Di balik hiruk-pikuk kemegahan Pantai Kuta yang memikat jutaan wisatawan setiap warsa, ada kehidupan lain yang berjalan di bawah gemerlapnya. Kehidupan ini adalah milik mereka yang merajut asa setiap harinya. Pedagang asongan yang menyambung hidup di sudut-sudut Pantai Kuta.
Pariwisata Bali dikenal sebagai salah satu magnet utama Indonesia yang mampu menarik wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Namun, di balik gemerlapnya pariwisata tersebut, terdapat perjuangan masyarakat kecil yang menyambung hidup melalui pekerjaan yang sering kali abai kita soroti, seperti berdagang asongan. Perjuangan tersebut tercermin dalam sosok Rokaya dan Asrarudin yang tidak pernah absen menjajakan dagangannya di Pantai Kuta.
Mengais rejeki di tengah riuh redam eksistensi Pantai Kuta
Eksistensi Pantai Kuta yang tak lagi sebesar sebelumnya membuat sejumlah pedagang yang menanggung harap disana memilih hengkang dari rutinitasnya, tetapi tak sedikit yang masih tetap bertahan dan bertumpu pada mata pencahariannya sebagai pedagang asongan. Rokaya misalnya. Motivasinya untuk berdagang asongan cukup sederhana namun sangat mendalam. Berasal dari Madura, ia datang ke Bali dengan harapan mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Sebelum memutuskan berjualan asongan, ia sempat memiliki kedai di pasar seni. Kepindahannya dari pasar seni ke Pantai Kuta juga diiringi oleh perubahan besar, termasuk biaya sewa yang lebih tinggi dan peraturan baru yang harus diikuti. “Dulu di pasar seni, tapi sekarang harus bayar lebih mahal,” ungkapnya. Meski harus membayar izin bulanan sebesar Rp 630.000, Rokaya memilih berdagang asongan karena fleksibilitasnya, ia bisa menjangkau lebih banyak wisatawan dan berpotensi mendapatkan penghasilan lebih baik dengan menyusuri setiap sudut Pantai Kuta.
Ketika Tim Konvergensi Media menyambangi dirinya yang tengah menjajakan jamu, wanita asal Madura itu sempat menjelaskan latar belakangnya, “Enggak bisa beli beras kadang mbak. Anaknya bukan satu mbak, tujuh punya anak saya mbak,” ungkapnya kepada Tim saat itu (11/6). Menghidupi dua anaknya yang masih bersekolah, dan sebagai seorang ibu, ia berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. Walaupun dengan penghasilan yang tidak menentu, terkadang hanya mendapatkan 100 ribu rupiah per harinya, ia tetap berusaha memenuhi kebutuhan anak-anaknya, termasuk anak bungsunya yang masih berusia 15 tahun.
Di sisi lain, Asrarudin yang berasal dari Lombok juga telah menggeluti profesi ini selama tiga puluh tahun. Berbagai peruntungan telah ia coba, termasuk berjualan bawang merah di Kota Denpasar. “Istilahnya udah ga mapan lah gitu, akhirnya saya terdampar di pantai, saya jadi kerja kayak gini sampai sekarang,” ungkapnya sendu. Ia merasakan persaingan ketat dengan minimarket besar seperti Indomaret dan Alfamart. “Sekarang saingan kita berat. Orang lebih memilih beli di Indomaret karena lebih murah, meskipun hanya selisih seratus perak,” imbuhnya.
Sebelum fajar menyingsing, Rokaya dan Asrarudin harus bangun untuk menyiapkan dagangannya kemudian berangkat dari rumah mereka masing-masing untuk berdagang di Pantai Kuta dan pulang ketika matahari terbenam. “Jam 3 saya bangun, malam. Jam 3 malam bangun. Goreng, (lalu) masak nasi,” kata Rokaya. Berbeda dengan Asrarudin yang harus berjalan kaki dari kosnya yang berjarak sekitar setengah kilometer dari pantai, Rokaya sehari-harinya harus diantar jemput anaknya menggunakan sepeda karena jarak antara kos dan pantai yang cukup jauh.
