Eksistensi Bus Sebagai Media Pelayanan Transportasi Publik: Wacana Apik dalam Mengurai Kemacetan Pelik di Bali Selatan

Eksistensi Bus seyogyanya hadir mengurangi tingkat kemacetan di Bali. Namun, layaknya benang kusut yang carut-marut, masalah kemacetan terus diulangi tanpa menemukan penyelesaian yang berarti. Menjawab tantangan ini, maka bus harus mampu bersaing dengan kendaraan pribadi.

Permasalahan kemacetan di Bali Selatan masih menjadi persoalan pelik, layaknya benang kusut yang tak kunjung usai untuk diluruskan. Pasalnya, perkembangan Pariwisata Bali kian melaju pesat dan tak terlepas dari peningkatan jumlah wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang bertandang ke Bali, sehingga sarana transportasi pun dibutuhkan untuk menunjang mobilisasi. Menilik lebih jauh terkait masalah kemacetan terutama di Bali Selatan, Tim Konvergensi Media menyambangi ITDC Nusa Dua menanyakan pengalaman seorang wisatawan asal Venezuela bernama Manuel Janes dan Istrinya yang menghadapi kemacetan di Bali Selatan “We stayed in Canggu and then, yes, Canggu. You know, there was a time we were going from one beach to back to the hotel and it took us like 1 hour and a half because of the traffic. So, yeah that’s an experience (with) some traffic jams” (kami tinggal di Canggu dan, ya Canggu. Anda tahu, ada suatu waktu kami pergi dari satu pantai untuk kembali ke hotel dan butuh waktu sekitar 1,5 jam karena macet. Jadi ya, itu adalah pengalaman dengan kemacetan lalu lintas). 

Membahas terkait isu kemacetan ini kita perlu berkaca kembali pada peristiwa kemacetan parah menjelang hari Natal dan Tahun Baru (Nataru) yang terjadi di Bali Selatan pada 29 Desember 2023 silam. Kemacetan ini menyebabkan lumpuhnya ruas lalu lintas akibat padatnya kendaraan pribadi utamanya menuju Bandara, bahkan membuat Tol Bali Mandara juga tak luput dari kemacetan sehingga menyebabkan wisatawan asing dan domestik terpaksa turun dari kendaraannya untuk mengejar jadwal keberangkatan. Mereka terpaksa berjalan kaki menenteng koper dan barang-barangnya menuju Bandara Ngurah Rai pasca satu jam tertahan di ruas pintu Tol. Sementara pada tahun ini menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS) periode bulan Mei, berjumlah sekitar 544.601 kunjungan, atau lebih tinggi 8,23% daripada kunjungan di bulan April. Total kunjungan pada periode Januari-Juni 2024 terdapat 2,91 juta kunjungan wisatawan mancanegara dan 9,81 juta wisatawan domestik pada tahun 2023. Padatnya kegiatan pariwisata juga turut mendorong permasalahan kemacetan terutama di Daerah Tujuan Wisata (DTW) yang umumnya tersentral di Bali Selatan. 

Meninjau Seluk-Beluk Penyebab Kemacetan 

Kepadatan arus lalu lintas tentu diakibatkan oleh mobilisasi masyarakat dan wisatawan yang tinggi, terlebih pada daerah perkotaan padat seperti kawasan aglomerasi Sarbagita yang akhirnya menyebabkan kemacetan. Mengutip dari BaliPost.com, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Bali, Dr. Ir. I Made Rai Ridharta menyampaikan bahwa kesibukan lalu lintas di Bali merupakan imbas dari meningkatnya jumlah kendaraan pribadi di Bali yang salah satunya diakibatkan oleh masifnya perkembangan pariwisata. I Ketut Yadnya Winarta selaku Kepala Seksi Promosi Dinas Pariwisata Provinsi Bali tidak menampik bahwa aktivitas pariwisata menjadi faktor penyebab kemacetan “Pariwisata berdampak terhadap kemacetan, bukan kemacetan berdampak pada pariwisata, pariwisata lah yang membuat kemacetan makin banyak” tuturnya. 

Menguatkan hal tersebut, pernyataan dari Prof. Ir. Putu Alit Suthanaya selaku Dosen Teknik Sipil Bidang Transportasi Universitas Udayana mengungkapkan ada beberapa faktor yang menyebabkan kemacetan di Bali Selatan, antara lain akibat pertumbuhan penduduk yang meningkat Provinsi Bali

khususnya di wilayah Sarbagita dan akibat kedatangan wisatawan baik internasional maupun domestik “ini juga menambah beban jaringan jalan karena mereka menggunakan kendaraan (pribadi) untuk melakukan sirkulasi di Bali”. Prof. Alit juga mengungkapkan bahwa kini jumlah kendaraan yang terdaftar di Bali sudah melampaui jumlah penduduk yang ada “Jadi jumlah (total) kendaraan yang ada sudah di atas 5 juta sedangkan jumlah penduduk sekitar 4,4 juta, berarti jumlah kendaraan yang terdaftar saja sudah melampaui jumlah penduduk, apalagi ditambah sekarang kendaraan-kendaraan yang dari luar Bali ketika terutama musim-musim liburan” tuturnya, sehingga hal ini berimplikasi pada kemacetan di ruas jaringan jalan terutama di area Bali Selatan seperti Kuta, Canggu, Jimbaran dan sekitarnya “itu menandakan bahwa pergerakan masyarakat maupun wisatawan yang melalui jalur tersebut sudah tidak mampu lagi ditampung oleh kapasitas jalan yang ada” Tuturnya ketika diwawancara pada Selasa, (06/08). 

Prof. Ir. Putu Alit Suthanaya– selaku Dosen Teknik Sipil Bidang Transportasi ketika diwawancara
di Fakultas Teknik Sipil (06/08).

Sehubungan dengan pernyataan tersebut, data statistik BPS merilis jumlah kendaraan di Provinsi Bali yang menunjukkan peningkatan signifikan jumlah kendaraan pribadi di Bali pada tahun 2023, yakni sepeda motor lebih dari 4,3 juta unit dan mobil penumpang sebanyak 524.619 unit, sehingga total unit kendaraan pribadi meningkat sebanyak 5,56% dibandingkan tahun sebelumnya. Ditambah, kemudahan harga beli kendaraan bermotor juga mendorong masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi sebagai pilihan daripada akses layanan transportasi publik, sehingga kemacetan juga tak terhindarkan akibat semakin banyaknya kendaraan bermotor yang bahkan, telah melampaui jumlah penduduk Bali yang berkisar 4,4 juta jiwa. Untuk itu, ketersediaan transportasi umum seperti bus seharusnya mampu menjadi solusi mengatasi kemacetan terutama di Bali Selatan.

