-15.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. (n.d.). Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten/Kota di Provinsi Bali (Ribu Rupiah), 2002-2004. URL: https://bali.bps.go.id/indicator/13/244/7/pendapatan-asli-daerah-pad-kabupaten-kota-di-provinsi-bali.html. Diakses pada 10 Agustus 2024.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. (n.d.). Tingkat Penghunian Kamar (TPK) Hotel Bintang Menurut Kelas di Provinsi Bali (Persen), 2002. URL: https://bali.bps.go.id/indicator/16/230/23/tingkat-penghunian-kamar-tpk-hotel-bintang-menurut-kelas-di-provinsi-bali.html. Diakses pada 10 Agustus 2024.
Darmawan, A. P., & Pratiwi, I. E. (2023). Hari Ini dalam Sejarah: Tragedi Bom Bali 12 Oktober 2002, Ledakan di Tiga Titik yang Tewaskan 202 Orang. URL: https://www.kompas.com/tren/read/2023/10/12/063000165/hari-ini-dalam-sejarah–tragedi-bom-bali-12-oktober-2002-ledakan-di-tiga. Diakses pada 10 Agustus 2024.
Elizabeth, J. (2015). Upaya Diplomasi Pemerintah Indonesia Untuk Meningkatkan Jumlah Wisatawan Mancanegara Pasca Bom Bali Tahun 2002. Global and Policy Journal of International Relations, 3(01).
Hidayah, D., et al. (2022). Megawati Soekarno Putri Government Policy In Dealing With The Effects Of The Bali Bombings I In 2002. JURNAL HISTORICA, 6(2), 282-298.
Idriasih, G. (2016). Diplomasi Indonesia melalui Kampanye Wonderful Indonesia dalam Meningkatkan Pariwisata Indonesia di Dunia Internasional Tahun 2011-2015”. JOM FISIP, 3(1).
Karlinanti, A. F., & Saputra, R. R. D. (2023). Analisis Mengenai Penyebab Terjadinya Ledakan dalam Tragedi Bom Bali I dan Bom Bali II. Daya Nasional: Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora, 1(2), 42-47.
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. (2017). Menko Polkuham Cerita Pengalaman Indonesia Saat Bom Bali 15 Tahun Lalu. URL: https://polkam.go.id/menko-polhukam-cerita-pengalaman-indonesia-saat-bom-bali-15-tahun-lalu/. Diakses pada 11 Agustus 2024.
Lokadata. (n.d.). Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Bali dan Indonesia. URL: https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/jumlah-kunjungan-wisatawan-mancanegara-ke-bali-dan-indonesia-1519308975. Diakses pada 10 Agustus 2024.
Pemerintah Indonesia. 2017. Menko Polhukam Cerita Pengalaman Indonesia Saat Bom Bali 15 Tahun Lalu. URL: Menko Polhukam Cerita Pengalaman Indonesia Saat Bom Bali 15 Tahun Lalu (polkam.go.id). Diakses pada 11 Agustus 2024.
Picard, M. (2020). Kebalian: Konstruksi Dialogis Identitas Bali. Kepustakaan Populer Gramedia.
Raya, M. K. F., et al. (2023). Menyama Braya: Balinese Hindu-Muslim Ethnoreligious construction in the creation of peace education. Cogent Arts & Humanities, 10(1), 2237289.
Slamet, M. W. (2015). The Power of Soft Diplomacy. URL: https://www.kompasiana.com/antoniusmario/55115bfe8133116c45bc5fc5/the-power-of-soft-diplomacy. Diakses pada 10 Agustus 2024.
Suriastini, N. W. (2011). Strategi Bertahan Hidup Rumah Tangga Setelah Serangan Teroris: Pelajaran Dari Tragedi Bom Bali. Sosiohumaniora, 13(3). 300-302.
Tenaya, L. M. K. M., & Salma, A. N. (2023). Strategi City Branding Bali “The Island Of Gods” Dalam Meningkatkan Jumlah Kunjungan Wisatawan Pasca Pandemi Covid-19. Innovative: Journal Of Social Science Research, 3(2), 13697-13709.
Wibawanto, W., & Nugrahani, R. (2015, November). Peran Akademisi Dalam Konstruksi City Branding. In Proceeding (pp. 188-196).