Tak bisa dipungkiri, diperlukan segudang upaya serta strategi yang harus dilakukan oleh para pedagang asongan yang penghasilannya tak seberapa itu. Salah satunya adalah variasi dagangan yang ditawarkan oleh masing-masing pedagang untuk menarik minat para pembeli. Rokaya sendiri menjajakan gorengan, telur puyuh, kopi dan jamu hingga ke ujung utara pantai kuta. Pelanggannya pun beragam dari berbagai rentang usia, baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara, “Campur mbak. Ada bule yang beli. Bule itu nggak ada yang muda, yang tua-tua.” Tutur wanita itu sebelum akhirnya bangkit dan mulai menjajakan dagangannya kembali. Tak berbeda jauh dengan Rokaya, Asrarudin pun menjajakan dagangannya di sepanjang Pantai Kuta hampir setiap hari. Apa yang ia jual pun sama beragamnya, berusaha mencari peruntungan di antara para pesaing yang menggeluti profesi serupa dengannya. Meski dengan fisik yang tak lagi muda, baik Asrarudin maupun Rokaya tetap menjajakan dagangannya tanpa kenal lelah hingga petang tiba.
Persaingan selalu saja ada dimanapun, kapanpun dan dalam situasi apapun. Mirisnya, profesi sebagai pedagang asongan pun tak luput dari kenyataan ini. Mereka saling bersaing, mencari pembeli yang sekiranya menaruh atensi terhadap apa yang mereka jajakan. Asrarudin juga menuturkan bahwa saingannya bukan hanya dari sesama pedagang, terlebih setelah munculnya sejumlah supermarket di dekat area pantai, “Saingan. Kalo dulu belum ada Indomaret, belum ada Alfamart. Sekarang saingan kita kayak jual kayak gini itu kelas-kelas berat mbak. Indomaret di mana-mana ada. Jadi kita adu nasib aja gitu.” Ia juga mengungkapkan bahwa persaingan harga juga berpengaruh terhadap jumlah pembeli, “Memang ada saingan harga. Orang dia (harga) jual-jualannya lebih rendah daripada kita di pantai. Selisihnya cuman sekitar seratus perak lah gitu. Tapi kalo tamu begitu walaupun seratus perak itu dia memilih ke indomaret ketimbang kita dibeliin.” ungkapnya kala disambangi ketika sedang berjualan. Sorot wajahnya tampak sendu, namun Asrarudin tak mampu berbuat banyak. Sebagai pedagang kecil yang memilih menjajakan dagangannya di sepanjang pantai, dirinya bukanlah saingan sepadan bagi supermarket-supermarket yang keberadaannya telah menjamur dimana-mana.
Asa yang tak pernah padam
Bergelut dengan panas menjadi makanan sehari-hari bagi mereka. Baik Rokaya maupun Asrarudin telah menggeluti pekerjaannya nyaris dua puluh tahunan. Rutinitas menyiapkan barang dagangan di kala subuh dan menjajakannya hingga petang seolah menjadi bagian yang tak terlepas dari kebiasaan mereka. Namun keduanya tidak pernah mengeluh dengan apa yang mereka kini kerjakan. Rokaya bahkan masih mampu tersenyum ramah dan meladeni basa-basi para pelanggan, menimpali lelucon yang mereka lontarkan di tengah panasnya Pantai Kuta kala itu. Semuanya tak lepas dari tekad Rokaya maupun Asrarudin untuk terus berjuang demi keluarga, maupun kehidupan mereka. Rokaya dengan beban finansial keluarga yang ditanggung bersama sang suami, serta Asrarudin yang mencoba peruntungan setelah gagal berjualan bawang merah. Menyerah seolah tidak pernah berada dalam kamus keduanya. Namun diam-diam, keduanya sama-sama menaruh harapan bagi kelangsungan usaha mereka kelak.
Penulis : Tegar, Santika
Penyunting : Meutia