Dr. I Nyoman Sukma Arida selaku Dosen dan pengamat pariwisata Universitas Udayana mengungkapkan sebenarnya problematika terkait transportasi publik ini ada pada sisi pemerintah “karena apa kalau berkurang nanti kendaraan pribadi itu, income pajaknya kan tentu ada berkurang dari penjualan motor”. Kenyataannya pemasukan dari pajak kendaraan bermotor memang sangat besar, seperti yang dikutip dari BaliPost.com bahwa Pemerintah Provinsi Bali mampu mencapai target pendapatan dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) melampaui target awal sebesar Rp1,47 Triliun pada tahun 2023, dan rencananya Pajak Kendaraan Bermotor ditargetkan sebesar Rp1,49 Triliun pada tahun 2024 “ jadi dari sisi ekonominya, jadi kalau pemerintah punya kepentingan untuk menjaga PAD nya (tidak hanya) dari pajak kendaraan bermotor, baru mungkin akan ikhlas untuk menyiapkan kendaraan umum yang layak yang terkoneksi ke semua tempat” tuturnya. 

Tabel- jumlah kendaraan di Provinsi Bali menurut BPS tahun 2021-2023

Banyaknya arus kendaraan pribadi terutama di kawasan metropolis Sarbagita (Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan) terutama sebagai akibat adanya aktivitas pariwisata mendorong pemerintah untuk memberikan solusi alternatif dalam mengatasi kemacetan, salah satunya dengan transportasi umum yang kini hadir di antara kita, yaitu Bus Sarbagita dan Trans Metro Dewata. Eksistensi transportasi umum kini digodok menjadi pilihan yang diharapkan mampu menjadi solusi dalam mengurangi kemacetan. Namun, sejauh apa penerapan bus sudah efektif berjalan?

Eksistensi Bus dan Perannya dalam Mengurai Kemacetan

Sebelum adanya bus, eksistensi transportasi umum di bali pada tahun 80-90 an masih digandrungi oleh masyarakat Bali, terutama dengan adanya kendaraan angkot dan bemo seperti dikutip dari BaliPost.com. Pernyataan Prof. Alit juga menguatkan hal tersebut “ tahun 1990-an ketika angkot itu masih Bemo Roda tiga, itu penumpangnya selalu penuh. Kenapa? Karena waktu itu untuk bisa memiliki sepeda motor, itu sepeda motor barang yang sangat mahal. Masyarakat tidak mampu memiliki sepeda motor”. Berdasarkan wawancara singkat dengan wisatawan lansia di ITDC, tim konvergensi media mendapatkan informasi penggunaan layanan transportasi umum sebelum bus “we used to use public transportation in bali, we had public bemo so long time ago, but there’s no public transportation” tuturnya. Nyatanya, transportasi publik pernah menjadi favorit masyarakat Bali dan bahkan menarik hati wisatawan. Namun, mengapa saat ini tidak demikian? Dasar hukum Undang-Undang 22 tahun 2009 menyatakan bahwa pemerintah wajib untuk menjamin ketersediaan angkutan umum. Namun sayangnya, transportasi umum lambat laun kian ditinggalkan sehubungan dengan kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan oleh kendaraan bermotor.

Sejauh ini, transportasi umum yang masih eksis di Bali adalah sarana transportasi bus yang terdiri dari Bus Sarbagita yang dirilis pada tahun 2011 dan Bus Trans Metro Dewata pada tahun 2020. Menyusuri perjalanan kedua bus ini sebagai sarana transportasi umum yang diharapkan mampu mengurai kemacetan terutama di Bali Selatan, tentunya tak akan terlepas dari eksistensi bus dan pengadaan sarana prasarana dari bus itu sendiri. Saat ini di Bali sudah terdapat rute bus melalui penambahan koridor-koridor yang menjangkau wilayah tertentu terutama di area yang lumrah dikunjungi oleh wisatawan, meskipun memang belum mencapai semua daerah wisata. Misalnya, pada Bus Sarbagita yang memiliki 2 Koridor, yaitu GOR Ngurah Rai Denpasar-GWK (Koridor 1) dan Batu Bulan-ITDC-Sentral Parkir Kuta (Koridor 2). Sedangkan Trans Metro Dewata dengan 6 koridor yang mengalami penambahan dan perubahan rute, antara lain Sentral Kuta-Terminal Persiapan Tabanan (Koridor 1), Terminal Ubung-Bandara Ngurah Rai (Koridor 2), Terminal Ubung-Pantai Matahari

Terbit (Koridor 3), Terminal Ubung-Monkey Forest (Koridor 4), Sentral Parkir  Kuta-Politeknik Negeri Bali (Koridor 5), dan Sentral Parkir Kuta-Nusa Dua (Koridor 6). Dilansir dari DetikBali,  perubahan rute Koridor 2-5 diharapkan mampu mengurangi macet dalam kota sekaligus merapikan agar layanan bisa optimal, terutama pada Koridor Terminal Ubung-Pantai Matahari Terbit yang masih sepi penumpang. 

Sedangkan adanya penambahan koridor baru yakni koridor 6 dari Trans Metro Dewata, menurut Julianto selaku Petugas Kalibrasi Peralatan Pengujian Kendaraan Bermotor dari Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Kelas II Bali, merupakan ihwal dari kemacetan yang pernah terjadi di Bandara pada tahun lalu “kalau pernah mendengar kemarin bahwa terjadi kemacetan di jalur bandara yang mengharuskan adanya pengoperasian jalur bus itu salah satunya pertimbangan mengapa dibuka (koridor baru)” Tutur Julianto (31/07). Penambahan Koridor ke Bandara tentu diharapkan agar mencegah resiko kemacetan di bandara dan mengurangi jumlah kendaraan pribadi yang masuk, selain itu diharapkan mampu menarik perhatian wisatawan. Sebelumnya, sudah ada koridor yang melayani jalur bandara, yakni Koridor 2. Sehingga kini ada dua koridor Trans Metro Dewata yang melayani rute arah Bandara Ngurah Rai. 

Wawancara- Tim Konvergensi Media dengan dua petugas dari Balai Pengelola Transportasi
Darat Kelas II Bali (31/07).

Namun, Prof. Alit mengungkapkan bahwa koridor-koridor yang telah tersedia ini masih belum cukup untuk melayani pergerakan masyarakat sesuai asal tujuan, sehingga masyarakat merasa belum terlayani dengan baik “Jadi yang pertama pemerintah adalah mesti menyediakan dulu jaringan trayek angkutan umum yang bisa memenuhi kebutuhan pergerakan asal tujuan masyarakat, sehingga masyarakat ketika dari rumah, jalan dalam radius berjalan kaki 400 meter sudah ketemu halte angkutan umum. Kalau tidak demikian, saya kira masyarakat masih akan enggan menggunakan angkutan umum ini” tuturnya. Memang, sampai saat ini halte dan titik pemberhentian masih sulit dijangkau dalam radius jalan kaki, sehingga masyarakat harus menaiki motor mencapai halte terdekat yang secara logis, wajar masyarakat akan memilih langsung ke tempat tujuan mengendarai kendaraan pribadi daripada menunggu bus di halte. 

Selain koridor, kelengkapan sarana prasarana bus seperti adanya perawatan operasional bus dan ketersediaan halte atau titik pemberhentian sebagai acuan aksesibilitas terhadap pelayanan bus juga perlu menjadi perhatian pemerintah, mengingat bahwasanya bus merupakan upaya pemerintah dalam mengurangi masalah kemacetan. Dalam hal ini, beberapa penuturan muncul dari pengguna Bus Sarbagita dan Trans Metro Dewata terkait pemanfaatan bus yang dirasakan langsung. Salah satu keluhan yang terjadi adalah waktu kedatangan dan keberangkatan bus yang sering terlambat “di aplikasi yang aku pake, kedatangan bus itu estimasinya kira kira setiap 15 menit tapi ga jarang itu bisa nunggu kira kira 30-45 menit cuma buat nungguin bus aja, jadi tiap mau berangkat harus 1 jam atau 2 jam lebih awal gitu biar ga telat” Tutur Sieren selaku pengguna Bus Trans Metro Dewata (20/07). Sieren merupakan mahasiswa yang biasanya selalu menggunakan Bus untuk berangkat ke Kampus Jimbaran, karena jarak rumahnya dekat dengan terminal Ubung. 

Cerita lain datang dari Putri, ia menuturkan bahwa tidak ada halte sebagai akses jangkauan bus di area rumahnya, sehingga ia harus naik motor ke Kampus Sudirman untuk menaiki bus menuju Kampus Jimbaran “kalau dari aku 15 menit dari rumah ke sudirman” (03/08). Putri merupakan mahasiswa pengguna Trans Sarbagita juga turut mengeluhkan waktu kedatangan bus yang terlambat “(Sarbagita) sejam atau 30 menit lah, kalau metro rajin ya dia setiap 10-15 menit” tuturnya. Tim Konvergensi Media juga meninjau terkait kelayakan halte ternyata masih terdapat halte dengan kualitas yang kurang baik, antara lain  di kawasan dekat Bandung Collection sekitar kampus jimbaran dan Bypass Ngurah Rai.

Halte- kurang layak di kawasan dekat Bandung Collection Kampus jimbaran (06/08).

Sieren sebagai pengguna Trans Metro Dewata mengungkapkan pendapatnya terkait fasilitas haltehaltenya ada beberapa yang memang masih kurang, contohnya di daerah di jalan by pass ada halte yang cuma apa sih cuma kayak patok besi aja jadi itu kan aku mikir kalau orang mau naik bis terus nunggu di halte terus tiba tiba hujan kan kasian, jadi ada masih banyak halte-halte yang tidak memenuhi kualifikasi halte, yah lebih dibilang sebagai tempat berhentinya bis, tapi halte yang secara proper halte ada tempat duduk ada atap masih banyak yang kurang” pungkasnya.

Terkait pemeliharaan halte, I Nyoman Wiratama selaku kepala UPTD Trans Sarbagita mengungkapkan bahwa terdapat evaluasi secara berkala untuk menunjang layanan “di mana selain kondisi fisik halte yang terbangun, juga dilakukan monitoring secara rutin oleh petugas pengawas halte yang melakukan pencatatan kondisi halte dan pendukungnya” (31/07). Wiratama juga menambahkan bahwa apabila terjadi kerusakan atau ketidaklengkapan maka akan direkapitulasi oleh petugas untuk mendapatkan prioritas penanganan.

Peningkatan halte dan titik pemberhentian merupakan hal yang sangat mendasar untuk menunjang keterjangkauan fasilitas layanan transportasi umum ini ke semua kalangan, namun kenyataannya hingga kini masih terbatasnya jumlah halte dan titik pemberhentian bus, bahkan adanya beberapa halte dengan kualitas kurang baik kian menjadi batu sandungan terhadap aksesibilitas masyarakat menggunakan bus, sehingga ini menjadi salah satu faktor mengapa hingga saat ini minat masyarakat juga masih belum tinggi untuk beralih menggunakan transportasi umum “Untuk saat ini, efektivitasnya masih rendah, tapi kami selalu mencoba untuk meningkatkan terus. Kemudian, bersinggungan dengan halte, halte memang di beberapa titik memang untuk fisik-fisik belum banyak ada” Tutur Julianto (31/07). 

Sehubungan dengan itu, Standly JE. Suwandhi selaku sekretaris Dinas Perhubungan Provinsi Bali mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, berbicara mengenai pemberdayaan transportasi umum tentu perlu untuk mempersiapkan layanannya terlebih dahulu “Bagaimana kita mau dorong masyarakat berpindah dari kendaraan pribadi ke angkutan umum kalau layanannya tidak tersedia. Tantangannya untuk menyediakan ini banyak antara lain misalnya konektivitas, apakah antar teraih, sudah saling terkoneksi” Tuturnya (31/07). Standly juga menambahkan bahwa selain konektivitas bus yang trayeknya masih belum tersambung antara satu dengan yang lain, aksesibilitas masyarakat dalam menunggu angkutan juga masih menjadi problem yang perlu diselesaikan pemerintah.

Selain halte, perawatan operasional bus juga penting untuk menunjang kelayakan armada bus. Menurut Wiratama selaku kepala UPTD Trans Bali/Trans Sarbagita, terdapat perawatan operasional yang dilakukan untuk menjaga kualitas sarana bus “kedua jenis layanan angkutan umum ini selalu dirawat secara rutin, baik yang sifatnya pemeliharaan berkala maupun yang sifatnya insidentil” tuturnya (31/07). Salah satu pengguna layanan Trans Metro Dewata mengungkapkan bahwa fasilitas yang diberikan Trans Metro sudah bagus dan tidak ada kendala “aspek fasilitas nyaman sih nggak ada kendala, untuk pembayaran juga gampang, tempat duduknya juga bersih, bis nya juga bersih, tiap dia mau berangkat bis nya selalu dibersihin jadi kayak iya gak ada sampah di sana juga. AC nya selalu nyala” Tutur Sieren (20/07). Namun bertolak belakang dengan kondisi di Trans Metro Dewata, Sieren mengungkapkan adanya kekurangan fasilitas yang ditawarkan Bus Sarbagita  “kalau untuk bus trans sarbagita kebanyakan sih memang ada komplain kayak bis nya kotor, udah tua, terus apa fasilitasnya udah ga bagus gitu” Tuturnya. Putri sebagai pengguna Trans Sarbagita juga menuturkan pendapatnya mengenai fasilitas Trans Sarbagita “Fasilitas dari busnya kayak AC sama tempat duduknya macem-macem tuh, kalau AC banyak yang bocor jadi kayak netes netes gitu lho, tapi mungkin ga semua ya karena aku ga naikin semua busnya”. Putri juga menambahkan bahwa terdapat pintu bus Sarbagita yang diduga macet dan tidak menutup sempurna “kadang ada pintunya yang agak macet, jadi kadang ada yang nutup tuh agak susah gitu,  kayaknya ya soalnya aku dateng nih aku naik, dia tuh gak mau langsung ditutup entah dari situnya mereka ga nutup langsung atau emang macet” ungkapnya (03/08). 

Masih terkait sarana prasarana, kualitas bus juga harus memperhatikan kenyamanan bagi difabel. Menurut pendapat Sieren, ia melihat adanya kursi khusus bagi penumpang difabel, anak-anak, lansia, dan ibu hamil “tapi untuk orang yang mohon maaf disabilitas kayak pakai kursi roda atau semacam ini aku ga ada lihat kursi roda untuk naik ke bus, tidak ada akses sama sekali” Tuturnya. Sehingga ini penting bagi keterjangkauan bus agar menciptakan ruang inklusif bagi semua pihak dalam mengakses moda transportasi umum, baik dari segi waktu kedatangan, sarana maupun prasarana yang

ditawarkan, dan kemudahan akses mencapai bus. Kelayakan fasilitas bus tentunya berkaitan dengan minat masyarakat menaiki bus, sehingga kenyamanan yang ditawarkan layanan bus menurut Prof. Alit perlu ditingkatkan agar bisa bersaing dengan kenyamanan dari kendaraan pribadi “kuncinya adalah bagaimana angkutan umum bisa menyaingi kenyamanan penggunaan sepeda motor, jadi harus dari dua sisi pendekatannya, angkutan umum ini semakin murah dan nyaman (sedangkan) sepeda motor ini dibuat semakin mahal dan susah, kalau tidak gitu siapa yang mau menggunakan angkutan umum” ungkapnya. 

Peran bus mengurangi kemacetan sejauh ini bisa dikatakan cukup baik, tetapi masih belum bisa dikatakan efektif secara maksimal. Melansir data jumlah penggunaan bus Trans Metro Dewata dari Dinas perhubungan Provinsi Bali pada tahun 2021-2023 rata-rata penumpang mencapai 2 juta penumpang/tahun dengan penumpang terbanyak berada di K1B (Sentral Parkir Kuta-Terminal Pesiapan) dan K2B (Gor-Bandara Ngurah Rai). Meninjau hal tersebut sebenarnya hingga kini belum ada target capaian jumlah penumpang yang ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan. Namun, kadang-kadang masih lumrah ditemui bus Trans Metro Dewata yang sepi penumpang berlalu-lalang di jalan. Melansir dari BeritaBali.com, Salah satu koridor yang dinilai masih kurang diminati adalah Koridor 3, rute Terminal Ubung-Matahari Terbit. 

Tabel- Data jumlah penumpang Trans Metro Dewata Tahun 2021-2023.
Sumber: Dinas Perhubungan Provinsi Bali

Dalam Hal ini Prof. Alit menuturkan bahwa bus sebenarnya bisa efektif asalkan beban lalu lintas bisa dipindahkan ke bus “Katakanlah sekarang ada 30 kendaraan di jalan. 30 kendaraan ini dikurangi, dipindahkan menjadi satu bus sedang. Berarti itu kita dengan memindahkan 30 kendaraan menjadi satu bis sedang, itu bisa mengurangi beban lalu lintas di jalan. Nah kalau sekarang ratusan ribuan kendaraan bisa kita pindahkan ke dalam angkutan umum massal, maka beban lalu lintas itu akan menjadi berkurang”. Berkaitan dengan hal tersebut, A.A. Gede Kemara Sukadharma selaku petugas Pemroses Data Angkutan di Balai Pengelola Transportasi Darat Kelas II menyampaikan hal serupa bahwasanya transportasi umum adalah solusi yang tepat mengatasi kemacetan, karena satu bus bisa menampung hingga puluhan orang yang sebelumnya membawa kendaraan pribadi “Terus itu 20 penumpang berarti kan 20 mobil gitu. Jadi ya, emang solusi yang terbaik itu memecah kemacetan dan solusi yang murah ya dengan kendaraan umum” imbuhnya.

Namun memang tidak dipungkiri bahwa minat masyarakat Bali sampai saat ini masih sangat kurang kesadaran untuk menaiki kendaraan umum. Kenyamanan dan kemudahan yang ditawarkan kendaraan pribadi tampaknya berhasil mencuri hati masyarakat, sehingga lambat laun budaya naik transportasi umum cenderung ditinggalkan “Memang di Bali ini untuk kebiasaan masyarakat yang menggunakan angkutan umum itu belum biasa, karena sudah terlalu lama angkutan umum di Bali hilang” Tutur Kemara (31/07).

Gambar– Trans Sarbagita (atas) dan Trans Metro Dewata (bawah)
Sumber: Nusabali.com dan Kompas.com

Bahkan, ada persepsi yang justru menganggap bus menjadi salah satu penyebab kemacetan, karena bus berukuran cukup besar sedangkan lebar jalan terbatas dan bus berhenti di badan jalan “Itu ada benarnya juga tapi sebagian juga ada kelirunya”. Prof. Alit menjelaskan bahwa sisi benarnya itu ketika bus itu dalam kondisi kosong bergerak tanpa penumpang “Jadi dia belum mampu memindahkan pengguna kendaraan pribadi itu ke bus itu sendiri, Sehingga akhirnya beban jalan itu ditambah lagi dengan beban bus”. Sehingga Prof. Alit mengungkapkan baru ketika pengguna kendaraan pribadi itu sudah bisa dipindahkan ke bus, maka bus baru bisa dikatakan efektif “Selama belum berpindah memang benar dia akan justru menambah beban lalu lintas. Jadi kapan ini bisa mengurangi beban lalu lintas,  kalau seperti sekarang dengan load factor (jumlah penumpang) hanya 30-40% memang belum efektif” imbuhnya. Mengutip dari laman Denpasar Open Data, pada tahun 2022 terdapat rerata load factor dari Trans Metro Dewata yang berkisar antara 30-40%.

Tabel- Data rata-rata jumlah penumpang (load factor) Trans Metro Dewata Tahun 2022.
Sumber: Denpasar Open Data

Eksistensi bus hadir sebagai jawaban atas polemik kemacetan yang tak berkesudahan. Peningkatan sarana prasarana perlu dilakukan untuk meningkatkan minat masyarakat dalam menggunakan layanan, sehingga diperlukan rencana yang matang untuk menyempurnakan bus menjadi moda transportasi umum yang diminati oleh masyarakat. Namun tidak dipungkiri, bahwa hingga saat ini eksistensi bus masih kurang diminati oleh masyarakat. Seringkali Bus terlihat lalu lalang di jalan tanpa membawa penumpang “cuma sayangnya, saat ini aku liat mungkin belum terealisasi ya terutama yang di metro dewata, soalnya  yang di metro dewata tuh sering banget sepi, gak tahu kenapa itu sering banget sepi, kalau sarba aku lihatnya karena aku lihat rute dari Sudirman ke jimbaran itu pasti rame, rame mahasiswa, apalagi mahasiswa merantau yang gak punya kendaraan pribadi, tapi seandainya di jalur jalur lain aku gak tahu dia rame atau engga”. Putri juga menambahkan bahwa ia mengakui trans metro dewata memiliki fasilitas yang mumpuni “cuma aku akui sepi, tapi bagus fasilitasnya” Tutur Putri. 

Dalam mendorong minat masyarakat menaiki transportasi umum, Prof. Alit mengungkapkan pemerintah perlu menyiapkan rencana jangka pendek, menengah, dan panjang dalam mengurangi kemacetan. Misalnya berangkat dari apa yang sudah dibuat pemerintah yaitu transportasi umum sebagai pull factor harus dimaksimalkan antara fasilitas dan titik jangkauannya “pemerintah berusaha menarik minat masyarakat untuk menggunakan angkutan umum dengan sukarela, melalui pull strategy, menyediakan bus dengan baik, kemudian ada sarana AC-nya, tempat duduknya baik”. Prof. Alit menuturkan bahwa cara ini belum cukup berhasil meningkatkan minat masyarakat, sehingga perlu ditambahkan lagi dengan penyediaan angkutan kecil (feeder) yang mengangkut penumpang sampai ke pelosok perumahan, sehingga masyarakat merasa terlayani sampai ke radius berjalan kaki dari rumah. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Kemara “Saya akui, untuk trans metro dewata ini rutenya belum menjangkau ke rumah-rumah. Memang trans metro Dewata ini belum ada feeder (angkutan pengumpan) tetapi untuk feeder itu kami sudah minta hubungan ke Pemda masing-masing wilayah yang mengadakan” Tuturnya. Berkaca dari masa lalu, sebenarnya pernah ada angkutan feeder/pengumpan trans Sarbagita yang memiliki 56 armada dengan empat trayek yang menjangkau wilayah Denpasar. Feeder inilah yang dapat menjadi pilihan agar masyarakat dapat menaiki angkutan pengumpan menuju halte-halte bus terdekat, sehingga pull factor yang ditawarkan pemerintah pun dapat terealisasi lebih baik.

Angkutan feeder- yang melayani penumpang  ke halte-halte Trans Sarbagita tahun 2013.
 Sumber: Balebengong  yang melayani penumpang ke halte-halte Trans Sarbagita tahun 2013.
Sumber: Balebengong

Ketika Pull factor sudah terpenuhi, selanjutnya perlu adanya penyokong dari sisi Push factor “ini adalah skema pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, misalnya adalah melalui pembatasan parkir” tuturnya. Ketika pull factor dan push factor dapat terealisasi, maka kita bisa berbesar hati bahwa lumrahnya penggunaan transportasi umum melebihi pemakaian kendaraan pribadi bisa tercapai suatu hari nanti. Namun penggunaan transportasi umum harus menjadi sarana yang dibutuhkan oleh masyarakat. Artinya, angkutan umum baru mulai akan diminati ketika sudah mampu berkompetisi dengan kemurahan, kenyamanan, dan keterjangkauan daripada penggunaan kendaraan bermotor pribadi “nah ini yang pemerintah harus mampu membuatkan strategi jangka pendek, menengah, panjang. Nah ini yang skenario-skenario itu yang masih kelihatannya belum jelas ya” imbuhnya.

Wacana Berjangka Dalam Rangka Mengurai Kemacetan

Akhir-akhir ini wacana LRT menjadi isu yang tengah ramai diperbincangkan. Wacana pembangunan transportasi modern ini rencananya dikembangkan oleh pemerintah Provinsi Bali dan pemerintah pusat dengan rencana grounding dilakukan pada September 2024. Adapun pembangunan LRT Tahap 1 dicanangkan dari Bandara I Gusti Ngurah Rai ke Central Parkir Kuta.  

Sehubungan dengan proyek ini, Prof. Alit juga mengungkapkan pendapatnya mengenai pembangunan LRT. Menurutnya, pembangunan LRT merupakan hal yang sangat diperlukan oleh masyarakat, namun LRT ini tidak akan cukup melayani semua mobilisasi, sehingga diperlukan adanya integrasi dengan seluruh transportasi umum “Jadi nanti mulai dari LRT, MRT, kemudian dilayani dengan bus sedang, dilayani dengan angkot (feeder), bus-bus yang lebih kecil, dilayani dengan kendaraan penumpang umum” tuturnya. Standly selaku sekretaris Dinas Perhubungan juga mengungkapkan bahwa tentu ada integrasi dengan seluruh angkutan umum, di mana Trans sarbagita dan Trans Metro Dewata merupakan sebuah sistem “Jadi Trans Sarbagita itu adalah melayani angkutan umum di daerah Sarbagita itu sistemnya, kalau busnya itu kan bisa aja setiap tahun diganti, apakah itu bus fosil, bus listrik, apa-apa, itu pelayanan Sarbagita ya tetap namanya Trans sarbagita”. Ia mengungkapkan bahwa Trans metro dan Trans sarbagita itu hanya operator saja, tetapi sistem yang dikembangkan serupa, yaitu angkutan masyarakat yang nantinya juga akan terintegrasi dengan moda transportasi umum seperti LRT dan sebagainya. Integrasi antarmoda transportasi umum diperlukan agar program ini tidak berjalan setengah-setengah.

Sehubungan dengan wacana proyek berjangka lainnya seperti LRT, melansir dari medcom.id, eBRT atau bus listrik juga digadang-gadang akan menjadi pilihan untuk mengurangi kemacetan, mengutip wawancara Kepala Dishub Bali, IGW Samsi Gunarta mengungkapkan eBRT akan mulai beroperasi pada tahun 2025 dengan dua lintasan koridor, yakni Ubung-Bandara Ngurah Rai (Utara-selatan) dan sanur-seminyak (Barat-Timur). Selain menggunakan sumber daya listrik, eBRT juga akan dibuatkan jalur khusus atau prioritas untuk memastikan ketepatan waktu tunggu. Menilik lebih jauh terkait penerapan jalur khusus bus ini misalnya seperti di Jakarta, bus Transjakarta memiliki jalur tersendiri dan terpisah dari jalur kendaraan umum “sementara kalau di Bali bahkan belum pernah lihat namanya jalur khusus trans (metro) dewata jadinya masih menyatu dengan kendaraan umum. Nah, itulah yang menjadi salah satu penyebab faktor waktu tunggu” Tutur Junianto (31/07). Pendapat tersebut juga diperkuat oleh pernyataan Prof. Alit yang memandang dari sisi efisiensi waktu “Sehingga kalau tidak disediakan jalur khusus, bus itu akan sama seperti bus reguler, trans metro, trans sarbagita kita yang beroperasi sekarang, tidak bisa tepat waktu tanpa jalur khusus”. Dengan demikian, penerapan jalur khusus untuk bus, baik bus berbahan bakar fosil maupun bus listrik idealnya sama-sama memerlukan jalur khusus untuk meningkatkan ketepatan waktu dan kecepatan pelayanan, sehingga tidak ada keluhan lagi terkait keterlambatan bus. 

Namun, kendala utamanya adalah apabila adanya pelebaran jalan untuk jalur khusus bus, maka dapat menyebabkan kemacetan bagi pengguna kendaraan pribadi karena kapasitas jalan menjadi berkurang untuk kendaraan bermotor “beda dengan di Jakarta trans Jakarta, jalan mereka lebar-lebar, nah jalan kita di Sarbagita jalan kita sempit-sempit, sehingga ketika dikurangi lajurnya dengan satu lajur bus sehingga kendaraan yang sebelumnya akan terdesak, kapasitas jalan itu akan berkurang” tutur Prof. Alit. Ia juga menambahkan bahwa  untuk menemukan lokasi yang bisa digunakan lajur khusus ini sangat terbatas, hanya bisa pada jalan-jalan yang lebar dengan alokasi jalan yang lebarnya 20 meter. Namun ketika jalan itu lebarnya hanya 12 meter, otomatis tidak bisa dibuat lajur khusus “Artinya bus itu akan mix kembali, tercampur kembali. Sehingga di lokasi tertentu bus itu bisa lajur khusus, di lokasi lainnya dia akan tercampur dengan kendaraan pribadi. Nah ini juga belum terlalu efektif, jadi eBRT sendiri itu belum bisa secara 100% diimplementasikan full dengan dedicated link, itu lajur khusus” pungkasnya. Dengan demikian kita masih belum bisa terlalu optimis bahwa bus, baik yang reguler maupun nantinya bus listrik akan mampu menyentuh hati dan diminati oleh masyarakat ketika masalah utamanya, yakni ketepatan waktu masih menjadi persoalan yang belum menemukan jawaban.

Urgensi Bus dalam Menyokong Tiang Pariwisata

Kembali lagi dengan permasalahan awal, padatnya aktivitas pariwisata di Bali mendorong mobilisasi yang tinggi sehingga menyebabkan penggunaan kendaraan pribadi cenderung lebih diminati, baik bagi masyarakat maupun wisatawan. Sementara untuk saat ini Trans Metro Dewata telah memiliki 6 koridor yang tersedia termasuk melewati beberapa Daerah Tujuan Wisata (DTW), sehingga Tim Konvergensi Media menyambangi kawasan ITDC Nusa Dua untuk bertanya mengenai pengetahuan atau bahkan pengalaman wisatawan terkait layanan bus di Bali. Wisatawan pertama adalah Manuel Janes dan Istrinya, Georgina Salasa dari Venezuela yang liburan di Bali selama 5 hari. Ketika ditanya mengenai transportasi umum di bali, mereka mengakui belum memiliki pengalaman naik transportasi umum “we don’t have experience, we haven’t seen any bus in Bali”. Mereka menggunakan taksi sebagai sarana transportasi selama liburan di Bali. Jawaban serupa juga datang dari Marilyn dan Hidde yang berasal dari Belanda “we had no experience with buses and we didn’t even know they existed in Bali” tutupnya mengakhiri wawancara.

Selain dorongan naik transportasi umum bagi masyarakat, kiranya perlu bagi pemerintah untuk mempromosikan moda transportasi umum bus ini ke wisatawan, mengingat jumlah kunjungan wisata yang tinggi setiap tahunnya, apalagi dengan koridor yang menjangkau daerah wisata. Dalam hal ini I Ketut Yadnya Winarta selaku Kepala Seksi Promosi Dinas Pariwisata Provinsi Bali menuturkan bahwa sudah ada rapat yang membahas masalah itu “itu kemarin dirapatkan itu, karena banyak yang menganggap kurang efektif, wisatawan yang datang cenderung memilih transportasi pribadi, akan terus dievaluasi akan terus disosialisasikan, akan  terus ditambah jalurnya biar mereka nanti bisa menggunakan publik transportasi” tuturnya. ia menambahkan bahwa program pemerintah akan bertahap seperti LRT yang tentunya juga mendorong minat wisatawan menggunakan transportasi umum, “tetapi sementara memang belum efektif karena cara orang berpikir sebelumnya gampang naik motor lalu diminta menggunakan bus kan memang sulit tapi tetap akan diusahakan” tuturnya. 

Menambahkan hal tersebut Yadnya Winarta mengungkapkan bahwa dorongan naik transportasi ke wisatawan mungkin bukan sosialisasi tetapi lebih kepada penyampaian informasi “sudah disampaikan ke wisatawan, jadi memang ada (wisatawan) yang menggunakan transportasi itu cuma tidak banyak, perlu lagi disiapkan, kemarin kita rapat ngomongin masalah itu juga, bagaimana transportasi umum yang sudah ada itu efektif bagi wisatawan mungkin mereka sedang mencari cara juga agar public transportation digunakan oleh wisatawan, sampai saat ini masih belum efektif, sedang serius diusahakan jalurnya ditambah” imbuhnya. 

Dr. I Nyoman Sukma Arida selaku dosen dan pengamat pariwisata dari Universitas Udayana memiliki pandangan bahwa kesiapan fasilitas yang ditawarkan bus baik dari sisi sarana prasarana dan koridornya harus jauh ditingkatkan apabila mau mendorong masyarakat dan wisatawan beralih menggunakan bus “jangan turisnya pakai bus yang ada sekarang dengan rute yang sangat terbatas, tapi ini (fasilitas) nya harus disiapkan dulu baru turis dan orang lokal mau menggunakan” tuturnya. Sukma Arida menambahkan bahwa apabila ingin menarik kunjungan wisata, maka pemerintah harus memperhatikan kesiapan transportasi publik “selama ini belum siap Bali harus berani mengatakan jangan dulu bawa turis lebih banyak ke Bali gitu, dan begitu nanti transportasi publik sudah siap Bali harus menghitung daya dukungnya berapa Bali bisa menerima turis tiap tahunnya” tuturnya. Sukma Arida mengungkapkan jikalau transportasi umum yang dimiliki bali cukup kaya, tentu bisa berdampak pada penerimaan wisatawan jauh lebih tinggi “bisa juga mungkin di atas 7 juta 8 juta per tahun, tetapi kalau kondisi transportasinya seperti sekarang, transportasi umum terbatas dan segala macamnya, ini kita menerima 4 juta saja sudah kewalahan” pungkasnya. 

Budaya Naik Transportasi Umum adalah Upaya Berkelanjutan 

Penuturan datang kembali dari Putri, mahasiswi yang sempat beberapa kali menggunakan bus Sarbagita ke Jimbaran ini mengungkapkan bahwa saat ini ia lebih beralih menggunakan kendaraan pribadi untuk berangkat kuliah daripada bus “Sebenernya awal-awal seru ya (naik bus) karena aku biasa di jalan, aku suka di jalan dan mendengarkan earphone jadi aku menikmati perjalanan panjang dengan naik bus” tuturnya. Namun lama kelamaan ia merasakan naik bus menjadi rutinitas yang melelahkan “karena naik bus itu jatuhnya lebih lama daripada naik motor, karena macet”. Putri menggambarkan bahwa ketika ia ke jimbaran naik motor butuh waktu 40 menit sedangkan naik bus membutuhkan waktu 1,5 jam, terutama ketika arus balik ke Denpasar karena lebih macet “Kalau naik motor kan bisa nyalip nyalip gitu” pungkasnya. 

Sebenarnya, pemerintah telah melakukan sosialisasi naik angkutan umum ke masyarakat dengan berbagai cara. I Ketut Yadnya Winarta selaku Kepala Seksi Promosi Dinas Pariwisata provinsi Bali mengungkapkan bahwa dinas perhubungan sudah mensosialisasikan penggunaan angkutan umum ke masyarakat “sudah disosialisasikan yang pertama, disosialisasikan bukan ke wisatawan tapi ke masyarakat, disosialisasikan ke sekolah sekolah, ke SMA SMA, guna mereka kedepannya diharapkan kalau ingin kehidupannya lebih nyaman di jalan, naik transportasi umum itu sudah dilakukan” tuturnya. Julianto selaku petugas dari Balai Pengelola Transportasi Darat Kelas II Bali mengungkapan bahwa tidak dipungkiri pull factor dari trans metro dewata masih kecil  “Oleh karena itu, kami terus mensosialisasikan masyarakat untuk menggunakan trans metro dewasa supaya penggunaan kendaraan pribadi dapat berkurang dan nanti alaminya kemacetan dapat berkurang juga”tuturnya. Julianto menambahkan bahwa sudah terdapat promosi dan sosialisasi yang dilakukan untuk mendorong minat masyarakat naik transportasi umum “Untuk itu untuk saat ini yang sudah berjalan itu ada pamflet, ada spanduk terutama yang ada di sentral parkir kuta, bahwa sudah ada di media sosial coba kita cek aja di Teman bus di IG itu sudah ada. Di situ berupa terkait dengan rute trayek, dengan cara-cara untuk menaiki Teman bus, kemudian cara bayarnya juga ada” tuturnya. 

Untuk mendorong masyarakat lokal naik bus, Sukma Arida mengungkapkan bahwa keengganan masyarakat naik bus merupakan bentuk ketidakseragaman pola pikir “nah untuk orang lokal, warga kita memang tidak sekedar memindahkan orang memakai public transport ya, tapi ini lebih soal mindset saya kira, warga bali dari dulu sudah dimanjakan biasa menggunakan kendaraan pribadi kan, jadi kemana mana naik motor ke kantor di satu kampung pun naik motor padahal dekat gitu ya, masih bisa jalan kaki pun naik motor jadi dimanjakan, nah bibit ini terus terbawa dan mengubah itu ke mindset naik angkutan umum lebih susah bahkan ada kesan orang yang naik public transport itu orang yang kurang mampu misalnya” ungkapnya. 

Menyikapi permasalahan tersebut, Prof. Alit menuturkan bahwa salah cara untuk memaksimalkan peran bus sekaligus mendorong masyarakat naik bus adalah dengan membuat jalur khusus bus untuk menghindari keterlambatan dan kemacetan di jalan “itu juga memang strategi pemerintah. Di mana biarkan saja kendaraan pribadi itu macet yang penting busnya lancar, tapi jangan sampai kedua-duanya, Ini macet, busnya juga macet, terus masyarakat pilihannya apa? Sehingga mungkin ke depan di Bali itu pilihannya seperti itu”. Prof. Alit menyatakan bahwa mau tidak mau semua pihak harus berani melakukan terobosan, terutama pemerintah daerah ke depan harus berani untuk menerapkan lajur khusus bus apalagi dengan isu bus listrik eBRT yang dicanangkan mulai tahun 2025 “dan juga (pemerintah) berani menangani masalah sosial ketika masyarakat komplain karena kapasitas jalan terbatas itu merupakan juga strategi push, artinya yang mau naik kendaraan pribadi silahkan saja, kendaraan mewah naik kendaraan pribadi silahkan saja, tapi terjebak macet, kalau tidak mau terjebak macet silahkan naik bus asalkan busnya jangan ikut terjebak macet juga” pungkas Prof. Alit. 

Mau tidak mau, keberlanjutan bus sebagai transportasi umum juga ditentukan oleh minat pengguna. Apabila masyarakat merasa bahwa bus bukan pilihan prioritas, belum bisa melayani dan memberikan kenyamanan serupa dengan transportasi pribadi, tentu permasalahan kemacetan di Bali tak kunjung usai menemukan solusi. Layaknya benang kusut yang sudah tak bisa disisir lagi, kemacetan akan menjadi masalah klasik yang terus menerus diulangi tanpa menemukan penyelesaian yang berarti.

Namun selain masalah kelayakan transportasi, masyarakat perlu menimbang kembali terkait masalah yang menyertai sebagai akibat penggunaan kendaraan pribadi, yaitu masalah polusi. Data Indeks Kualitas Udara (AQI) Provinsi Bali per 17 Agustus 2024 menunjukkan bahwa lima kota di Bali yaitu Badung, Semarapura, Denpasar, Jimbaran, dan Sukasada telah mencapai kategori sedang dimana dibandingkan dengan kabupaten Buleleng yang masuk ke kategori hijau. Faktor yang mempengaruhinya beragam, beberapa diantaranya adalah polusi udara dari kendaraan, khususnya kendaraan bermotor. 

Data– Kualitas Udara di Provinsi Bali
Sumber : iqair.com

Berdasarkan tabel data BPS yang telah terlampir diatas, terjadi kenaikan data penggunaan sepeda motor dari tahun 2022 hingga 2023 mencapai 223.649 ribu kendaraan yang kemungkinan akan bertambah semakin banyak sepanjang tahun, sedangkan lebar jalanan Bali tidak bertambah Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Bali mulai mengalami kemacetan di berbagai area dan bisa saja menyebabkan ketidaknyamanan bagi masyarakat lokal maupun wisatawan yang menikmati liburannya di Bali. Oleh karena itu, penggunaan Bus dan angkutan umum lainnya menjadi salah satu pilihan tepat untuk mengurangi penggunaan sepeda motor karena selain mengurangi kemacetan, penurunan jumlah kendaraan bermotor akan linear dengan berkurangnya tingkat polusi udara akibat asap kendaraan. Hal ini juga dibenarkan oleh Prof. Alit, “Angkutan umum yang merupakan angkutan ramah lingkungan ini seharusnya menjadi skala prioritas. Sedangkan kendaraan pribadi yang menghasilkan emisi, yang mengkonsumsi energi, dan memproduksi polusi udara, ini yang seharusnya dibatasi, bukan sebaliknya begitu. Sehingga bagaimana kedepannya kita bisa memindahkan sebanyak banyaknya pengguna kendaraan pribadi ke sistem angkutan umum massal.” Ucapnya. 

Tak hanya itu, ia juga mengungkapkan pendapatnya terkait solusi lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi yang berlebihan, “Ya (menaikkan) pajak kendaraan (pribadi), nah ini sekarang kan pajak kendaraan, kendaraan pribadi mereka menyebabkan kemacetan, mengkonsumsi energi, menghabiskan subsidi pemerintah untuk BBM, memproduksi polusi, kan mereka dikenakan pajak. Nah inilah sebenarnya polluters pay gitu ya. Jadi siapa yang menyebabkan polusi, siapa yang mengkonsumsi energi, dia harus dibebankan biaya sesuai dengan dampak yang ditimbulkannya. Nah sekarang, hasil dari pajak ini kemana kan gitu? Seharusnya sebagian itu digunakan untuk mensubsidi orang yang rela menggunakan angkutan umum, yang ramah lingkungan, yang mendukung lingkungan. Artinya, pemerintah seharusnya tidak perlu kebingungan mencari dari mana harus mensubsidi angkutan umum, ambilkan dari pajak kendaraan (pribadi) ini kemudian berikan kepada pengguna angkutan umum dalam bentuk subsidi tarif angkutan umum” Tutur Prof. Alit.

Meski pemerintah telah memiliki berbagai perencanaan dan program untuk mengatasi kemacetan di Bali, seperti pembangunan LRT yang akan segera berjalan ataupun rencana pengadaan e-BRT yang digadangkan dapat membantu mengatasi kemacetan, apakah seluruh upaya tersebut sudah cukup dalam mengupayakan dorongan bagi masyarakat menaiki transportasi umum? Belum bisa dipastikan. Terlebih, kedua program besar tersebut masih on going dan belum bisa dipastikan berjalan secepatnya, pun disinyalir belum tentu mampu menarik minat masyarakat dan wisatawan menggunakan angkutan umum, sehingga sebelum melangkah ke program besar yang sifatnya sentral maka diperlukan langkah taktis yang lebih konkrit dalam mengatasi permasalahan ini. Mengembalikan budaya naik transportasi umum adalah salah satunya melalui moda yang memang sudah tersedia, yakni Bus Trans Metro Dewata dan Sarbagita. Pemerintah harus siap memperluas jangkauan bus sampai di titik di mana masyarakat merasa bahwa bus merupakan sebuah kebutuhan, bukan pilihan yang bisa ditaruh di nomor sekian. 

Bangkitnya budaya naik transportasi umum akan memberi dampak positif bagi semua pihak. Hal ini akan berimplikasi pada penurunan penggunaan kendaraan pribadi, sehingga kepadatan jalan dapat berkurang secara signifikan yang sejalan dengan berkurangnya polusi udara. Di sisi lain, masyarakat dan pemerintah perlu bekerja sama untuk meningkatkan kebermanfaatan bus laksana transportasi umum. Namun sebelum itu, Pemerintah perlu mengembangkan fasilitas dan aksesibilitas bus terlebih dahulu yang menjangkau hingga ke pelosok, baru mendorong kesadaran bagi wisatawan maupun masyarakat lokal menggunakan transportasi umum sebagai salah satu solusi paling tepat untuk mengurangi kemacetan. Seperti berkaca pada keberhasilan TransJakarta yang awal kemunculannya menuai protes, namun kini justru didukung dan dibutuhkan oleh masyarakat Jakarta, sehingga mampukah Bali mengikuti langkah ini kedepannya? Prof. Alit juga menambahkan bahwa ini menjadi PR pemerintah provinsi dalam meninjau solusi terkait kemacetan “Iya, itu menjadi PR karena perlu pimpinan yang mampu melihat solusi terbaik dan berani mengimplementasikan (transportasi umum) tanpa takut dengan (penolakan) masyarakat” pungkasnya. 

Penulis : Maya, Santika 

Editor : Dyana

You May Also Like